Singgah yang tak Sungguh - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Singgah yang tak Sungguh


Ke depannya, kalo udah engga sama dia, aku bisa nemu lagi, ngga ya? Manusia yang genggam tangannya sehangat dia, yang suara tawanya menjadi nada paling candu, yang dialognya selalu mengundang canda.

“De? Hei!” Awan mengibaskan satu telapak tangannya tepat di depan wajah Delila, gadis yang dilihatnya tengah melamun sedari tadi. Delila tersentak, matanya mengerjap. Lekat-lekat memandang Awan dengan mulut sedikit terbuka.

“Eh?”

“Ah, eh, ah, eh. Mikirin apa sih, dari tadi? Serius banget sampai bertaut-taut alismu.”

Delila tersenyum, memainkan sedotan dari es matchanya yang sudah sedikit mencair. “Nggak papa, kok.”

“Oh, begitu ya sekarang. Rahasia-rahasiaan, nggak mau terbuka.”

“Loh, memang enggak ada apa-apa, sayang.”

Awan hanya tersenyum, mengalihkan pandang ke arah jendela yang menyuguhkan padatnya jalan raya di luar sana. Sesuatu cukup mengusiknya, membuat Awan sering kali menghela napas berat.

“Kamu kenapa, sih? Masalah kerjaan lagi?” Tanya Delila penasaran. Awan menghindari kontak mata dengannya cukup lama, membuat Delila merasa hal ini sangat mengganjal.

Awan menoleh, meraih jemari Delila dan menggenggamnya dengan lembut. Laki-laki itu menggeleng sembari menerbitkan senyum, senyum yang entah kenapa membuat Delila merasa akan kehilangan sosok ini.

“Ada apa?” Tanya Delila lagi.

“Kerjaanku lancar-lancar saja, kok. Oh ya, habis ini ke pasar malam yuk. Katanya kamu ‘kan pengen mewarnai.”

Sontak saja Delila tersenyum, “ayok!” sahutnya antusias membuat Awan gemas dan mengacak puncak kepalanya pelan. “Dasar bocil.”

Plak! Delila sontak menggeplak telapak tangan Awan, bibirnya mengerucut kesal, “aku udah gede!” Awan justru terkekeh, semakin gemas dengan tingkah gadis di depannya.

Selama perjalanan, keduanya sama-sama diam. Hanyut bersama suasana malam dan rumitnya pikiran masing-masing. Delila menyandarkan dagunya pada bahu tegap Awan, lelaki itu bahkan tak melepaskan genggam tangan mereka.

“De,” panggil Awan memecah hening.

“Hm?”

“Jangan tinggalin aku, ya.”

Delila mengerutkan alisnya, heran. “Kenapa tiba-tiba bilang begitu?”

“Jangan ke lain hati, De.”

“Ish, kebiasaan! Aku tanya nggak pernah dijawab.” Awan terkekeh, tawanya selalu renyah. Ditambah kedua lesung yang menghiasi pipi laki-laki itu membuat pesonanya begitu kuat.

“Nah, udah sampai.” Awan mematikan mesin motornya, membantu Delila melepaskan kaitan helm, kemudian mencubit pipi gadis itu dengan gemas.

“Sakit ih!” Gerutunya, padahal di dalam sana ada detak bertalu-talu yang Delila dengar cukup keras hingga ia takut kalau Awan juga bisa mendengarnya.

Gadis itu mengedarkan pandang, menyapu segala sudut pasar malam yang dipenuhi dengan berbagai macam pedagang juga pernak-pernik cahaya yang membuatnya tersenyum sumringah.

“Ayo ke sana!” Ajaknya sembari menarik lengan Awan. Langkah-langkah panjangnya menuju satu pedagang gambar yang sangat ingin ia coba.

“Aku pengen gambar Ultramen, dong Pak!” Serunya. Awan lagi-lagi hanya bisa menggeleng dan tersenyum. Memang seperti anak kecil, tingkah Delila selalu membuat Awan ingin menjadi lebih kuat agar bisa melindunginya dengan penuh.

“Duduk sini!” Titah Delila yang sudah tidak sabar ingin mewarnai gambar Ultraman yang ia pilih. Awan manut, ia tak bisa mengalihkan pandang sedetik pun dari wajah Delila yang tersenyum lebar sembari memilah warna cat yang akan ia tumpahkan.

“Pakai warna biru aja, De. ‘Kan kamu sukanya biru.”

“Salah. Aku sukanya kamu.”

“Dih, bisa ajaaaaa.” Awan lagi-lagi mencubit pipi Delila, gadis ini kelewat menggemaskan.

“Aku beli minum dulu sebentar, ya?”

“Hm, iya.” Delila mulai menumpahkan catnya sedikit demi sedikit. Ini adalah karya seni yang harus diisi dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Tidak lama, Awan datang. “Minum nih.” Menyodorkan sebotol teh dingin yang ia beli. Delila mendekatkan mulutnya dengan mata yang tak terlepas dari gambar Ultraman itu.

“Tahu, mau?” Awan menawarkan gorengan tahu sembari mengunyah, Delila menggeleng. Ia mau fokus. “Kamu diam, deh. Jangan berisik,” pintanya dengan tenang. Awan hanya mengangguk meskipun Delila takkan melihatnya. Sembari gadis itu sibuk dengan lukisannya, Awan juga sibuk menjejalkan tahu-tahu itu ke dalam mulutnya.

