Senja di Selatan Jakarta - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Senja di Selatan Jakarta


Tiba di sore hari, Dani memutuskan untuk jalan-jalan sore. Ia segera mandi, memakai parfum dan memakai pakaian santai. Ia akan menelusuri jalanan Kota Jakarta yang seperti biasa masih saja macet di jam para pekerja pulang ke perpaduan masing-masing. Sejujurnya ia benci keadaan ini. Namun juga mencoba menikmatinya. Sepeda motor butut yang ia kendarai dipacu seadanya karena percuma karena kendaraan di depan pun jalannya seperti siput yang kemana-mana membawa rumahnya sendiri.

Tujuannya kali ini sebenarnya tidak jauh, ia hanya ingin menikmati secangkir kopi yang diseduh di dalam gelas plastik lalu duduk di bangku yang terletak di sisi jalan depan sebuah mal lalu dia akan menunggu waktu di mana keindahan itu datang menghampiri. Ya, dialah senja.

Paling tidak, begitulah cara seorang Dani untuk menikmati senja, sebuah gejala alam yang indah. Cara yang agak berbeda dengan cara biasa yang tentu setiap orang lebih menyukai menikmati senja di pantai atau di sebuah tebing kecil. Lain dengan Dani yang demikian hanya suka melihat keindahan itu dengan hanya duduk di bangku di sisi jalan. Menikmati segelas kopi di gelas plastik sambil melihat orang berlalu-lalang dan kendaraan yang hilir mudik. Bukan, bukan di situ nilai keindahannya, melainkan ketika dia sedikit menengadah ke arah barat. Di atas sana, di antara ujung gedung-gedung pencakar langit terlihat jelas dan mempesona seluet yang begitu mengalihkan dunia para pejalan kaki termasuk dirinya sendiri.

Kesan dari pemandangan senja di tempat itu seperti di luar negeri, ya paling tidak bagi dia atau sebagian orang yang sempat melihatnya pasti berpikir hal yang sama. Jika nanti keputusannya sudah bulat, tentu kelak ia akan merindukan tempat ini.

Dani sudah berencana mudik, jelas tidak ada alasan lain lagi untuk tetap bertahan di ibu kota ini. Selain ia sudah keluar dari tempat ia bekerja, Dani pun merasakan patah hati yang sangat dalam di tempat yang sama.

Di daerah Kuningan, di Jakarta Selatan ini, di bangku yang sama ketika ia duduk dengan santai setahun yang lalu sambil menunggu senja. Saat itu, saking begitu menikmati keindahan senja di langit bagian barat, Dani nyaris tidak menyadari bahwa tengah hadir hal yang lebih indah dibanding dari seluet di langit itu.

“Mas, indah ya senja di langit itu.” tutur gadis yang duduk di sebelahnya.

Lucunya Dani seakan tidak peduli dengan suara itu, tetapi ketika gadis itu mencoba untuk berbisik tepat di daun telinganya. Ia pun segera sadar bahwa ternyata ada yang lebih indah dari sebuah senja tengah duduk manis di sebelahnya.

“Mas, suka senja juga ya?” bisik gadis itu.

Ketika menyadarinya ia langsung terpana, wajah memerah dan sepasang mata tidak bisa terpejam.

“Lu, lu sejak kapan di sini?”

“Dari tadi,”

“Kok enggak ngomong?”

“Itu tadi ngomong. Ngomong-ngomong tau dari mana kalo namaku Lulu?”

“Eh?”

“Iya, namaku memang Lulu.”

“Maksudnya kamu, lu atau gue. Gitu..”

Lulu tersenyum, setidaknya ia berhasil mengajak pemuda di sebelahnya untuk berkomunikasi ketimbang dari tadi dia hanya diam menatap seorang pemuda yang seperti dimabuk senja.

“Kenalin, nama gue Dani. Tidak pake Ahmad.”

Lulu kembali tersenyum lalu segera menyambut uluran tangan pemuda itu.

“Namaku Lulu. Tidak pake Tobing.”

“Gokil juga ya lu, Lulu.”

Dani tertawa, Lulu pun demikian. Demikianlah awal pertemuan mereka. Hanya butuh 3 hari untuk seorang Dani meraih hati seorang gadis bernama Lulu. Sejak sore itu, mereka lebih sering mengunjungi tempat itu hingga pulang kala larut menyelimuti langit Jakarta.

Namun, kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung lama. Tepat seminggu yang lalu dengan mata kepala sendiri, Dani melihat Lulu berpelukan dengan seorang pria. Ia pun patah hati sepatah-patahnya.

“Lulu..!”

Lulu menoleh, mencoba mencari asal suara yang menyebut namanya. Senja sore yang indah di musim panas kala itu menjadi saksi. Wajah gadis itu merah karena malu, ketahuan selingkuh dari sang kekasih.

“Tolong jelaskan, siapa dia?”

“Dan, kita udahan ya. Maafin aku. Dia Keenan. Pacarku yang sebenarnya. Selama ini kami hanya terpisah jarak. Tapi kini dia sudah kembali.”

