Keluar Dari Cangkang Telur - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 Keluar Dari Cangkang Telur

dlvmays


Empat orang laki-laki saling memukul secara brutal tanpa henti. Tiga diantaranya merupakan pria dewasa yang biasa memalak uang dengan kekerasan. Sedangkan satu dari mereka adalah remaja gelandangan  tak tahu arah. Bodohnya, ia terjebak di gang sempit itu dan menjadi sasaran perlawanan hingga berakhir dirinya dikepung. Tak mau kalah, remaja tadi memaanfaatkan kelengahan pria di hadapannya. Meski tubuhnya terlihat ringkih, namun tenaganya cukup kuat. Ia puas membuat pria itu muntah darah dan meninggalkannya tanpa mengambil apapun.


“Dasar pendusta!”


****


Di tengah guyuran hujan, orang-orang berlalu-lalang menambah kecepatan langkah kakinya. Tangannya masing-masing menggenggam payung aneka warna. Sedangkan di antara pembatas jalan, seorang pemuda duduk bersandar menengadahkan kepala ke atas. Kelopak matanya menutup pelan. Sembari merasakan sakitnya tetesan air hujan menembus kulitnya, ia tersenyum dan bergumam.


“Lain kali kalau mau tiduran jangan di sini ya?”


Sebuah suara mungil membuat kelopak matanya kembali terbuka. Ia mengerutkan alis bingung ketika tak lagi merasakan guyuran hujan. Ketika mendongak, sebuah payung besar rupanya melindunginya. Kepalanya menoleh pelan. Dari kejauhan, ia bisa menangkap sosok asing itu meski kemudian tertelan banyaknya orang berlalu lalang.


****


Perutnya sakit. Sedari pagi ia belum memakan apapun. Ditambah luka di sekujur tubuhnya belum kering, semakin menambah penyiksaannya. Dari tempatnya berdiri, matanya menangkap lelaki tua penjual roti keliling tengah menata dagangannya. Ketika lelaki itu menunduk mengambil beberapa bungkus lagi, si remaja memanfaatkan kesempatan dengan menambah laju larinya dan meraih sebungkus roti di atas meja. Sontak saja laki-laki tadi menyadari seseorang mencuri dagangannya. Karena tak mampu mengejar, ia pun berteriak, “pencuri!” dan sukses membuat beberapa orang di sekitar sana mengejar si pelaku. 

Merasa puas dengan hasil curiannya, netranya menatap penuh binar. Ia melahap dengan cepat roti di tangannya tanpa peduli seseorang memperhatikannya dari kejauhan. Sangat disayangkan, kenikmatan itu hanya sementara. Gerombolan orang tadi berhasil menemukannya dan langsung menghajarnya tanpa kenal ampun. “Jangan menyakitinya!” Orang-orang itu berhenti, namun masih memandang remeh ke arah pelaku. 

“Hei gadis kecil, kau kenal orang ini?” Tanya salah satu dari mereka. “Dia kakakku. Ku mohon lepaskan dia.” Gadis berambut panjang tergerai itu merogoh saku bajunya. “Aku punya sedikit uang untuk mengganti itu.” Awalnya, mereka menatap gadis kecil tersebut penuh selidik. Mereka memandang gadis itu dan si remaja secara bergantian. Hingga akhirnya salah satu dari mereka memilih mengakhiri perkelahian dan hendak pergi. Tapi sebelum itu, si remaja justru menjulurkan lidahnya mengejek. Ia puas kali ini ia dibebaskan meski luka yang ia terima cukup serius. 


****


Angin malam berhembus kencang. Di tengah keheningan, remaja berpenampilan urak-urakan menatap kosong air tenang di bawahnya. Tangannya bergetar ketika memegang pembatas jembatan. Matanya tertunduk sayu, air matanya jatuh dan ia menangis pilu. Senyumnya beradu dengan kekesalan yang ia buat sendiri. Mengingat hidupnya tiada berguna, dirinya kembali terisak. Kakinya siap melangkah dan hendak melompat meski batinnya berontak tak percaya. 


Ketika ia menutup mata dan merentangkan tangan, desiran angin menerpa wajahnya. Membawa suasana kesejukan sekaligus kepiluan di waktu bersamaan. Senyumnya perlahan mengembang. Ia merasakan tubuhnya melayang di udara meski hanya sesaat. Sesuatu tiba-tiba menariknya ke belakang hingga ia terjengkang. “Jangan lakukan itu, atau Tuhan akan membencimu.” Ujar seorang gadis kecil yang ia ingat jelas suaranya. _Tapi Tuhan memang sudah membenciku._


****


“Kenapa menolongku?”


