Sebatas Senja - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Sebatas Senja

Karya: Fitri Ramadhania


Aku merasa bahwa diriku adalah perempuan paling beruntung, seorang perempuan yang mempunyai kekasih sangat baik hati, perhatian, dan tentunya tampan. Dia tidak pernah menuntut ataupun mengekangku. Bagiku dialah lelaki paling sempurna, karena dia selalu memperlakukanku layaknya seorang putri raja. Betapa bahagianya diriku.

Suatu malam dia mengajakku kencan. Ya, hal yang sangat disukai perempuan manapun ketika bersama kekasihnya. Raga, begitu aku memanggilnya. Dia lelaki sederhana dan tak begitu romantis. Dia seringkali memberiku kejutan dengan caranya yang unik. Ketika bersamanya aku selalu merasa tenang dan tak ingin pergi darinya.

Suasana malam itu cukup dingin, gerimis mulai membasahi jalanan yang kita lewati. Akhirnya kita berdua memutuskan untuk berhenti di halte biru yang juga kebetulan banyak orang berteduh waktu itu. 

“Maaf ya kencannya malah di halte,” ucap Raga sambil sedikit terkekeh menatapku. Aku hanya tersenyum. Dia terus menggenggam erat tanganku dengan harapan aku tidak kedinginan. Sungguh malam yang indah. Setelah hujan reda, akirnya kita memutuskan untuk pulang karena hari sudah larut malam. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya aku memandangi wajah tampannya dari kaca spion.

Keesokan harinya aku demam karena semalam habis kehujanan. Memang tubuhku ini terlalu lemah. Aku sengaja tidak memberi kabar kepada Raga agar dia tidak kawatir, apalagi hari ini dia ada ujian. Aku tidak ingin merusak konsentrasinya. Oh ya, aku dan Raga beda dua tahun. Aku masih duduk di bangku SMA kelas tiga, sedangkan Raga kuliah semester empat. Tapi dia selalu mengerti sifat manja dan kekanak-kanakanku ini.

“Kanya,” Bunda memanggilku.

“Kenapa Bun?”

“Di ruang tamu ada Raga tuh, temuin dulu sana!”

“Astaga, Raga, kenapa dia ada di sini? Bukannya dia lagi ada ujian sekarang,” batinku menerka-nerka. Segera aku memakai jaket dan turun menemuinya.

Dan benar saja di ruang tamu sudah duduk pangeran tampanku itu.

“Hai  jiwanya Raga,” sapanya lembut.

“Kamu sakit kok nggak bilang sih. Nih aku bawain bubur ayam kesukan kamu.”

Entah dari mana dia tau kalau aku sedang sakit. Kalau ditanya pasti jawabnya “inilah kekuatan cinta.” Hemmm... sedikit bucin sih tapi aku sayang.

***

Di sudut taman kota berdiri seorang laki-laki dengan topi hitam yang menghiasi kepalanya, serta sweater biru andalannya yang semakin membuat dia terlihat begitu sempurna. Iya, dia tak lain adalah Raga. Memang hari ini kita sengaja bertemu di taman. Bukan tanpa alasan, melainkan kita ingin merayakan satu tahun hari jadi kita. Raga menggenggam setangkai mawar putih di tangannya. Salah satu bunga kesukaanku. 

“Happy Aniversary Sayang,” Raga menyambutku lembut dengan kalimat itu sambil memberikan mawar putih yang sedari tadi digenggamnya kepadaku. Sedikit geli mendengar Raga yang super cuek itu memanggilku dengan sebutan sayang. Tapi itu cukup nyaman dipendengaranku. Sampai akhirnya Raga mengajakku makan mie ayam kesukaannya di pinggir halte. Sederhana, namun indah. 

Di tengah-tengah menikmati mie ayam yang super pedas itu, dengan tib-tiba Raga berbicara. 

“Aku pengen kita kayak gini terus Kai, aku nggak mau pisah sama kamu.” Aneh, baru kali ini aku mendengar Raga bicara seserius itu.

“Kamu kenapa sih, tiba-tiba ngomong kayak gitu?”

“Kamu janji kan nggak bakal ninggalin aku?” Ucapan Raga semakin membuatku bertanya-tanya.

“Iya Ga, aku bakal tetep sama kamu.”

“I love you Kai.” Raga mengecup keningku lama. Sedangkan aku hanya bisa memejamkan mata , menikmati setiap waktuku bersamanya.

***

Beberapa minggu setelah kejadian itu Raga menghilang begitu saja. Tanpa kabar dan tanpa alasan. Tidak biasanya Raga seperti ini. Akhirnya aku memberanikan diri untuk datang ke kostannya. Yup, di sini Raga ngekost, karena dia merantau untuk berkuliah. Saat sampai depan kostan Raga, aku langsung disambut dengan salah seorang temannya.