“Bagus ya, oh Tuhan. Semoga kalian bahagia. Tapi asal lu tau, Lu. Alasan gue bertahan di Jakarta ini hanya lu. Tapi, bagaimana bisa orang yang menjadi alasan gua untuk tetap tinggal justru hanya menganggap gue sebagai pelarian semata!” tukasnya.

“Maafin  aku ya, Dan.”

“Enggak ada lagi aku atau kamu di antara kita! Cewek macam lu enggak pantas mendapat maaf dari gue!” ketus Dani. 

Langit menjadi gelap. Sementara mereka yang terlibat prahara di tepi jalan yang ramai itu tidak menyadari telah menjadi tontonan gratis oleh para pejalan kaki dan warga sekitar.

“Dan, iya aku sadar aku salah. Tapi semua cukup sulit untuk dijelaskan! Aku tengah mengandung anaknya dia. Dan dia memang harus bertanggung jawab! Semua ini terjadi sekitar tiga bulan yang lalu ketika tanpa sepengetahuan kamu aku mengunjungi dia di Bandung. Maafin aku, aku memang salah.” jelas Lulu. 

Nasi sudah menjadi bubur, sederas apa pun air mata yang mengalir di pipi gadis itu tidak akan merubah segalanya. Bahwa pada kenyataannya Lulu tengah mengandung hasil dari hubungan dia dengan Rasya. Pacar yang lebih dulu hadir di kehidupan Lulu.

“Sob, lebih baik lu pergi deh. Gue sama Lulu mau pergi juga. Enggak enak kita jadi tontonan warga di sini.” ujar Rasya.

Entah mengapa, mungkin Dani sudah tidak bisa membendung amarah lagi, ia pun segera melayangkan kepalan tangan kiri ke wajah pemuda itu. Rasya pun jatuh tak berdaya di permukaan jalan. 

“Bajingan lu! Awas aja kalo lu enggak bertanggung jawab!”

Melihat keadaan semakin runyam, pihak keamanan pun segera memisahkan mereka. Dani segera dibawa pergi menjauh. Air matanya seakan mengalir begitu saja bersama ego yang seakan belum tuntas. 

Sejak saat itu, keinginan Dani hanyalah segera kembali ke kampung halaman, ke tanah kelahiran. Tidak ada alasan baginya untuk tetap tinggal. Jakarta membuat ia semakin menyerah dengan semua keadaan yang ada. Ibu di kampung yang sedang sakit pun semakin membulatkan tekad seorang Dani untuk segera pergi dari kemelut kehidupan di ibu kota. Ia kembali dengan membawa luka yang sangat dalam. 

***

Palu, setahun kemudian.

Dani duduk di tepi Pantai Talise, seperti biasa ia akan menyeruput segelas kopi di gelas plastik yang dijual pedagang keliling yang kebetulan lewat. Sore itu sangat indah ketika senja, lukisan alam itu menguasai semua pandangannya. Matahari yang telat terbenam di balik Gunung Gawalise itu seakan mengingatkan dirinya akan perkataan Lulu, sang mantan kekasih:

“Dan, kelak, kalo kamu sudah tidak sama aku atau kita sedang terpisah jarak dan waktu. Tolong pandangi langit sore, dan kirimkan doa untukku agar kita segera bertemu.”

Lamunan Dani segera lenyap seketika kala gawainya berdering cukup nyaring. Sebuah panggilan video dari nomor kontak yang tidak diketahui terpampang di layar monitor. Ia mencoba mengangkatnya.

“Dan, kamu apa kabar?”

Ternyata panggilan video itu dari Lulu. Dani seakan tidak menyangka padahal ia sudah mengganti nomor kontak sejak pergi dari Jakarta.

“Kamu? Dari mana kamu tau nomor kontak ini?”

“Tidak perlu kamu tau, yang pasti aku rindu sama kamu. Aku baru saja berduka Dan, sebulan yang lalu suami dan anakku telah tiada. Kami mengalami kecelakaan di jalan tol ketika kembali ke Bandung. Aku cacat Dan, kakiku diamputasi. Aku tidak tau harus bagaimana lagi,” tutur Lulu.

Di video memang terlihat jelas betapa malangnya nasib Lulu. Ia lumpuh. 

Keduanya telah berurai air mata, Dani tidak menyangka semalang itu nasib sang mantan kekasih. Sementara dengan penuh harap Lulu berharap agar dirinya dimaafkan oleh seseorang yang dulu pernah ia cintai dan ia lukai. 

“Atas nama senja yang semakin berganti dengan gelap ini, aku sebagai manusia sudah memaafkan kamu, Lu. Tapi sebagai mantan kekasih, maaf. Tidak ada maaf bagimu.”

Panggilan video segera ia akhiri bahkan dengan penuh emosi ia segera melempar gawai miliknya ke permukaan laut. Lalu berteriak seperti orang yang sudah tidak waras.


***SELESAI***

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.