Genta Sang Pelukis Asa - Kumpulan Puisi

 








Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu puisi dari peserta Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Net 24 Jam. Puisi ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Lembayung". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html


Untuk melihat data peserta silakan kunjungi website www.net24jam.com

Selamat Menikmati puisi di bawah ini:


Genta Sang Pelukis Asa   


Deting waktu silih berganti.

Amaraloka mengenggam bahtera durjana.

Gemerlap asa dalam raga membendung jiwa.

Bermahligai dalam aji meratap dijendela,menghela segenap jiwa.


Ini bukan soal arkais atau gelabah.

Tapi gemintang bagaskara menyorot dunia sang insan.

Merebak bayang dalam pelukan dama.

Merangkul baswara dalam detak kasih.


Terlena dalam sayang yang terbuhul.

Menunggu deraian suara rindu yang menghulu.

Bukan sekedar aliansi diri namun atensi tersendiri.

Medobrak alunan aksara relung kalbu.



Menangkis bagaskara dari raga,yang mengikis.

Meluapkan sejuta anca nan atma.

Bergejolak bertabirkan imajinasi semesta.

Tetap berdesir dalam jiwa yang fana.




Mengenang Si Burung Besi



Mereka dibawa burung besi ke barzakh.

Melewati semesta,menembus cakrawala.

Menuju step bertemu sang pencipta.

Mereka sampai lupa,berpamitan pada semesta.


09,Januari 2021,menjadi saksi bisu.

Diangannya maasih bias bertemu di buana.

Akankah seonggok kisah ini,bisa menjadi pandangan?

Menembus dinding masygul kalbu kita?


Mereka pergi,melewati nabastala.

Karena sang pencipta,tidak mengizinkan.

Mereka melihat kehancuran sejagat raya selanjutnya.

Akankah ini kurang jadi bukti?,bahwa ajal mengintai diri tanpa tau detik.


Penantian alam barzakh…

Tempat penunggu atas segala perbuatan.

Tugas mereka sudah selesai.

Waktunya mereka pulang ke tempat asalnya.



Dungu Tak Berpatri



Janji tak kendati,menorah pedar yang bergejolak.

Cercahan aksara,hanya jeblosan dalam pasak.

Bak ombak yang terdengar,dan pasirnya tak terlihat.

Dalang dalam,holokaus adorasi penduduk negeri.


Bak menjilat ludah sendiri,diterkam angkara murka.

Bergurau diatas meja dewan?

Ceramah dihadapan masa,tapi tak beramanah.

Menyongsong rangkaian kata,hingga membabi buta tanpa arah.


Memegang kuasa,meraup harta tanpa kuasa.

Nurani pun sudah berpura tuli.

Isi perut kian merenggut dewana.

Hingga tuhan,enggan berakomodasi.


Mirisnya tanah air ibu pertiwi.

Bak boneka dewan dalam perunggu.

Titisan rakyat menahan haru.

Miliyaran jiwa mulai membisu.




"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.