https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati puisi di bawah ini:
SANG TUAN
Puput Parwati
Kursi itu terus bergoyang. Ribuan amplop putih diletakkan di atasnya. Sang tuan hanya duduk. Terus berganti tuan. Memilih yang terkuat
Tak ada satupun yang pantas. Tak ada satupun yang pasti
Kami hanya menunduk. Menyaksikan semua. Terus menonton film yang sama. Alur yang sama. Pemain yang sama
Kapan semua ini akan berhenti?
Waktu semakin tua. Kami tak lagi menatap angkasa. Kami tak bisa tidur. Malam terus bertambah malam. Saat kami bangun. Hal sama terus terulang
Jika kau tuan selanjutnya
Bisakah kami berharap padamu?
KETIKA AIR BERKATA
Puput Parwati
Air berkata padaku. Di masa itu, seribu jiwa datang padanya. Sebagian berumur belasan tahun. Sebagian dewasa dengan senapan
Ada yang menebar bunga. Ada yang menebar racun
“Aku melihat semuanya” Katanya
“Apa yang kau lihat?” Tanyaku
Tempatmu berpijak
Jika saja ia tidak datang tanpa tulang, tanpa daging, tanpa kulit. Bukan tanah yang akan kau pijak. Bukan kain yang akan kau kibarkan. Bukan pula kehidupan yang akan kau terima
MUSIM DINGIN
Puput Parwati
Matahari menjadi ilusi. Semua mempercayainya
Apa kali ini “musim dingin”?
Manusia menjadi binatang. Bersiap mengais makanan
Apa kali ini “musim dingin”?
Perut mereka buncit. Bersiap tidur panjang
Apa kali ini “musim dingin”?
Kali ini “musim dingin”
“Musim dingin” yang sangat panas. Semua binatang menjadi rakus. Egoisme di atas segalanya
Kalian diperintahkan untuk tidur. Tapi kalian tidur...
Tanpa memperhatikan norma. Tanpa memperhatikan aturan
Ah, aku lupa
Tidak ada norma bagi binatang. Tidak ada aturan bagi binatang"
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.