“Lo nyariin Raga ya? Raga udah pulang ke Bogor dua minggu yang lalu.”

Deg, batinku tersentak. Jantungku berdegup tak karuan. Pikiranku melayang, membayangkan hal negatif yang kemungkinan akan terjadi.

“Katanya sih ada urusan keluarga gitu,” ujar teman Raga yang membuyarkan lamunanku. Ya, aku melamun.

Tanpa berterima kasih, aku langsung meninggalkan teman Raga dengan perasaan yang campur aduk. Kesal, marah, dan juga penasaran. Kenapa Raga nggak ngasih tau aku sih. Sebenarnya dia nganggep aku apa?

***

Hari-hariku terasa hampa. Tak ada lagi yang membawakan martabak coklat kesukaanku, tak ada lagi dering telepon setiap malamnya yang hanya sekadar menanyakan kabarku. Semua hal-hal indah yang dia lakukan kepadaku selama ini telah hilang. Hanya tinggal kenangan yang tersimpan rapi di memori pikiranku. 

Semakin hari diriku semakin tak karuan. Aku terlihat seperti orang gila. Setiap jam pelajaran aku selalu melamun,  menggali kembali setiap kenangan yang telah kita lalui. 

“Kanya tolong jawab pertanyaan di papan!” pinta Bu Dini. Akan tetapi aku hanya diam dan terus larut dalam lamunanku. 

“Kanya!” Bu Dini menggebrak meja, hingga membuat seisi kelas kaget dan menatap tajam ke arahku. 

“Iya Raga.  Ada apa?” jawabku kaget. Aku langsung berdiri.

“Ha ha ha ha...” Seisi kelas menertawaiku. 

“Kanya, ini jam pelajaran. Kamu seharusnya fokus terhadap materi yang saya berikan.  Bukan malah melamun.” Bu Dini benar-benar marah kepadaku. Apalagi beliau salah satu guru killer.

“Maaf Bu,” jawabku lirih. Malu. Hanya itu yang aku rasakan. 

“Kalau begitu kamu keluar dan bersihkan kamar mandi! Nilai Bahasa Indonesia kamu saya kasih C.” Aku melangkah keluar kelas dengan kepala menunduk karena sudah tidak sanggup lagi menahan rasa malu. 

Tak berhenti di situ. Aku juga sering terlambat sekolah karena aku tidur terlalu larut. Bukan tidur terlalu larut sih, lebih tepatnya setiap malam aku tidak bisa tidur. Aku selalu menunggu telepon atau pesan dari Raga. Tapi sampai detik ini tak kunjung ada kabar darinya.

***

Hari ini aku wisuda. Merayakan kelulusanku dengan canda tawa bersama teman-teman. Tapi keramaian ini malah membuatku merasa sepi, karena Raga tidak ada di sampingku. Orang yang kuharapkan hadir di hari kelulusanku ini. Aku sadar, setelah dia menghilang mana mungkin dia akan tiba-tiba datang. Itu hanyalah khayalanku semata. 

Di saat aku akan beranjak keluar dari ballroom, tempat wisudaku dilaksanakan, berdiri tegak sosok laki-laki yang selama ini selalu kurindukan. Setetes air mata jatuh dari pelupuk mataku. Tak kuasa kumemandangnya. “Raga” Gumamku pelan. Aku tak menyangka dia benar-benar ada di sini, di hadapanku. Aku berlari mendekatinya, kupeluk erat tubuhnya dengan air mata yang mengalir semakin deras. Tapi yang terucap dari mulutnya hanya kata maaf,maaf, dan maaf. Aku butuh penjelasan dari semua ini, atas kepergiannya kemarin. Bukan hanya kata maaf yang terus terlontar dari bibirnya. Hingga akhirnya dia membuka mulut.

“Aku tau kamu marah dengan semua yang terjadi ini. Di sini aku mau menjelaskan semuanya.” Raga menghela napas panjang hingga dia mulai melanjutkan perkataannya. 

“Aku minta maaf, kemaren aku menghilang gitu aja, aku pergi tanpa kabar. Itu semua aku lakuin karna ada alasannya.”

“Alasan? Apa itu?” sahutku agak kesal sambil perlahan kulepaskan pelukan ini.

“Kemaren aku memang pulang ke Bogor, karna orang tuaku mendadak ingin aku kesana. Mereka akan mengadakan pertunangan,” lanjutnya. Keningku mengernyit bingung.

“Pertunangan? Siapa yang akan bertunangan?” Seakan mengerti kebingunganku, Raga kembali bersuara.

“Sayang, aku bener-bener minta maaf sama kamu. Selama ini aku sudah dijodohkan oleh kedua orang tuaku dengan anak dari teman mereka.” Setelah mengatakan itu Raga kembali terdiam. Aku mencoba memahami ucapannya. 

