SMITH DAN GEMERCIK KISAHNYA - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


SMITH DAN GEMERCIK KISAHNYA

Oleh: Vina Apriani 


Di siang yang basah, aku berjalan ke simpang tiga. Ayah ke barat. Ibu ke 

tenggara. Kata Kakek, belum saatnya aku berkenalan dengan kesedihan, dipeluk 

perpisahan, apalagi dibunuh kebencian. Itu juga yang ia katakan ketika aku 

menangis di hari kematian Nenek.

“Siapa yang akan menyiapkan makanan dan mendengarkan kisah ini sebelum 

tumpah di selembar kertas?” tanyaku meratapi jasad nenek.Kakek hanya tertunduk lemas di atas buku yasin yang sudah tampak rapuh 

seperti usianya. Sedang aku sibuk menata puisi yang tak kunjung selesai, dengan 

derai air mata.

Entah derita apa lagi yang akan kuterima setalah ini. Apakah nanti 

Kekek akan liburan tanpa aku? sehingga tidak ada lagi yang bisa membersamaiku 

di dunia ini.

Hari-hariku semakin kelam dan hitam. Bahkan awan tak lagi berwarna 

putih, begitu pun langit yang juga tidak biru. Semangat menulisku telah mati yang 

juga dibawa Nenek. Sampai larut malam, aku masih saja menganggit tikar. 

Berpenerangan kusam lampu kamar Nenek yang nyaris tandas. Sambil mengeja 

gema kenangan Nenek dan tidak peduli tetangga sudah pada tutup kamar.

“Bagaimanapun, tikar ini harus selesai, Smith, biar besok bisa ditukar dengan 

bahan dapur dan sedikit uang.” Begitu saja yang aku ingat.

***

Tak aku sadari tikar belum selesai. Aku telah mengecewakan nenek 

semalaman suntuk. Mata sembab akibat pemakaman Nenek kemarin pagi telah 

melelapkanku. Dan pagi ini, rasanya aku hanya ingin mati.

“Smith makan dulu. Kakek harus segera ke warnet, setelah itu bersiaplah Kakek 

akan mengantarkan kamu ke sekolah.” 

“Sekolah untuk apa? Aku tidak mau sekolah lagi Kek. Mau tidak Kakek 

membunuhku saja. Jika aku mengakhiri hidupku sendiri, Nenek tidak ingin 

menjumpaiku nanti,” lirihku dengan tatapan kosong.

“Smith apa yang kamu katakan ini. Nenek membersamai hidupmu setelah 

hubungan yang mengerikan dengan kedua orang tuamu. Sehingga kau selamat 

sampai sekarang. Apakah kau akan sia-siakan semua itu?”

“Sudahlah tidak perlu lagi berdebat. Kau hanya butuh waktu. Sekarang juga 

mandilah dan ikut Kakek ke warnet. Kakek tidak ingin kau sendirian di rumah.”

Sebelum Nenek meninggal, Nenek kerap berpesan agar aku menjaga 

hubungan baik dengan semua orang. Sekali pun dengan Ayah dan Ibu. Dan setiap 

pesannya itu, aku selalu menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan kata 

Nenek. Dan ini saatnya aku membuktikan.

Aku pun ikut bersama Kakek ke warnet miliknya. Pakaianku terlihat 

lusuh, setalah satu minggu belakangan Nenek tidak menyetrikanya karena sakit.

“Smith kemarilah,” lirih Kakek mengajakku.

Dengan langkah gontai aku mendekati komputer yang dihadap oleh 

Kakek. Kegesitan jemari kakek bersetubuh dengan keyboard membuatku sedikit 

heran. 

“Smith, jika Nenek telah selalu ada dan mendukungmu disetiap karya tulismu itu. 

Kakek ingin karya tulismu itu menjadi bagian dalam pembangunan bangsa.” Ujar 

Kakek tidak aku mengerti.

“Maksud Kakek apa?”

“Smith. Kakek ingin semangat menulis dari Nenekmu tak mati dalam diri kamu. 

Itu sebabnya, Kakek ingin kamu merasakan kebahagian dengan menyalurkan 

karya tulismu itu untuk bangsa kita.”

