MASA KELAM YANG TERLUPAKAN INDONESIAKU - Kumpulan Puisi

 








Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu puisi dari peserta Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Net 24 Jam. Puisi ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Lembayung". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html


Untuk melihat data peserta silakan kunjungi website www.net24jam.com

Selamat Menikmati puisi di bawah ini:


MASA KELAM YANG TERLUPAKAN INDONESIAKU


Apa kalian lupa.


Kala belanda ratusan tahun menginjak injak bumi pertiwi kita.


Menenindas pribumi kita.


Itu adalah waktu yang lama.


Bukan waktu sekejab mata.


Beratus ratus tahun belanda menari, berjoget di atas punggung pribumi.


Sengsara, kelaparan, kesakitan, menderita.


Sangat sulit kata bahagia di benak pribumi indonesia.


   Negeriku di zaman dahulu.




Apa kalian lupa.


Jepang.


Jepang.


Jepang.


Dengan bengisnya mereka membantai, membunuh, mempekosa, mayat di mana-mana dalam keadaan telanjang.


Itu kesengsaraan nyata.


Bukan cerita diada ada.


Bom bom diledakan di pelosok negeri.


Menciutkan jiwa sang pertiwi.


Jiwa tak berdosa, perempuan dibantai begitu sangat keji.


Suara tembakan menembus sakit di setiap sendi.


       Negeriku di zaman dahulu.




Apa kalian lupa.


Sang pelopor negeri , bung tomo menyerukan takbir "" الله اكبر الله اكبر الله اكبر merdeka !!! ""


Lentingan takbir penyemangat pemuda-pemuda bangsa.


Demi negeri.


Siap mati.


Pengorbanan besar demi merah putih negara ini.


    Negeriku di zaman dahulu.




Apa kalian lupa.


Presiden bung karno kala itu menyeru akan kemerdekaan indonesia.


Perjuangan yang sangat luar biasa.


Rakyat bumi pertiwi bersorak sorak akan bangkitnya negara kita.


Dari sabang sampai meroke suara gemuruh kemerdekaan "" merdeka !! Merdeka !! ""


    Negeriku di zaman dahulu.




Apa kalian lupa.


Indonesia sudah merdeka.


Indonesia sudah merdeka!!!


Pki sang durjana bangsa.


Ingin menjadi penguasa.


Menikam jendral jendral, membantai para petuah bangsa.


Begitu bengisnya.


begitu durjana.


mengsengsarakan warga.


   Negeriku di zaman dahulu.




Negeriku di zaman sekarang.


Kongkalikong cukong cukong berdasi.


Ingin berkuasa seenaknya sendiri.


Kongkalikong cukong-cukong berdasi.


Lupa akan sengsaranya indonesia berdiri.


Kongkalikong cukong-cukong berdasi.


Darah mengalir terlupakan demi keserakahan duniawi.


Kongkalikong cukong-cukong berdasi.


Merebut kemerdekaan demi mimpi sendiri sendiri.


Kongkalikong cukong-cukong berdasi.


Lalai akan gerombolan pembantai sedang merajut kembali.



AKU YANG SEMAKIN TUA 


17 agustus tahun 1945 aku dilahirkan.


Aku dilahirkan sebagai merah putih.


Pancasila adalah jati diriku.


Garuda terbang membawa ruh dan sukmaku.


Aku dilahirkan penuh dengan cerita.


Cerita kelam.


Cerita penindasan.


Cerita kesedihan.


Cerita darah di gengaman tangan.




Surat kabar sin po mendendangkan syair indonesia raya.


Aku terlelap dalam kedamain.


Denyut nadi yang mengeras.


Meleleh mendengar syair itu.




1926.


Aku masih di kandung bumi pertiwi.


Aku dipapah oleh putra putri ibuku sendiri.


1928.


Aku masih terkurung dalam kandungan.


Pasukan ibunda.


bersumpah kepadaku.


Bersatu dan berdarah dalam tanah air.


Berbeda suku tetap menyatu dalam satu gengaman.


Menyatu dalam bait-bait bahasa merah putih.




Aku semakin tua.


Merahku mulai memudar.


Putihku terbawa arus keserakahan.


Jati diriku telah kau permainkan.


Garudaaaaaaaa.


Patah sayapnya.




Kau tertidur di pangkuanku.


Kukasih susu yang berharga nilainya.


Dulu aku berdiri dengan tegaknya.


Prajuritku berbaris dengan serentak.


Melupakan darah yang mengguyuri mereka.




Aku semakin tua.


Kau memperdayaiku dengan omong nglanturmu.


Kau lupakan kala tidurmu kutimang-timang.


Kau mendustai kala tulangku meremuk.


Kau mengangkat merah putihku yang telah kau robek.


Kau memakan jerih payahku dengan begitu rakusnya.



AKU INGIN BERPUISI 


Sembari berimajinasi tentang keindahan wajahmu.


Aku mati kaku terlentang membisu.


Kau membius langkah cintaku.


Hanya susunan syair ini kubercerita.


Aku dihantui oleh puisiku sendiri.




Kepastian cinta, aku tak mampu mengaturnya.


Andai kudiberi satu kesempatan untuk mengaturnya.


Pastilah namamu, senantiasa di hapanku.




Aku ingin rangkai puisi untukmu saja.


Seribu lantunan indah kurangkai, ingin kuralat kembali.


Hanya untukmu.




Aku ingin berpuisi tentangmu.


Berjelma qois.


Bersukmakan nabi yusuf.


Apakah laila tahu, terpontang-panting rasa membalut akan cinta qois.


Mungkinkah zulaikha memberi kabar tentang cerita puisi ini.


Apa yang kuhandalkan dengan lantunan syair.




Apakah yang kutatap adalah takdirku.


Apa hanya hayalan menyeret takdir.


Aku ingin menyudahi puisiku sendiri.


Namamu masih mengajakku dansa ria.


Mengayun-ayun lantunan syair.


Mendayu-dayu bait-bait mustahil.




Masih dalam malam sendirian.


Aku peluk hayalan.


Jauh di mana aku harus raih.


Kuandalkan kepada takdir tentang cerita puisi ini.


Jangan kau layukan rasa yang kutanam, wahai takdir.


Seandainya takdir menerima.


Kusuruh zulakha untuk mendendangkan puisi ini untukmu.


Kusuruh laila untuk membentangkan rasa ini di hadapanmu.


Aku hanya percaya takdir.




Aku harus berlabuh dari mana,?.


Aku tak tahu aturan cinta yang sebenarnya.


Mungkin kata pecundang tepat untuk diri ini.


Aku diolok-olok oleh ceritaku sendiri.


Syairku masih berlantunkan syahadah cinta.




Aku tak punya genggaman kecuali takdir.


Bersuka akan jalanku.


Kuhias walau itu bukan kau.


Seandainya kau indah dengan takdirmu.


Pasti kusenyum menghias jalanmu.




Sungguh kubercerita kepada siapa lagi,?.


Tentang khaliq, yang begitu kuasa menciptakanmu.


Ingin kuteteskan tinta, menghias tentangmu.



Dan kusampaikan kepada penciptamu.


"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.