Negeri - Kumpulan Puisi

 








Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu puisi dari peserta Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Net 24 Jam. Puisi ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Lembayung". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html


Untuk melihat data peserta silakan kunjungi website www.net24jam.com

Selamat Menikmati puisi di bawah ini:


 Negeri


Negeri ini yang kucinta. 

Tempat indah dimana aku dilahirkan. 

Cerita yang tak akan pernah usai. 

Dengan segala khas yang ada. 


Negeri ini yang ku cinta. 

Yang setengah hati mereka menjaganya. 

Tak pernah puas karena segala hal harus ada imbalannya. 


Negeri ini yang ku cinta. 

Saling berbaur dan menghormati

Tapi tidak dengan hukumnya. 

Tidak ada toleransi bagi rakyat kecil. 

Sebab yang tertinggi adalah mereka yang punya kuasa. 

Mereka yang selalu punya tempat dimata

mereka. 


Lalu dengan angkuh berjalan tanpa menghiraukan jeritan jeritan yang ada. 

Bergelimpang harta tapi tidak pernah puas

Memakan apa saja yang dengan menghalalkan segala cara. 

Melupakan rakyat yang meronta

Karena lapar yang tak kunjung henti.


Hilang


Gerimis kali ini mendatangkan pilu

Perlahan tapi pasti menjadi sendu

Ingatan akan bayangan yang semu

Memapah hanyut ke masa lalu


Dekap bayangmu yang hampa

Raga yang jauh tak tergapai

Lalu

Bagaimana aku mengobati? 

Pada luka yang tak mau sembuh


Bagaimana aku berhenti? 

Menjerit dan terisak

Karena aku masih terjebak pada masa lalu

Masa dimana waktu seakan berhenti

Memaksa ku untuk menikmati sakit itu dengan waktu yang lebih panjang

Memaksa ku untuk terus menyaksikan 

Menyaksikan takdir tuhan yang aku benci


Mentari ku kini hilang

Tanpa berpamitan bahkan menoleh sedikit pun. 

Tak ada kesiapan diri. 

Yang ku temukan hanya kosong

Ibarat rumah tanpa isi

Tanpa tau harus apa, tanpa tau harus kemana. 

Karena nyatanya. Aku sendiri.


Kotor


Aku adalah puing puing dari mereka. 

Aku tidak punya hak atas raga. 

Mereka secara sukarela memaksa masuk begitu saja. 

Tak peduli bagaimana aku mencegahnya. 


Mereka mencela. 

Memandang rendah atas diri. 

Karena kerhormatan yang direnggut paksa. 

Nyatanya mereka tau. 

Siapa mangsa sebenarnya. 


Ya. 

Aku lupa. 

Mereka adalah hak atas diri. 

Aku adalah boneka.

Memaksa tersenyum . 

Padahal jiwa sudah hilang. 

Lalu menyalahkan, berlindung dibalik alasan. 


Sekarang. 

Berteman saja dianggap rendah. 

Alih alih membela, mereka tertawa puas. 


Mereka tak pernah tau. 

Bagaimana takut, cemas, gelisah berteman dengan raga. 

Bagaimana bayang bayang tangan kotor itu menyentuh setiap inci yang tergapai. 

Jerit saja tidak terdengar. 

Bagaimana dengan air mata? ."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.