Setelah insiden tadi, gadis kecil itu membawa si pemuda ke rumahnya. Dengan telaten ia mengobati luka di setiap sudut wajah dan lengan pemuda itu tanpa merasa takut. “Tuhan masih sayang kakak. Itu sebabnya ia membisikkan seseorang agar mengulurkan tangannya.” Ujarnya terdengar polos.


“Kakak lapar? Masih ada sisa makanan tadi pagi kalau kakak mau.” 


“Ak-“


“Haaaaaa!”


Belum sempat menjawab, suara lain mengagetkan keduannya. Gadis kecil itu berlari ke dalam kamar dan seperti sedang berbicara dengan oranglain. Karena penasaran, si pemuda lantas mendekat dan menemukan seorang wanita di atas ranjang bersama gadis kecil tadi. “Dia bukan orang jahat. Aku menolongnya tadi.” Celetus bocah itu berterus terang.


Merasa dibicarakan, pemuda itu menunduk dan memberi senyum yang langsung dibalas senyuman manis wanita itu meski tanpa mengatakan sepatah kata. “Panggil saja aku Roy.” Gadis kecil di hadapannya tersenyum sumringah. Ia melompat turun dari ranjang dan mengangkat satu tangannya. “Dan aku Lily.”


Waktu semakin larut. Suasana berubah sepi mendekati dini hari. Roy berniat meminta izin Lily untuk pamit sekaligus berterima kasih karena telah menolong juga mengobati lukanya. Namun Lily menolak. Ia bersikeras ingin Roy tetap tinggal dengan alasan Lily yang terus merasa kesepian tinggal di rumah. 


“Bukankah kau masih punya Ibumu? Lalu kenapa masih merasa kesepian?” Lily menunduk memainkan jemarinya. “Dia bukan Ibu kandungku. Aku merawatnya sejak usiaku 8 tahun.” Roy sedikit bungkam, namun kemudian tangannya tergerak mengelus surai gadis kecil itu pelan. “Meski begitu, bukankah kamu menyayanginya?” 


 ****


Pada akhirnya Roy tetap tinggal di sana sesuai permintaan Lily. Keduannya saling bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup. Meski tak berpenghasilan seberapa, tapi setidaknya itu cukup untuk membeli makan sehari-hari. Keadaan itu terus terulang setiap harinya.


Suatu hari ketika berjalan ke arah pulang, Roy menggenggam jemari mungil Lily agar bocah itu tidak lari-larian. Dalam keheningan malam, keduanya saling diam. Samapi tiba-tiba Lily menghentikan langkahnya dan memegangi perut sembari meringis menahan sakit. “Lily kenapa?” Roy panik ketika tubuh Lily ambruk menyentuh tanah. Hal itu membuat pikirannya kacau sampai ia terpikirkan membawa Lily ke Rumah Sakit.

 

“Berapa lama pasien mengeluhkan gejala ini?” 


Roy berpikir sebentar. Ia baru ingat kalau belakangan ini Lily sering mengeluh perutnya sakit. “Sekitar dua bulan terakhir.” Jawannya dibalas helaan napas kasar sang dokter. “Pasien menderita radang usus. Sekilas, orang akan mengira ini penyakit maag. Namun tidak seperti itu. Kalau dibiarkan, ini akan menimbulkan komplikasi bahkan berujung kanker usus.”


“Saya sarankan pasien dirawat sementara waktu.”


Diagnosa dokter rupanya berpengaruh besar pada Roy. Dia semakin ragu harus mengatakan apa kepada Lily nantinya. Meski setengah tidak berani mengambil resiko, Roy tetap akan membawa Lily pulang. Ia tahu biaya rumah sakit tidak sedikit. Untuk pemeriksaan ini saja sudah banyak menghabiskan penghasilannya hari ini. 


“Kakak?”


Roy mengangkat wajah. Ia baru sadar dirinya sudah berada tepat di samping ranjang tempat Lily berbaring. Senyumnya sedikit mengembang melihat bocah itu sadar. “Lily sakit apa?” Namun sesaat luntur kemudian, “hanya sakit perut biasa. Lain kali jangan terlalu kecapean ya? Kalau butuh apa-apa, katakan saja pada kakak.”


Lily terkikik, “kakak berbicara seolah Lily sakit parah saja.”


