Hikayat Medali dan Piala Tua- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "Hikayat Medali dan Piala Tua

Oleh: Otis Strauss


       Di suatu kota, matahari telah bangkit dari peraduannya. Menyinari bentala yang terlelap setelah semalaman bulan bekerja menggantikannya. Orang-orang mulai kembali ke dunia nyata setelah bersenda gurau di alam mimpi. Hiruk pikuk orang-orang yang berseliweran, wira-wiri melangkahkan kaki mereka dalam menjalani aktivitas sesuai agenda sehari-hari mereka.

       Di suatu rumah, tampaklah seorang pria tua yang memberi makan dan membasuh burung-burung peliharaannya di sudut halaman rumah. Lantunan suara tak henti-hentinya muncul dari mulut-mulut burungnya yang tampak senang menerima semprotan air dari majikan mereka. Di sudut yang lain, belahan jiwanya juga tengah asyik merawat bunga-bunga kesayangannya.

       Tiba-tiba, sepasang telinga Kakek mendengar suatu suara yang sangat familiar di telinganya. Samar-samar dari kejauhan terdengar suara: ”Koooraaaan..., koooooran..... Berita baru: Angkat besi sapu bersih emas Olimpiade”. Suara tersebut semakin jelas ketika sang empunya suara semakin mendekati rumah sang Kakek. Sang Kakek lalu menghentikan sejenak aktivitasnya lalu pergi menyambut sang empunya suara di teras rumah. Dan akhirnya, sebuah surat kabar  diterima oleh Sang Kakek.

       Kakek itu lalu duduk di teras rumah di atas kursi kesayangannya. Ia lalu membuka lembar demi lembar surat kabar itu. Kedua netranya memeriksa kata demi kata di surat kabar itu, lalu tak terasa keluar aliran bening dari kedua sudutnya diikuti segaris senyum yang menghiasi bibirnya. Senyum yang sudah lama hilang dari wajahnya yang kini telah dihiasi kumis dan jenggot berwarna putih keperakan. Ia lalu meletakkan koran yang lain dan membawa koran yang memuat berita itu. Dan pergi ke kamarnya, menuju sebuah lemari dengan beberapa medali dan piala disertai foto-foto berpigura. Medali dan piala yang sudah tua masih mengilap. Lalu seperti sebuah video presentasi yang diputar slide demi slide, memori di otaknya melayang ke masa itu. Masa ketika ia darah muda dan menjadi pahlawan olahraga bagi negaranya


                                                                    ***


         Setengah abad yang lalu, ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika mata pelajaran Bahasa Indonesia yang salah satu materinya menyuruh murid-murid untuk menceritakan cita-citanya. 

        “Saya ingin jadi dokter, karena saya ingin menyembuhkan dan menyelamatkan banyak orang, ...”

        “Saya ingin jadi pilot, karena saya suka main pesawat dan akan saya bawa keluarga naik pesawat, ...”

        “Saya ingin jadi tentara, karena saya ingin membela negara kita tercinta, ...”

         Dan masih banyak lagi cita-cita teman-temannya yang akan diceritakan yang manakala setiap selesai salah satu murid bercerita, selalu diakhiri dengn tepuk tangan oleh para murid lainnya sebagai tanda hormat dan pemacu semangat.

        Akhirnya tiba gilirannya menceritakan cita-citanya. Dengan hati renjana laksana karang, ia lalu menceritakan cita-citanya. Berkatalah ia, “Saya ingin jadi atlet karena saya ingin memenangkan medali dan piala untuk Indonesia sebanyak-banyaknya. Disamping itu, saya suka olahraga, ...”

         Setelah selesai ia menceritakan cita-citanya, tepuk tangan dan teriakan penambah semangat keluar dari tangan dan mulut para murid.

         Sepuluh tahun berlalu, ...

         Tepuk tangan dan teriakan itu kini jumlahnya berlipat ganda.

         Yang tadinya empat puluh orang, menjadi empat puluh ribu orang!

         Anak itu menjadi pemuda gagah nan perkasa, yang telah berhasil mengibarkan Sang Merah Putih di Gelora Garuda diikuti dengan berkumandangnya lagu kebangsaan yang adiwarna. Pada sebuah event yang termashyur dan menjadi impian para atlet yakni Olimpiade, di hadapan ratusan negara.

         Lima medali kuning keemasan dikalungkan di lehernya beserta sebuah piala tertinggi dan adiwarna di pelukan kedua lengannya. Lima medali dan sebuah piala dari cabang olahraga yang namanya jarang mendapat perhatian para awak berita, para hartawan dan pengusaha besar juga jarang yang tertarik menjadi sponsor. Cabang olahraga yang sering diremehkan lantaran kurang sorotan kamera namun menjadi andalan Indonesia selain olahraga bulu tangkis dan atletik. Ya, angkat besi sebutan cabang olahraga itu.

         Usai penyerahan medali, datanglah kabar gembira itu. Ia lalu dipanggil oleh sang pelatih di rumahnya. Tampaklah disana sang pelatih bersama dua orang berpakaian setelan jas.

         Setelah memperkenalkan diri, dua orang itu lalu menyampaikan duduk perkaranya. Bahwa mereka menawarkan sang pemuda untuk sudi diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan akan diberi tunjangan yang memadai dari pemerintah. Disamping itu, pemerintah akan membangun rumah baru untuknya.

         Siapa gerangan yang tak tergoda dengan tawaran itu, sang pemuda lalu mengiyakan disertai perjanjian hitam di atas putih.

         Hari demi hari, bulan demi bulan, ia menunggu kabar pengangkatannya menjadi PNS beserta hadiah-hadiah yang dijanjikan di kediaman orangtuanya. 

         Suatu hari, sebuah surat kabar dengan huruf-huruf besar di halaman judul datang ke kediamannya. Dipungut dan dibacanya lalu tampaklah berita itu, yang bertuliskan: “Koruptor Pahlawan Olahraga Ditangkap”. Yang diikuti dengan huruf-huruf kecil di bawahnya. Dan foto-foto orang-orang yang tak asing di netranya, Foto orang yang dulu menjadi gurunya di pelatihan nasional dan satunya foto dua orang yang menyebar janji-janji itu.

         Bagai petir di siang bolong, lalu disusul dengan dentuman ombak yang begitu dahsyat di dadanya. Keluarlah sebuah aliran sungai penuh duka lara dari sudut matanya. Raganya yang gagah nan perkasa tak mampu menutup luka di dalamnya.


                                                                          ***


         Kedua netranya masih menatap lemari itu. Lemari yang menyimpan segala kenangan yang semanis madu dan sepahit brotowali. Disana tinta emas dan tinta hitam ada.

         Sepuluh bulan kemudian ...

         Senyum mengembang di wajahnya yang telah tampak penuh kerutan. Bersenandunglah ia bersama belahan jiwanya di lubuk hati, bersyukur lantaran pemerintah tak lagi menyebar janji semu dan kosong. Melihat sang anak yang kini menjadi PNS dan mendapat rumah baru beserta fasilitas lain. Bersuka ria dan bersenda gurau bersama sang istri lantaran sang anak tak bergaris nasib sama seperti dia di masa lalu.

         Kini, medali dan piala tua itu masih terpajang dengan gagah namun bersahaja di lemari itu. Bersanding dengan medali dan piala baru nan muda. Medali dan piala dari dua generasi berbeda namun sama-sama hebat dan harum namanya di seantero negeri.



                                                                    SELESAI

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.