Teras Kosong- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "Teras Kosong


Petrus berjalan keluar kontrakan dengan pandangan jauh dan raut muka yang gelisah. Wajahnya kusut sudah beberapa hari ini tidak tidur. Embun masih di ambang dedaunan. Matahari masih malu-malu menebar senyumnya. Petrus melihat beberapa orang selesai dari salat berjamaah subuh di surau dekat kontrakan. Lelaki tua terus melekat dalam pandangan Petrus. Seperti Pace saja bapak itu. Gumam Petrus sambil terus berjalan. 

Sampai di warung soto Bu Tin,  yang letaknya tidak jauh dari kampus ia kuliah, Petrus membelokkan kaki dan  mampir. Tidak sengaja Ia bertemu dengan teman kuliahnya. Kebetulan mereka sedang makan soto Bu Tin pagi itu. 

“Wei Petrus, ko bikin apa?,”  sapa Panuel setelah melihat Petrus masuk ke dalam warung soto. “tumben sekali ko Petrus, makan soto pagi-pagi, biasanya ko makan sekalian makan siang,” Petrus terus diam tanpa menjawab pertanyaan temannya itu. ‘Petrus kenapa muka ko itu, seperti tak semnagat. Ada masalah besarkah?” Tanya Meipe yang duduk di samping Panuel. 

Tanpa menjawab teman-temannya itu, petrus duduk dan memesan semangkuk soto untuk segera disantap. Maka Petrus duduk berhadapan dengan Panuel dan Meipe. Namun, suasana terasa agak pekat karena Petrus kelihatan sangat murung dan enggan berbicara. Hening sejenak. Hanya ada suara dentingan sendok yang menabrak pinggiran mangkuk soto dan suara tegukan teh hangat dari sebrang meja. 

“Petrus kamu lesu sekali, dan terlihat kuyu. Sudah tidur belum bro?” tanya Meipe. 

“Belum, sa dua hari ini tidak bisa tidur,sa sedang rindu Pace & Mace di rumah.”

“ Pace & Mace ko di Timika Petrus, sekarang sedang PSBB, kita tidak bisa pulang ke kampung halaman. Memangnya ko betul-betul ingin pulang ke Timika?” tanya Panuel sambil melebarkan senyum ke Petrus. Anehnya, Petrus malah mengerutkan kening dan menundukkan pandangannya. 

“ Sa tadi malam di telepon orang rumah, katanya di suruh pulang dulu, keadaan seperti ini, Mace dan Pace khawatir kalau sa di perantauan.”

“ Ya, tapi kita sedang di kota yang kasus Covid-19 tinggi, bahaya juga jika ko nekat pulang Petrus,” 

“ Tapi sa ingin pulang menengok Mace dan Pace” 

“ Sabar Petrus, kita semua ini tidak bisa pulang ke bumi Cendrawasih, apalagi saat ini PemProv telah melakukan pembatasan lokal. Mereka menutup semua akses baik darat maupun udara untuk sementara waktu. Jadi kita bersabar dulu lah di bumi perantauan ini.” ujar Meipe. 

“ maka dari itu, kita susah disini semenjak ada Corona, kita diperantauan jadi runyam. Pembatasan di wilayah Papua juga menyebabkan orang tua kita tidak bisa keluar untuk kirim kita uang. Sa di sini hanya kuliah, belum kerja masih mengandalkan kiriman Mace. Tapi sekarang, susah semua.” 

“ Sabar Petrus, mungkin nanti pemprov Papua bisa bantu kita. Sementara kita makan dari bantuan kampus dulu saja.”

“tidak begitu, bagaimana juga dengan Mace dan Pace di rumah sudah lama kita tidak bisa pulang karena Covid. Biasanya setiap liburan semester kita pulang. Bisa tengok Mace dan Pace dirumah dalam keadaan sehat.” 

Entahlah, tiba-tiba suasana kembali sepi. Petrus memegang kepalanya sambil menunduk. Dan dalam diamnya ingatan Meipe melayang kepada Bapak Ibunya di rumah yang hanya sebagai petani di Timika. Bagaimana keadaan rumah saat sulit seperti ini. Apakah mereka dalam keadaan baik. Benak Meipe berkecamuk. 

“ Sekarang ko mau bagaimana Petrus?” 

“ Sa ingin pulang Panuel, apa ko tak ingin pulang?” 

“ Iya saya ingin segera pulang, apalagi banyak isu-isu yang tersebar di Papua. Belum lagi konflik Tembagapura yang hari ini memanas, belum lagi isu-isu Covid-19 yang melanda Timika. Kemudian, virus yang katanya bisa menular lewat udara. Ini bikin sa dan keluarga jadi panik.” 

“ Iya, sa jadi mengkhawatirkan orang dirumah, kita sama-sama tau bahwa di Timika fasilitas kesehatan berbeda dengan di Jakarta, jika Virus menyebar, maka akan kesulitan mengatasinya, di Timika kekurangan tenaga kesehatan.” imbuh Panuel.

“ Semoga pemerintah bisa bantu kita “ ucap Petrus. 

***

Selama kuliah di Jakarta, Petrus tak pernah mengira akan menjalani masa-masa sulit seperti ini. Dulu sebelum Covid-19 hidup terasa menyenangkan. Tidak ada pembatasan-pembatasan, rindu tinggal pulang, jatah bulanan tidak pernah telat bahkan uang gedung tidak perlu nunggak. 

Petrus setiap hari merasa beruntung ketika bisa menapakkan kaki di Jakarta dan mencari ilmu di kota metropolitan ini. Petrus di temani rasa bangga bisa kuliah di kampus yang megah, sekolah dengan pakaian yang layak, teman yang membersamai tanpa jarak. Namun, kesenangan kuliah di perantauan cepat berubah sejak Covid-19 ini melanda. 

