Sepi - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Sepi


Setiap manusia adalah kekosongan, mereka saling mengisi satu sama lain. Sekalipun seseorang terlihat ceria dan berparas cerah dikala bersama. Tidak seorang pun tahu bagaimana dirinya saat sendiri, mengalami kesendirian.


Diwaktu dia sendiri duduk di dalam kamar, sendiri sewaktu menunggu bis yang tak kunjung datang, sendiri waktu malam hari yang sepi, sendiri waktu berada ditengah keramaian.


Setiap orang adalah kesepian, menutupi kesepiannya dengan berjumpa teman dekat serta kerabat. Kesepian yang tidak bisa hilang di kala malam datang, dikala waktu sendiri datang. Selalu mencari cara untuk membunuh kesepian. Entah dengan bercanda atau bicara di dunia maya.


Tulisan adalah kata kata kesepian. Suara yang tidak keluar dan didengar siapapun. Berbicara dengan diri sendiri, atau mungkin mendengarkan diri sendiri. Kesepian adalah keniscayaan.


Ketika lahir pun seorang diri, matipun seorang diri. Sama-sama hidup di alam yang gelap seoarang diri. Kesepian ketika orang-orang dekat pergi, ketika waktu kebersamaan telah habis, ketika matahari tenggelam setiap hari.


Orang yang terbiasa dengan sepi akan jatuh cinta pada kesepian. Menyukai waktu-waktu yang tidak diganggu orang, menyukai perasaannya yang menjadi sendu, dan kesepian itupun menjadi candu. Agak mengherankan memang ketika seseorang begitu menikmati kesepian.


Laki-laki yang terlihat begitu gagahnya pun sejatinya adalah makhluk yang kesepian. Permpuan setegar apapun, juga makhluk yang kesepian. Kesepian yang hidup di dalam hatinya. Kekosongan yang tidak kunjung terisi.


Aku bertanya pada orang yang berlalu lalang. Dengan apa mengisi kosong, dengan apa membunuh sepi?


Orang-orang pun menjawab,“Dengan orang lain”.


Aku menjawab,“Aku tidak suka orang lain masuk ke dalam hidupku”.


Mereka menjawab lagi,“Jika begitu, jadikan dia tidak lagi sebagai orang lain dalam hidupmu”.


Hanya sepi yang selalu menemaniku.  Aku selalu teringat masa – masa lalu, dimana aku bisa saling membagi cerita.  Kakak, papa, mama, aku rindu kalian.  Aku hanya bermain dalam angan semu.  Sedang teman hanya angin lalu, mendengarkan cerita lantas berlalu.  Sedang sahabat? Ah apa pantas aku menyebut sahabat untuk seseorang yang terus saja berlalu? Jika mereka tak bisa kembali, apa ada pengusir sepi selain mereka?



Aku hanya bermodal senyum yang sama sekali tak dimengerti kebanyakan orang.  Aku menjerit, aku meringis.  Ayah, ibu, andai saja Tuhan tak mengambil kalian secepat itu tentu aku terbalut dalam kehangatan.  Siapa lagi yang bisa kuandalkan? Aku hanya seorang diri, tak ada kakak, tak ada adik, sedang Saudara dan teman berpura. Adakah yang mampu mengusir sepiku, selain mereka?


Orang-orang bilang aku sombong. Kenyataannya aku ingin berteman, tetapi rasa malu dan gelisah menahanku. Trauma pertemanan di masa lalu mengintaiku.


Orang-orang bilang aku antisosial. Sebenarnya, aku ingin bergaul. Tetapi, setiap kali aku memulai pertemanan, aku selalu merasa tersisihkan. Pagar dan jarak yang terbangun di hadapanku. Pemikiran yang tak pernah sejalan. Candaan di luar batas.


Aku seperti orang luar yang tak tahu ke mana harus pulang. Teman terasa seperti formalitas. Jadi, aku berjalan sendirian, bersama kesepian sang teman lama. Orang-orang pasti kasihan padaku.


Ini memang berat dan menyedihkan. Tetapi, yang orang tidak tahu. This loneliness is a blessing in disguise (Kesepian ini adalah berkah yang disamarkan).


Kesepian membantuku menemukan diriku. Lebih banyak waktu sendiri. Mencari hobi-hobi baru. Melakukan hal-hal baru. Menemukan apa yang kusuka. Menjadikan sebagai pekerjaan. Seperti, menulis hal-hal seperti ini.


Kesepian mengajarkanku makna hidup. Sejatinya, kita memang ditakdirkan sendirian. Lahir sendiri. Berjuang sendiri. Mati sendiri. Di luar sana, aku melihat orang-orang begitu bergantung pada cinta dan orang lain, lalu mereka tersakiti, mencari cinta baru, kemudian tersakiti lagi, begitu seterusnya. Aku di sini, berteman dengan rasa sepiku, bertahan dan baik-baik saja, lalu menemukan sesuatu yang lebih kekal, pengharapan yang tak akan mengecewakanku, tujuan hidup yang terarah dan terang.