Masih dengan mengerutkan dahi, aku menatap bingung Kakek. Lalu 

Kakek nyengir dengan gigi palsunya.

“Sekarang ini era digital Smith. Karya-karyamu tidak seharusnya basi di 

tumpukan kertas. Kamu harus menyumbangkan tulisanmu itu untuk orang-orang 

yang membutuhkan. Dengan begitu Nenek yang kamu sayangi itu, juga akan 

mendapat pahala.”

Aku menggerutu tak berkesudahan. Permintaan Kakek benar membuatku 

jatuh berhamburan. Karya tulisan yang selama ini aku buat dengan perbincangan 

hangat bersama Nenek bukan untuk disumbangkan atau pertontonkan. Ini sangat 

mustahil. Entah apa yang dipikirkan Kakek. Setelah semua keluhanku, Kakek 

tampak kecewa dan sangat sedih. Walau begitu ia tetap menyayangiku.

Satu bulan telah berlalu. Setalah kepergian Nenek aku benar-benar 

berhenti sekolah. Kakek tak berhasil membujukku. Hari itu aku benar-benar 

menjadi sebatang kara, setalah mendengar Kakek meninggal saat sholat zuhur di 

warnet karena serangan jantung.

Di rumah, hanya tinggal aku yang bernyawa. Sepeninggalan Kekek, 

karyawan warnet mengurusku tulus. Kata mereka ini wasiat. Kakek benar orang 

baik, jadi mereka tak sungkan memelihara aku yang sebatang kara.

Aku duduk teridiam di teras warnet, mengamati anak-anak pemulung itu 

berjibaku dengan sampah-sampah di jalan. Hingga seorang anak laki-laki 

berpakaian compang-camping datang dan memasuki warnet. 

Aku mengalihkan perhatian pada anak itu. terlihat bang Soni menyapanya 

akrab seperti biasa jumpa. Ia masuk ke bilik komputer nomor 3. Entah apa yang ia 

lakukan disana selama satu jam.

“3 ribu kan bang,” ujar anak laki-laki itu yakin.

“Ya seperti biasa, satu jam kan.”

Rasa penasaranku membuncah. Entah mengapa aku sangat ingin tahu 

tentang anak laki-laki ini. Aku beranikan diri berkomunikasi lagi dengan orang 

lain. Setelah nasib sebatang kara. 

“Apa kau biasa kemari?” tanyaku tiba-tiba membuatnya terlihat ketakutan.

“Jangan takut. Aku hanya laki-laki sebatang kara. Kau sendiri? Mengapa kemari 

dan sangat akrab dengan bang Soni penjaga warnet ini?” tanyaku kembali.

“Nama saya Adi bang. Saya kesini mau sedekah,” jawabnya seadanya.

“Sedekah?” 

“Iya bang. Kata ibu guru bahasa Indonesia di sekolahku. Jika kita tidak bisa 

sedekah dengan uang. Sedekahlah dengan tulisan. Aku hanya anak pemulung 

bang. Bahkan aku juga ikut memulung. Tidak ada banyak uang untuk sedekah, 

makan saja susah.”

“Memangnya apa yang kamu tulis?”

“Apa saja bang, kata ibu guru, sekarang era digital bang. Tulisan kita yang memuat edukasi akan 

bisa dibaca orang lewat teknologi. Jika kita menulis dan mengirimkannya itu sama 

saja kita berperan dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Otomatis kita juga 

sudah bersedekah jika seperti itu bang.”

Seketika aku terbungkam. Tak ada wajah yang berani aku ekspresikan 

selain malu. dan permintaan Kakek dulu juga menggema lantang. Aku mendekat

pada tembok, dan menghantamkan kepala sendiri berulang kali, anak laki-laki itu 

ketakutan, lalu pergi.

Aku mulai bangkit. Dan mengabulkan keiinginan Kakek waktu itu. Belajar 

memainkan teknologi dan menyumbangkan seluruh karyaku lewat media sosial. 

Tak pernah aku bayangkan, setalah masa kelam yang telah aku lewati. Aku berhasil menjadi penulis kolom di Indonesia, hingga aku dapat membangun 

peradaban bahasa Indoneisa dalam tulisanku."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.