Air mata - Kumpulan Puisi

 








Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu puisi dari peserta Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Net 24 Jam. Puisi ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Lembayung". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html


Untuk melihat data peserta silakan kunjungi website www.net24jam.com

Selamat Menikmati puisi di bawah ini:


Air mata

Oleh : Rahmat A. Abdina


Mata sayu bersembunyi dibalik kelopaknya

Tertutup rapat oleh pagar kesunyian

Pun pekatnya kebohongan

Ia tetap pada keyakinan


Ia tak berlari, pula berjalan apalagi merangkak

Diam pada ketetapannya

Membisu tanpa kata-kata

Padahal sesekali ia sempat terbelalak


Ia pernah muncul dipermukaan

Dengan wajah sembrautan

Ia hadir sebagai suatu senyawa

Meskipun selanjutnya, harus berakhir sia-sia


Hingga sampai pada puncaknya

Semua seakan tumpah

Dari liang air mata

Sampai ke ujung pipi merona


Membeku, basah kemudian bermuara

Pada kenyataan yang akhirnya sirna

Tanpa perlu mengucap apa-apa


Pedih, bak garam menghantam lintah

Berair kemudian mencair

Dalam bejana, tempat dulunya hati berkelana

Demikianlah air mata



Selepas Hujan

Oleh : Rahmat A. abdina


Wajah-wajah belia memandang penuh tanda tanya

Menelisik dalam ribuan pasang mata

Di tengah-tengah kota yang basah


Di pertigaan menuju terminal

Berdiri seorang badut sambil melambai-lambaikan tangan

Menunggu kerja kerasnya dapat terbayarkan


Satu persatu penumpang bergantian

Terdengar tukang asongan menawarkan cemilan dan rokok batangan

Sayup-sayup supir angkot memenuhi isi telinga

Kemudian menuju angkasa yang memerah dan mulai kekurangan cahaya


Terlihat arloji yang melingkar di tangan kanan

Bergerak ke angka tujuh belas lebih lima puluh enam

Matari mulai meredup, lampu-lampu jalan menyala berurutan. 

Klakson mobil bersahut-sahutan

Pedagang mulai menyiapkan dagangan


Berjalan di samping sebuah ruko

Perempuan dengan tas kulit di lengannya

Mengenakan kebaya longgar berwarna biru kehitam-hitaman


Ia nampak lesu

Wajahnya setengah tertunduk

Terus berjalan, kemudian hilang dikeramaian



Gadis Halmahera

Oleh :Rahmat A. Abdina


Sepuluh jemari beradu dalam selembar kertas kosong

Menelisik setiap baris-baris

Berharap sebuah kata hadir sebagai pengantar


Sesekali mata berlari ke atap rumah

Ayam jago milik ayah telah berkokok tiga kali

Dibalik dinding kaca, warna langit sudah mulai berganti

Mata itu masih pada sasarannya semula


Tinta masih belum keluar dari sarangnya

Pertanda, secarik kertas masih suci tanpa titik

Padahal pikiran sudah dipenuhi kata-kata

Menanti saat untuk tumpah diatas meja


Hingga matari menyapa diujung cakrawala

Dan burung-burung memanggil dari balik jendela

Perlahan tinta mulai tumpah

Terukirlah sepenggal nama

Adalah dia, gadis halmahera"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.