Rantau Asing - Kumpulan Puisi

 








Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu puisi dari peserta Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Net 24 Jam. Puisi ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Lembayung". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html


Untuk melihat data peserta silakan kunjungi website www.net24jam.com

Selamat Menikmati puisi di bawah ini:


 "Rantau Asing

Karya : Renti Elvandari


Sepasang hening dan sunyi sepakat menyelinap pada celah hati

Pada rentang jarak dan waktu itu

Aku ingat kita sejoli yang diatur rindu

Pada sebuah rantau asing di hatimu


Malam ini aku menjelma pekat

Di sebuah rantau asing yang tak pernah aku lihat

Aku larut dan sekarat

Pada usang rindu yang telah berkarat


Jauh-jauh aku merantau ke hatimu 

Menempuh perjalanan rindu dipenuhi rintik sendu

Ingin sekali aku berhenti berteduh, pada sepasang katup bibir senyummu

Biar aku tak basah, dan segera enyah 

dari rantau asing yang ku kira rumah



Selamat Datang Oktober

Karya : Renti Elvandari


Oktober 

Saat paling membahagiakan sekaligus waktu terbaik pemberi luka paling menyakitkan

Ratusan purnama berlalu tanpa temu

Dalam jelaga hatiku penuh cemas

Sebab kita hanya di kata hampir yang membatas


Dalam rindu yang kusiasati

Pada Oktober penuh gerimis

Aku masih ingat pernah menyeruput kopi dari tepian cangkir bekas bibirmu yang manis

Kala itu kau janjikan bahwa sepiku tak akan abadi


Aku gusar menata sabar

Oktober tak pernah menjanjikan rindu yang berpenawar

Namun bisakah semesta memberi ruang?

Melipat jarak kita yang luas membentang?


 Dan di Oktober kali ini

Akan ku pelajari cara ikhlas lewat do’a

Ku peringatkan kau agar tak mencariku di antara canda tawa

sebab aku berada di ujung luka

Pada potongan kenangan rumpang yang tak ingin rampung




Hari Raya Ibu

Karya : Renti Elvandari


Absurditas terjadi pagi ini, tepat di Hari Ibu 

Pada kalender yang disesaki angka

Hitungannya maju tak pernah mengulur waktu

Masa tak kan mengubah, bara cinta ibu kian menyala

Cahaya dan hangatnya tak kenal libur meski di tanggal merah

Bahkan kiamat saja bisa marah karena tak dapat melakukan tugasnya pada kasih ibu yang selalu bermula, tak punya akhir seperti dunia


Ku datangi kamar Ibu, ku ketuk pintunya, setengah berteriak ku katakan “ bu, buka pintunya! Aku ingin merasakan sakralnya hari Ibu di arena peluk cium penuh haru

Sini bu, biar ku sematkan mahkota, hadiah untukmu yang terbuat dari patrian mutiara air mata  do’a

Lihatlah kilaunya indah!!! biasan tawamu yang renyah dari semburat silaunya lara.” 


Kreekkk….pintu reyot dengan engsel yang sudah berkarat itu membuka,

Kutemukan surga itu terperangah

“Untuk apa kau agungkan momentum??” tanyanya

“bukankah setiap detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, hari ini, esok, lusa dan selamanya adalah milik kita??? Tak perlu kau risaukan soal perayaan”, katanya lagi berkelakar

“kau hanya harus tiba tepat waktu, di setiap jemputan bahagia yang sejak lama ku pesan untukmu sebagai obsesiku,”sahutnya membuatku diam tanpa kata

Genangan hangat bening serasa mendidih dan hendak tumpah dari kedua pelupuk mataku

Aku bergumam kesal pada diriku “sial!!!, lagi-lagi aku kalah darinya, yang selalu menjadikan bahagiaku  sebagai prosesi Hari Raya nya.”




Menabung Rindu

Karya : Renti Elvandari


Ku tengguk ramuan racunmu disebuah cangkir

Menelan luka yang amat getir

Setiap hari ku tabung kata-kata

Pada mata senja yang kian membara


Celengan kenangan kini telah penuh

Isinya nyaris melimpah ruah

Bak tangisku yang keluar darah

Kisah kita bukankah hanya sampah, 

diantara pematang-pematang duka yang kau cipta?


Sesekali ku lihat jerangan kopi masa lalu itu

Sejak lama mendidih, dimatangkan waktu

Kau ramu dengan jarak dan ingatanku

Lalu aku dipaksa minum selagi panas

Di kerongkonganku kini racun rindumu mengalir deras,

Makin mengganas

Seketika hatiku tewas



Sajak Usang

Karya : Renti Elvandari


Sampulnya berdebu tergerus waktu

Ada tinta merah jambu, di goresan memori haru biru

Kita mendekap buku waktu

Mengoyak setiap lembar pilu


Jika baitmu adalah aku

Maka kau sajak yang tak tuntas tertulis

Aksaranya telah buta

Termakan gulita

Aku nyaris meraba

Sebab hatimu tak terbaca

Mengeja kata per kata

Hingga kehilangan kata-kata


Adakah prosa itu masih bermakna, 

Saat sajakmu telah lama tak ku buka?

Kalimat per kalimat seperti azimat

Aku kehilangan alamat

Menuliskan kisah kita yang bahkan baru dimulai namun sudah tamat



"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.