https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati puisi di bawah ini:
WEDANG MONDO
: mantan
1.
Cukup teh hangat dan sebaris puisi pengganti gula, kulewati awal juli dengan sahaja. Tak ada legit kangen apalagi renyah cerita
Di kota ini semangkuk kenangan telah basi, jauh sebelum pandemi. Maka lupakan degup untuk kembali. Sebab sejak garis tangan melingkar, sebutir hati pergi dari cawan
2.
Cukup teh hangat, selebihnya biar angin hembus sewajarnya. Kita tak perlu purapura. Kau dan aku sedang menuju renta
Di meja, tak semestinya tersaji dua cinta. Lebih arif, kita sudahi permainan. Masing-masing kembali ke diri. Soal esok atau lusa ada pertemuan, itu sepenuhnya hak Tuhan
Cukup teh hangat untuk bersulang. Tanda cinta yang gagal
3.
Apa lagi yang dibincangkan di pagi hari. Wedang mondo memilih rasa sendiri. Tak perlu ditemani shusi juga spagheti. Ia paling bijaksana menghayati pancaroba sekalipun hambar saat dicerna
Solo, 2021
SKETSA UBAN
1.
Rupanya Kau sudah mengirim undangan
Menyelipkan disela legam rambut
Putih
Pertanda kemudaan mulai beringsut
Mungkin saat diri muhasabah
Menghentikan kegenitan yang selama ini nggladrah
Tapi tunggu, mohon jangan datangkan maut dulu
Aku harus les privat
Untuk pembekalan menuju akhirat
2.
Akan kupersiapkan dengan mesra
Ubo rampe sebelum hari H
Puasa lunas, sedekah ikhlas juga hablum minna nas
3.
UndanganMU sudah kubaca, lewat uban dikepala
Kelak ialah cahaya
Selagi jarijari usil tidak memetiknya
Solo, 2021
LOKAJAYA KEDAI
1/
Bukan sebab nasi bungkus, kopi dan gorengan berbincang malam itu
Tapi khilaf perhatianmu. Tergeletak di bangku panjang dan kunikmati spontan
Dengan degup nanar
Di kursi bulat, 2 waktu rokaat meloncat
Masuk ke dalam air mineral, menandai malam kian ndugal
Memaki cemas sate kikil juga sepotong mimpi yang cuwil pada jantung perempuan
2/
Bukan pula karena wedang mondo, dada ini kacau. Namun sungkan menyambangi. Mengajak henti main spekulasi. Cukup kepada tahu susur, wangi pertemuan aku campur Ke dalam semangkok mie. Agar saat kilometer menjulur, pagi tak menyisakan elegi
Pula tak ada kaitan nasi bungkus dan jejak sepatu
Hanya renyah sapamu, membuat langkah ingin berwudhu
Takluk sementara, di kepung witir rasa
3/
Kepadamu, aroma tembalang aku titipkan. Di rangsel hitam Tempat menasbih doa berulang selama ringkih perjalanan
Solo, 2020
GAUN PERPISAHAN
1.
Diamdiam kujahit, gaun putih berbordir biru Dengan taburan payet warna langit Serupa zikir agar rasa sanggit Saling meniupkan doa di jarak alit Agar bila pertemuan nanti, kaupun bisa menghayati Bahwa dibalik hias kancing, tersimpan rindu bening Pada sepertiga malam ganjil
2.
Diamdiam kujahit, rencana matang tentang rembang petang Dari perca katakata Sebab hendak kujadikan tas kecil, tempat segala kenangan bergulir
Semanis pola takdir
3.
Mesin jahit terhenti tibatiba resleting rusak, seperti kabar kepergianmu yang mendadak Menggunting rencana, menyematkan pita duka
Gaun putih belum rampung Tapi kilau swarozki menandai, kapang harus dipungkasi ; sebelum kencan menjadi
Solo, 2021
JEMBATAN CAMPUHAN
Sepanjang campuhan, aku menggauli kesepian. Tak ada lagi tempat untukku bersandar. Semenjak matahari sungsang dan mengecupkan tanda silang. Pada dadaku yang sempal.
Kaki-kaki jenjang, sorot mata biru, silih ganti melewati. Tak ada kata. Seribu diksi seolah sembunyi. Mirip bayang bapak ibu, menyapa kosong dalam sesaji. Terasa kering perjalanan. Sebab tak ada lagi pelukan, ketika langkah kelelahan.
Maka pahami, bila sesekali kupilih jalan sendiri. Menikmati perih dari wangi kamboja, dimana tiap detik tak henti mengulum doa.
Sepanjang campuhan, aku menjajakan garis tangan. Kepada angin, pura dan patung dewa. Sembari melafal kekalahan, semoga kau tak mendengar. Betapa jantungku nanar menghadapi menopause malam. Di jembatan ini, aku jatuh cinta berkalikali.
Ubud, 2017
"
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.