Lima belas menit kemudian, lukisan Delila selesai. Ia mengikuti saran Awan untuk memberi warna biru pada Mas Ultraman yang Delila beri nama Dean, alias Delila dan Awan.

“Bagus, kan?” Tanyanya antusias dengan senyum sumringah yang belum terbenam sepanjang gadis itu mewarnai.

Awan mengangguk, “good job.”

“Fotoin aku, dong!” Pintanya. Sedikit menjauh dari posisi Awan, bersiap pose dengan dua jari andalannya yang membentuk huruf V.

Awan merogoh ponsel di saku celana jeans hitamnya, membuka kamera dan bersiap memotret Delila. “Yuk, satu, dua, ti... ga.” 

Cekrek

“Ayo foto sama kamu juga!” Ajak Delila sembari menarik lengan Awan, “selfi aja pakai kamera depan.” Awan nurut. Beberapa jepretan sudah diambil, Delila masih tersenyum bahagia. Awan jadi ikut tertular.

“Sudah?” Delila mengangguk sebagai jawaban, “langsung pulang, ya. Sudah malam.” Delila mengangguk lagi.

Butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai di rumah Delila, dan sepanjang perjalanan itu Delila masih asyik memandangi hasil karya mewarnainya. “Keren ya hasil mewarnaiku!” Serunya membuat Awan mengelus punggung tangan gadis itu.

“Iya, bagus banget loh itu.”

Delila x A-one

Mas Ultraman (Dean)

05/11/2021

Itu adalah tanda yang Delila tulis di bagian bawah lukisan. Lukisan ini akan ia pajang di kamarnya, agar dipamerkan pada siapa pun yang masuk ke kamar gadis itu.

“Nah, sampai.” Seperti biasa Awan melepaskan pengait helm milik Delila. “Aku mampir dulu sebentar, ya. Ada hal yang mau aku omongin.”

Delila mengangguk, “aku ke dalam dulu, nyimpan ini.” Ia mengangkat lukisan itu tinggi-tinggi.

Awan memandang punggung gadis itu yang perlahan menghilang di balik dinding. Dalam diamnya ia menghela napas panjang.

Sudah waktunya, kah?

Monolognya. Lelaki itu memijat pelipis pelan.

Akan sehancur apa dia nantinya?

Perasaan bersalah juga sendu yang menggelayuti jiwa lelaki beriris teduh ini sudah bersemayam berhari-hari. Semakin ia tahan, semakin ia berontak sendiri.

Tapi kalau enggak sekarang, dia pasti lebih terluka.

“Maaf ya, lama.” Awan mendongak, tersenyum miris karena wajah bahagia itu masih tercetak jelas pada Delila.

“Jadi, kamu mau ngomong apa?”

Mengalihkan pandang lagi, kepalanya berdenyut nyeri. Napasnya tiba-tiba tercekat, tenggorokannya kelu. Awan mengeraskan rahangnya, menahan diri agar tidak menangis di sini.

“Kamu ada masalah apa, sih? Gelisah banget kelihatannya.”

Awan menoleh, menatap lekat netra hitam Delila yang di sanalah ia mendapat teduh yang menjadi candunya. “Maaf, De. Maafin aku.” Hanya itu. Hanya itu yang mampu ia ucapkan.

“Kamu kenapa sih, ih! Bikin orang khawatir aja.”

“Maaf aku suka nggak tepat janji, maaf aku suka jahil, maaf aku suka nyebut kamu bocil, maaf aku suka nyubit pipi kamu. Segala keburukan aku, tolong dimaafin, De.”

“Apa sih, nggak lucu loh. Kamu ngomong kayak gitu seolah enggak akan ketemu sama aku lagi.” Awan diam. Beberapa saat ia memejam. Sebulir air bening itu menetes, melewati pipinya. Ia menahan dengan susah payah dengan bibir yang mulai bergetar.

“Ibu.. aku...”

“Apa? Ayo bilang! Ibumu nggak setuju sama aku? Iya? Begitu?”

“Maaf De. Maaf.”

“Ka-kamu nggak ninggalin aku, ‘kan?”

“Maaf, Delila.”

“Jahat kamu, Wan! Jahat! Padahal tadi sore kamu yang bilang kalo aku nggak boleh ninggalin kamu. Kamu jahat!!” Amuk Delila, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tangis gadis itu pecah. Awan hendak memeluknya, sampai tangan lelaki itu akhirnya ditepis kasar.

“Jangan sentuh aku!”

“De, ini bukan pengennya aku. Ini saran dari Ibu, mau nggak mau aku nggak bisa nolak saran Ibu.”

“Apa?! Apa yang ibu kamu bilang, hah?! Apa?!!”

Awan menghela napas kasar. “Aku... dijodohin.”

Dwaaaar.

Rasanya dunia Delila runtuh. Rasanya semua oksigen habis sampai ia lupa cara bernapas. Rasanya...

Delila ingin menghilang saja.

“Jadi, tetap kamu yang ninggalin aku, ‘kan? Jadi, tetap aku yang kamu tinggalin, ‘kan? Tetap aku yang kamu biarin sendirian, ‘kan?”

Pada akhirnya, kita menyerah. Pada akhirnya, memang hanya luka. Padahal, pada dasarnya tentang kita adalah bom waktu yang mengandung berjuta lara.


Julaeha


"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.