 ****


Sejak hari dimana Lily masuk Rumah Sakit, Roy bekerja semakin giat dan melarang Lily membantunya. Alasannya sederhana, ia hanya tidak ingin bocah itu jatuh sakit terlebih setelah diagnosa dokter waktu itu. Pekerjaan berpenghasilan tak seberapa membuat Roy mau tidak mau harus mencari pekerjaan lain. Ia sampai menyewa kostum badut dan mengambil kerja di taman hiburan. Kali ini tugasnya tidak sulit. Roy hanya perlu menyambut orang-orang yang datang dan sesekali menghibur mereka.


Namun di saat bersamaan, kesehatan Lily semakin memburuk. Dia sering muntah-muntah, diare, dan mengeluh sakit perut bagian bawahnya. Berat badannya pun terus menurun setiap hari. Hal itu membuat Ibu panik dan berulang kali memijat pundaknya seolah berkata, “kamu akan baik-baik saja,” meski tak membantu apapun.


****


Roy tersenyum puas menghitung gaji yang ia peroleh seharian ini. Selepas membeli beberapa bungkus makanan, ia lantas pulang. Dalam hatinya merasa tak sabaran melihat reaksi Lily dan Ibu karena untuk pertamakalinya ia bisa membelikan makanan enak untuk mereka. Sambil bersenandung kecil, dihirupnya udara dalam-dala… - _Grep_ … seseorang memegang lengannya kuat. Roy tahu kalau itu Ibu. Namun raut panik wanita itu malah membuat Roy semakin bingung. Berulang kali Roy bertanya, “ada apa?” namun Ibu tak juga memberi jawaban lewat gerakan tangan seperti biasanya. Sampai keduanya tiba di rumah, Ibu masih menggiring Roy agar mengikuti langkahnya. Mata Roy membulat lebar kala menemukan Lily terbaring lemas di atas ranjang. 


“Lily?”


Ibu sontak menangis melihat tubuh Lily lemas tak berdaya dalam gendongan Roy. Setelah berdebat dengan bagian administrasi dan melunasi biaya Rumah Sakit, Lily kembali dirawat. Dokter yang pernah memeriksa keadaan Lily sebelumnya menyimpulkan bahaya penyakit kali ini lebih serius. “Bukankah sudah saya katakan agar pasien dirawat saja?”


“Seperti diagnosa sebelumnya. Penyakitnya berangsur memburuk seiring berjalannya waktu.” Dokter menjeda kalimat dan mengambil napas panjang, “pasien menderita kanker usus stadium akhir. Kalau tidak dilakukan kemoterapi, bukan tidak mungkin nyawa yang akan menjadi taruhan. Meski…kesembuhan pun mustahil terja-”


Roy memotong kalimat, “saya akan menjual ginjal saya dok. Bahkan jika perlu, pindahkan penyakit itu pada saya! Saya akan terima itu!” Roy frustasi. Ia menunduk dalam menyembunyikan tangisnya. Sedangkan di ambang pintu, Ibu menutup mulut tidak percaya. Dirinya ikut terisak meski tanpa bersuara. “Saya tahu perasaan anda, terlebih jika itu menyangkut adik sendiri. Saudara sedarah.”

Roy mengangkat kepala, “dia bukan adik kandungku. Meski begitu, aku menyayanginya seperti keluargaku sendiri.” Gaya bicaranya mendadak berubah dan suaranya terdengar serak. “Lalu, kenapa harus membual? Kenapa anda sampai mengorbankan diri sendiri demi kesembuhan gadis itu?” Sekali lagi, Roy semakin mengangkat kepalanya, menunjukkan wajah sembab bercampur kepiluan yang ia rasakan.


“Karena bisikan Tuhan berhasil membuat seseorang mengulurkan tangannya.”


****


Kicau burung berhambur satu sama lain. Suasana sunyi, namun menenangkan. Hawa dingin menusuk, namun penuh dengan kesejukan. Roy meletakkan setangkai bunga di atas gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan nama seseorang. Di sampingnya, sosok wanita tuna wicara mengulas senyum tipis. Ia mengelus batu nisan itu sembari membayangkan wajah seseorang yang sangat dirindukan. 


Roy tersenyum paksa. Air matanya kering sejak beberapa saat lalu. Meskipun demikian, bibirnya bergetar menahan isak tangis. “Tuhan lebih menyayangimu. Ia tidak ingin kamu berlarut dalam kesakitan dunia.” Roy menatap Ibu sekilas, berbicara lewat batin agar mereka segera pulang dan melupakan kepahitan ini. Tapi sebelum itu, sekali lagi Roy berbalik. Ia tersenyum simpul. Sangat manis. Di dunia paralel lainnya, biarkan aku meminta izin pada Tuhan untuk menemuimu sekali lagi.


SELESAI"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.