SIMFONI CINTA UNTUK BAPAK - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


SIMFONI CINTA UNTUK BAPAK


“Tyas! Mau jadi apa kamu kalau kerjaanmu hanya menulis, menulis dan menulis saja?” Air muka Bapak merah padam, langit mendung terasa semakin gelap.

“Maaf Pak, Tyas gak ngulangin lagi.” Mataku berkaca kaca, suaraku terdengar serak.

“Kamu tahu kan anaknya Pak Sarwono yang punya warung itu? Kerjaannya cuma ndomblong didepan pintu, genjrang-genjreng gitar gak berguna bilangnya lagi cari inspirasi padahal otaknya nol, tenaganya kosong! Kamu mau hah??” Kali ini mata Bapak melotot seram, “Meskipun kita itu miskin, gak punya biaya buat kamu sekolah, setidaknya kita harus kerja keras biar dapat duit banyak terus hidup bahagia!”

“Kalau kamu cuma ndekem dikamar terus nulis-nulis gak jelas, mau dapat duit dari mana, hah??” Ini pertanyaan yang sama setiap kali aku ketahuan menulis oleh Bapak. Entah apa yang sebenarnya beliau pikirkan, kenapa Bapak benar membenci tulisan dan musik.

“I_iya Pak” Aku mengangguk dalam, tak berani menatap wajah Bapak. Sejak Ibu meninggal tak kudapati sosok Bapak yang sudah belasan tahun menyayangiku itu. Sosoknya berubah, tiada lagi candaan recehnya, sapaan hangatnya atau sekedar pelukan hangat sebelum berangkat bekerja.

###

Namaku Dewi Ningtyas, aku tinggal di ibu kota provinsi. Rumahku beralaskan tanah, beratap seng yang sudah lubang satu dua sisinya dan berdinding kayu bekas yang tak lagi diinginkan pemiliknya.

Aku hanyalah gadis dari kalangan rakyat bawah, terlupakan dan tak berpendidikan. Aku hanyalah lulusan bangku sekolah dasar yang hanya mampu berhitung dengan sempoa. Hobiku menulis dan mendengarkan musik, dua kesukaanku itu akhirnya kukejar mati-matian dengan belajar autodidak. Jendela belajarku hanyalah koran-koran bekas. majalah rongsokan, televisi di warung, radio lama milik tetangga bahkan bungkusan tempe yang masih terbaca. 

Ketika Ibu masih hidup, Ibu seringkali mengajakku ke pasar loak untuk membeli panci layak pakai, sumpit besi bahkan sendok logam berbagai ukuran. Ibu sangat pandai mengatur not nada dari berbagai macam benda sederhana, bahkan aku diajari mendaur ulang kertas bekas supaya bisa menulis dengan layak. Sayangnya, Ibu pergi begitu cepat. Tiga tahun terakhir terasa begitu sesak, hampa dan penuh luka.

Tiga tahun berlalu, selama itu pula Bapak tak terlihat lagi senyumnya. Bapak selalu sibuk bekerja dan akan selalu memarahiku ketika aku ketahuan menulis. Alasannya abu abu, karena setiap kali kucoba bertanya Bapak akan selalu berteriak “Sudah diam anak kecil! Kamu itu masih bau ingus, tak usah banyak tanya!” Dan akhirnya aku hanya mampu diam seribu bahasa.

###

Sepulang dari warung bakso_tempat ku bekerja setahun terakhir_tempo hari, kudapati sebuah poster perlombaan yang tertempel di dinding gedung pabrik gula. 

“IKUTILAH PERLOMBAAN MENULIS DAN MUSIKALISASI PUISI

DALAM RANGKA MEMPERINGATI HARI SENI NASIONAL”

Kurobek poster tersebut, menggulungnya lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik yang kubawa. Aku pun masih punya waktu tiga hari untuk menyiapkan kompetisi ini. Akan kutunjukkan pada Bapak, bahwa putrinya tidak seperti anak pak Sarwono itu. Bapak juga harus tahu, bahwa semua seni itu baik dan semua hasil inspirasi itu menghasilkan kreatifitas, bahkan seni juga bisa menjadi lapangan pekerjaan.

