Pengelana sunyi - Kumpulan Puisi

 








Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu puisi dari peserta Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Net 24 Jam. Puisi ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Lembayung". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html


Untuk melihat data peserta silakan kunjungi website www.net24jam.com

Selamat Menikmati puisi di bawah ini:


Pengelana sunyi


Pelan-pelan kaki ini melangkah

penuh harap indah merekah

namun nyali tetap saja membuncah

terpontang - panting hampir musnah

 

Satu persatu hari ditaklukan 

menjejaki bumi dengan kerelaan 

membohongi diri akan baik-baik saja

tapi apa? bingar pun tak dirasanya

 

Tertawa, pikirnya tertawa 

batinnya menangis menerka 

luka yang disembunyikan bersuara

berteriak dalam sepi tak dihirau mereka 


Sang pengelana sunyi

mendapati harap tak bertepi

nestapa menghujam diantara mimpi-mimpi

meratapi kisah semesta yang mencaci


Serasa berjelaga tanpa sanak saudara

asing atas siapapun

empati, simpati segalanya mati

kosong, dunia ini kosong

aku mohon ajak aku pergi!



Rapuh


Termenung diri terpaut letih

mengais sisa kebahagiaan meniti 

dalam ruangan gelap langkah mencari 

membuang pandang mengutuk diri


pintu tertutup

rapat, sunyi serta sepi terkatup 

ada apa gerangan? rasa sedih meletup - letup

menanti waktu menyalakan mimpi yang hampir redup


kutanyakan tenang pada malam

katanya disuruh diam

kutanyakan hidup pada bulan 

katanya, terus saja berjalan 


asa mengobarkan rasaku 

berjalan dalam diam merangkul mimpiku 

yang hampir redup termakan tangis pilu

lalu, menyeret langkah menuju bahagia yang hampir lalu.



Pujangga pilu


Luka mimpi menorehkan gunda

mengharu biru hati pujangga

menghantui dalam sukmanya

dan tak terwujud dilangit rendah aksara


meronta - ronta kata terbungkam bisu

kebencian sirna tersesat rindu

hiruk pikuk kenyataan tak dihiraukan pilu

untuk beradu dengan rasa yang satu


ternyata, sang pujangga masih saja

membiarkan rasa semu itu menari

dalam kepalanya yang tak pernah lalu."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.