Dan, jika aku tak pernah menjadi introvert yang kesepian, mungkin aku tak akan berpikiran seperti ini, mungkin aku tak pernah bisa menulis ini. Nyatanya, kau duduk di hadapan gadgetmu, membaca tulisan ini, lalu tersenyum.


Dalam ramainya kehidupan aku selalu mencoba menghindar untuk terus mencari kesepian. Aku tak suka dengan keramaian. Entah aku benar-benar tak suka dengan suara banyak orang. Biar banyak yang berkata bahwa kesendirian itu membosankan, biarkan aku berkata lain tentang kesendirian. Jika aku berada dalam keramaian, itu bukan benar-benar diriku. Yang hadir disana hanya ragaku, bukan jiwaku. Jiwaku melayang entah hinggap dimana.


Sepi. Sendiri. Bahagia Diriku. Dalam keramaian hingar-bingarnya kehidupan dunia, aku memilih mengasingkan diri. Biar disana banyak orang berebut bahagia dengan caranya mencemplungkan diri dalam keramaian, aku lebih baik menyepi, sendiri. Sebab itu bahagia diriku. Dalam sepi aku dapat merasakan tentang apa-apa saja yang aku rasa, kemudian menulis dalam lebar kosong dalam laptop ataupun diari. Dalam sendiri aku merasakan kebebasan ketika ada banyak orang yang selalu berebut kasih sayang yang belum tentu itu terbaik baginya dan lantas berakhir begitu saja ditengah jalan- menyedihkan. Aku merasakan kasih sayang dari orang sekitar yang memang benar-benar ada untukku. Walaupun terkadang memang kembali lagi aku akan tetap sendiri selepas mereka bertegur sapa, lalu bertanya soal kabar dan lantas kembali pulang. Dan akhirnya sendiri (lagi).


Pernah ada yang mengatakan “kita tidak benar-benar menyukai kesendirian”, lantas hati terdalamku mengatakan “memang benar”. Tapi bagiku ada saatnya kesendirian itu akan disudahi ketika waktunya tiba nanti, bukan? Saat ini kesendirian yang aku maksudkan adalah menyendiri dari panggung pentas kehidupan. Dimana semua orang berebut tampil untuk menunjukkan kehebatan, aku menepi untuk menyepi dan menikmati sendirian untuk dapatkan bahagia diriku.


Berlama-lama dalam sujud panjang ditengah malam, sendiri. Ah, lupa. Kala itu aku tak sendiri, tapi ada yang menemani. Sunyi, sepi yang ada hanya suara kipas angin yang membuat diri terkadang menjadi dingin tak karuan. Lalu dalam sujud dengan sendirinya menangis tersedu-sedu, seakan semua beban hidup tertumpahkan semua dalam obrolan indah dengan Sang Maha Setia. Menyepi dipojok kamar merancang sebuah mimpi untuk tampil dipentas kehidupan suatu saat nanti, saat aku benar-benar siap dan berani meyakinkan mereka bahwa ini memang benar diriku sepenuhnya.


Aku seringkali berhadapan dengan banyak orang, tapi seringkali pula bertanya pada diriku “apakah benar ini adalah diriku yang sebenarnya?” yang mencoba percaya diri berbicara dengan banyak orang, yang mencoba menjadi provokator di banyak kesempatan ditengah-tengah mereka teman seperjuangan, dimasukkan dalam berbagai grup, menjadi yang sering dimintai nasehat (walau hanya sekedar meluruskan).


Bukankah ibu-bapak saat aku TK hingga aku SMP mereka seringkali kena tegur, bahwa anaknya yang satu ini seperti orang bisu. Tidak banyak berbicara, dan lebih banyak diamnya?

Sampai saat ini aku memang masih meyakini diriku, bahwa memang bukan passionku berbicara di atas pentas panggung kehidupan. Aku meyakini bahwa memang diriku lebih menyukai Sepi, Sendiri untuk merasakan Bahagia Diriku dalam dimensi pandang berbeda dengan lainnya.


Dalam sendiri terkadang muhasabah akan terlihat dengan pasti sudah sejauh mana amal maksimal dilakukan? Dalam sepi, terkadang membuat diri semakin sadar bahwa jiwa dan raga seringkali tidak pernah bisa menyatu dalam satu pijakan. Saling berkelana dan kembali bersatu ketika menepi, menyepi dan menyendiri. Berdiri dan sujud mengalahkan superioritas diri.


Dan bukankah, saat nanti kita akan kembali sendiri mempertanggung jawabkan apa-apa yang terjadi dalam diri?


Ah. Aku memang suka dengan Sepi, Sendiri, sebab itu Bahagia Diriku. Entahlah, semoga saja sepi, sendiri ku ini membuat jiwa semakin tetap lurus hingga akhir nanti.

Tapi, pada akhirnya aku (memang) tak pernah benar-benar sendiri. Sebab ada yang selalu menemani diri, Dia Yang Maha Setia yang sangat dekat lebih dari urat."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.