Dan malam ini, ketika gerimis menderas diluar sana. Bunyi ‘klotak-klotak’ ribut menghujam atap seng rumahku, beberapa tetes air tempias masuk melalui lubang yang belum sempat diperbaiki, jatuh kecipak pada ember yang sengaja ku letakkan tuk menampungnya.

Dari luar rumah, bunyi motor dua tiga kali menderum, klakson bis ‘telolet’ sesekali bersahutan dan suara jangkrik berkolaborasi dengan kodok-kodok menjadi simfoni orkestra malam.

Bapak sudah tertidur pulas, sepertinya Bapak begitu kelelahan dengan pekerjaannya. Setelah pulang malam tadi beliau langsung menuju bilik kamar dan tak keluar lagi.

Kuberanikan diri keluar kamar, mengahangatkan diri dengan membuat secangkir teh panas. Gemeletuk kayu bakar terdengar syahdu, bunyi ‘blup-blup’ air mendidih memenuhi ruangan berkabut dari kepulan uapnya. Dua sendok teh gula, sejumput teh tubruk dan air panas yang baru saja matang itu bercampur dalam gelas belimbing, denting sendok menabrak kaca seolah menjadi alunannya sendiri, dan untukku semesta adalah kumpulan melodi lagu paling menarik.

Sembari menyesap teh hangat, aku mendekati sekotak lemari jati peninggalan nenek yang paling berharga. Berjalan mengendap, lalu mengambil kursi plastik disamping lemari tersebut. Ku raih kardus besar penuh debu diatasnya, meniupnya dan mengangkatnya ke kamar.

###

Dengan pakaian terbaik seadanya, sepatu hitam kekecilan dan tas lusuh yang sudah pudar warna birunya, aku kini berada di balai desa tempat diadakannya perlombaan. Tanganku gemetar hingga basah, jantungku pun bedegup begitu kencang. Saat ini aku hanya bisa bertawakkal sebab aku yakin Allah sudah melihat usahaku selama ini.

“Dewi Ningtyas nomor urut 053, waktu dan tempat dipersilahkan.” Aku mengangguk dan menyebut nama Allah sebelum menaiki panggung. Ku keluarkan barang-barang dari dalam tas, menyusunnya berurutan mulai dari beberapa botol sirup bekas yang sudah berisi air dengan volume berbeda-beda, gelas kaca dan beberapa barang dari kardus milik Ibu. Dan untuk menyempurnakan penampilan, ku minta salah satu panitia melengkapi permainanku di panggung.

Dan inilah, Ketika panggung sempurna menjadi milikku. Sorot lampu menyelimuti sepenuhnya, semua pandangan menatapku penuh tanya ‘Siapakah gerangan gadis kumuh itu?’ 

Suara gemericik hujan mulai terdengar, suaranya dari plastik bublle wrap yang diremas dan butiran beras yang dijatuhkan. Setengah menit setelahnya aku angkat bicara, puisi berjudul “Paradoks Dari Semesta” yang kutulis bersama Ibu beberapa tahun lalu menjadi pilihan pada pertunjukan ini. Aku berjalan perlahan, sesekali mengetuk botol kaca atau memetik batang senar yang kukaitkan pada kayu tipis berukuran sedang.

Ada kalanya aku berputar menari, ada saatnya pula aku menciap seperti ayam, ada pula ketika aku menangis tersedu. Ibu sungguh mengajariku dengan baik tentang seluruh instrumen sederhana ini.

Terakhir ku tutup puisi ini dengan menelungkupkan badan diatas panggung, berlatar sepoian suara angin dari sabetan bambu, aku tambahkan sedikit cuitan burung berteman isakan tangis yang ku ciptakan sendiri.