 Petrus pemuda dari Timika yang punya semangat tinggi untuk menyelesaikan kuliah di kampus ternama di Jakarta mulai pesimis. Kuliah yang tak lagi bisa tatap muka, kesuliatan biaya dan nelangsanya hidup di perantauan, menjadikan Petrus sedikit mengendorkan semangatnya. “Bagaimankah keadaan orangtuaku? Sampai kapankah seperti ini? Corona kapan kamu pergi?”.

***

Kontrakan itu mula-mula hening ketika Petrus sibuk memutar-mutar otak memikirkan keadaan keluarga dan dirinya diperantauan. “Kringg…kring..” tiba-tiba saja handphone Petrus bordering. Dilihatnya telepon masuk dari Mace Sayang. Buru-buru Ia mengangkat telepon itu. “ Hallo Mace, apa kabar? Sehat?” sahut suara perempuan dari sebrang telepon. “Sehat Mace, bagaimana keaadaan rumah? Sehat semua kan?” Petrus menjawab. “Iya, sehat semua ini di Timika, Mace minta maaf jarang-jarang kasih kabar ke Petrus. Mace sering kehabisan pulsa, susah keluar juga sedang pembatasan.” 

Percakapan berlangsung cukup singkat. Mace tiba-tiba terputus teleponnya. Petrus yang menyampaikan lancar-lancar saja kuliahnya tidak ada masalah yang Ia alami. Padahal, begitu berat Ia menahan rindu dan kehidupan di perantauan. 

***

“Sedang apa ya anak kita Pak? Sehat tidak Ia di sana?” Teras rumah yang penuh kenangan Petrus masa kecil menjadi tempat favorit Mace dan Pace menumpahkan kerinduan kepada Petrus. “Rumah serasa sepi Pace jika tidak ada Petrus, semoga Petrus cepat lulus dan segera pulang ke Timika ya Pa.” doa-doa baik dilontakarkan kedua orang tua Petrus di teras yang terasa kosong ini. Kepada Tuhan Pace mengaku merindukan Petrus dimasa tuanya. Ia sangat ingin bertemu Petrus, tapi karena keadaan sekarang ini Petrus hanyalah bayangan yang Ia peluk dalam kesunyian. 

Dua tahun bertahan menahan rindu kini Petrus dan Keluarga sama-sama menyekat sebuah pertemuan. Kepada anak dan Istri Pace mengaku baik-baik saja. Tubuh Pace terlihat tinggi dan gagah walaupun usianya sudah tidak lagi dibilang muda. 

***

Di puncak keheningan tiba-tiba tubuh Pace terasa lemas, gemetar dan dadanya begitu sakit tak tertahan. ""Pace.. Pace.. Pace kenapa? Tubuh Pace kenapa dingin seperti ini"" Ucap Mace yang tidur disamping Pace malam itu. Suasana terlihat kalut. Mace bingung tidak ada orang dirumah yang bisa ia mintak tolong untuk membawa Pace ke rumah sakit. ""Pace, kenapa Pace bertahan."" Perempuan itu, berlari tergopoh-gopoh dengan linangan air pata tak terbendung. ""Suka, Suka, bantu paman ke rumah sakit, paman.. Paman.. "" Mace tak sanggup lagi berkata. Sika lantas memakai baju dan mengantarkan  Pace ke Rumah Sakit terdekat. 

Tubuh Pace seperti sudah tidak kuat, nafas Pace mulai memelan dan jarang. Mace terus mendampingi Pace di dekatnya. Menyemangati Pace, mengusap wajah Pace dan menciumnya ""Pace bertahan, Petrus belum pulang Pace. Tunggu anak kita sukses dan pulang Pace"" gumam Mace. 

Dua jam terbaring di ruang ICU, dokter keluar ruangan dan menyampaikan bahwa Pace sudah tiada. ""Pace... Jangan tinggalkan sa,""  Mace menangis sejadi-jadinya. 

***

Seminggu lebih Mace tak memberi kabar Petrus. Dalam gelisah Petrus terus melihat layar handphone sambil menunggu telepon masuk dari Mace. 

"" Halo Petrus ini paman Sika,mamamu tidak bisa berkabar ia titip pesan agar kamu jadi anak yang baik saat kelak pulang "".

"" Loh kenapa paman? Mace sehat kan? ""

"" Mace sehat Petrus, pokoknya beliau titip seperti itu saja, sudah ya paman tidak bisa lama-lama bercakap ini""

""Baik, sampaikan salamku pada Mace, agar ia jaga kesehatan"". Petrus menitipkan salam sambil tersenyum.

""Tapi maaf saudaraku, sebelum paman tutup telepon ini, paman mau bilang kalau...... ""

""Apa paman?"" Petrus sedikit mendesak. 

"" Kalau.... Pace sudah tiada Petrus. Dia titip pesan agar ko diperantauan jaga kesehatan dan pulang bawa gelar sarjana."" 

Seperti petir yang menyambar di siang hari. Petrus terdiam, meski kabar yang ia terima membuatnya ingin berteriak melawan langit. 

Petrus terus menatap dengan tatapan penuh pilu, matanya berkaca-kaca seperti tidak percaya. Badanya dingin kakinya tiba-tiba saja lemas, Petrus terus diam tak bisa berkata apa-apa. 

""Pace.. Pace.. "" Petrus menangis tak kuasa. Ia tak menyangka bahwa di perantauan ia akan mendapatkan kehidupan sepahit dan se mengecewakan ini. Cita-cita membanggakan orang tua, memakai toga di hadapan mereka harus hancur sia-sia.  Jarak,perpisahan serta kehilangan harus ia telan di perantauan. "


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.