Sedetik setelahnya riuh tepuk tangan bergemuruh menggema dalam ruangan di balai desa ini, bahkan sampai ada yang bersorak dengan berdiri. Sebagai penutup, aku membungkukkan badan, menatap seluruh penonton sembari tersenyum lebar, karena apapun hasilnya nanti aku puas sudah mempersembahkan yang terbaik.

###

Lembayung, Senja kian menghangat. Mentari semakin tumbang, kepak kawanan burung ingin pulang ke sarang. Dengan senyum paling lebar, ku ajak kedua kaki berlari. Bapak pasti masih ditempat kerjanya.

Dari kejauhan kulihat Bapak masih mengarahkan mobil yang akan keluar dari toko. Ya, Bapak hanyalah tukang parkir disebuah toko swalayan. rompi orangenya terlihat kotor, begitu juga wajahnya yang semakin lelah.

Di seberang jalan ku lambaikan tangan kearah Bapak yang baru saja menerima upah dari pengendara mobil. Bapak dengan penuh tanya melihatku sedang repot membawa piala empat kaki dan amplop tebal, ada beberapa bingkisan juga hasil dari memenangkan perlombaan tadi.

Tanpa berfikir dua kali, aku berlari ke arah bapak berdiri. Ingin ku kabarkan bahwa putrinya yang hanya bisa menulis itu bisa membawa kebanggaan untuknya.

Namun, diantara tawaku senja itu, lengkingan derit panjang memekakkan telinga. Disusul suara tabrakan benda berat tetiba menggelapkan netraku. Cairan kental terasa mengalir dari hidung dan pelipisku, samar tendengar teriakan dari suara yang amat kukenal.

“Tyas! Tyas! Bangun Tyas!” Pemilik suara itu, Bapak. Kali ini tangan kokohnya membelai rambutku, mengusap darah yang kian menderas dari wajah, dan ku dengar Bapak terisak memanggil namaku.

Tak lama setelah itu, sirine ambulans terdengar mendekat. Antara sadar dan tidak, Bapak merengkuhku dan mengangkatku sendiri kedalam mobil.

Barang-barang yang berhamburan dijalan dimasukkan juga ke dalam mobil, termasuk piala yang kini tak sempurna lagi dan amplop berisi uang. Bapak kembali terisak, melihat amplop tebal itu ternyata terselip surat disana. Bapak membaca puisiku, “Cinta Untuk Ayah” yang kutulis beberapa hari lalu. Ingin kuucapkan rasa kasih dan terimakasihku. karena aku tahu dibalik sikapnya yang berubah, Bapak sedang menyimpan lukanya sendirian.

“Tyas!Bapak minta maaf, Bapak berubah setelah Ibumu pergi. Bapak sebenarnya marah pada diri Bapak sendiri, marah karena Bapak yang tak berguna jadi seorang kepala keluarga. Andai waktu Ibumu sakit, Bapak bisa membawanya ke rumah sakit, andai Bapak punya banyak uang supaya bisa menyekolahkanmu yang pandai ini. Maafkan Bapak Tyas! Bukan ingin melarangmu berkarya, Bapak hanya takut tak bisa mencukupimu ketika kamu semakin pintar dan Bapak tidak ingin kamu terus bersedih ketika terngiang Ibumu. Jujur, Bapak juga rindu setiap kali mendengar musik dan puisi, karena Bapak akan terus dibawa mengenang Ibumu yang sudah tiada. Tyas harus kuat untuk Bapak, Bapak sayang Tyas.”

Tangan kasar yang selama ini kurindukan itu semakin erat memelukku, dalam perih luka raga ini hatiku justru menghangat dan berbunga-bunga. Aku kini tahu alasan Bapak, dan aku masih ingin berjuang membahagiakannya. Bapak, aku pasti sembuh!.

###

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.