“Jadi Ragaku sudah bertunangan? Dengan perempuan pilihan orang tuanya,” batinku lirih.

“Aku dan Calisa dijodohkan sejak kecil oleh orang tua kita.”

“Calisa?” tanyaku saat Raga kembali menjelaskan semuanya.

“Iya, Calisa adalah sahabatku sejak kecil, ayahnya sebelum meninggal berpesan agar aku selalu menjaganya.”

Tanpa mendengarkan penjelasan Raga lebih lanjut, aku langsung pergi meninggalkan Raga begitu saja. Aku nggak mau terus-terusan berada di kondisi seperti ini. Aku masih nggak nyangka semuanya akan menjadi seperti ini. Aku berusaha menjelaskan kepada hatiku kalau ini hanya mimpi. Tapi tidak, memang ini kenyataannya, kenyataan yang benar-benar sangat menyakitkan.

***

Pagi yang cerah aku bersama kedua sahabatku pergi ke Bogor,  tempat yang menurut kita cocok untuk berlibur sembari merayakan kelulusan. Ah, tidak, lebih tepatnya untuk menenangkan pikiranku yang kacau setelah mengetahui kebenaran itu. Entah apa yang telah Tuhan rencanakan, baru saja sampai di penginapan, terlihat pemandangan yang membuat hatiku berdenyut sakit. Aku melihat Raga dengan seorang perempuan sedang duduk di bawah pohon rindang. Cantik, iya, memang perempuan itu sangat cantik. Tapi siapa dia? Kenapa dia bisa bersama Raga?

 Lalu dengan tiba-tiba Raga menoleh ke arahku. 

“Kanya,” gumamnya pelan sambil melangkah menghampiriku.

“Kamu kok bisa di sini?” tanyanya.

“Ini siapa Raga?” tanya perempuan itu. Dan semakin membuatku penasaran dengan jawaban apa yang akan keluar dari mulut Raga.

“Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Calisa kenalin ini Kanya, dan Kanya, ini Calisa yang waktu itu aku critain ke kamu.” 

Belum sampai selesai penjelasan dari Raga, tiba-tiba Calisa sesak napas. Dia terus menggenggam tangan Raga. Tanpa berpikir panjang, akhirnya Raga menggendong Calisa dan membawanya ke klinik terdekat. Aku mengikutinya dari belakang dengan perasaan yang tak rela, sakit, dan sedikit kawatir dengan keadaan Calisa.

Di kursi tunggu, tampak jelas kekawatiran Raga dengan sahabatnya itu. Aku hanya bisa diam. Hingga Raga membuka obrolan sekaligus penjelasan dari semuanya.

“Ini yang aku takutin. Calisa sakit-sakitan, dia udah nggak punya siapa-siapa lagi selain aku. Hanya aku harapan dia. Sebab itu aku berjanji sama ayahnya kalau aku akan selalu menjaganya.” Raga menengadah, menatap langit-langit, mencoba menahan air matanya yang siap meluncur.

“Tapi aku juga punya kamu Kai. Aku sayang sama kamu. Aku nggak bisa ninggalin kamu gitu aja.”

“Ga,” panggilku lirih. Mencoba mengatur rasa sesak di dadaku.

“Kai....” Raga mencoba membujukku.

“Kamu benar-benar sayang sama aku kan?” tanyaku lirih.

“Iya Kai.” Dia menggenggam erat tanganku. Terasa hangat, namun tidak bisa membuatku merasa nyaman seperti biasanya.

“Aku ingin kita berpisah, Ga.” Tak kuasa aku menatap matanya. Kupalingkan pandanganku ke segala arah yang terpenting tidak bertatapan dengan matanya yang justru akan membuatku semakin lemah.

“Apa yang kamu bicarakan, Kai?”

“Jangan egois Ga! Kamu tidak akan bisa memiliki aku ataupun Calisa secara bersamaan. Iya, Calisa, dia lebih membutuhkan kamu. Mungkin saja dia akan rapuh tanpamu, tapi aku, aku akan berusaha baik-baik saja tanpa kamu.”

“Tapi kamu tau Kai, aku cuma cinta sama kamu. Bukan yang lain.”

“Tolong Ga, buat aku bahagia atas keputusanku ini. Lagi pula kamu sudah berjanji dengan ayahnya Calisa untuk selalu menjaganya.” Kulepaskan genggaman tangannya. Meski berat rasanya tapi memang inilah jalan yang terbaik untuk hubungan kita berdua. 

Kuberikan senyuman terindahku untuk terakhir kalinya kepada Raga, orang yang sudah membuat hari-hariku lebih berwarna. Dia telah mengajarkanku banyak hal, tentang kesetiaan dan pengorbanan. Tapi kini hubungan kita benar-benar berakhir. Meninggalkan semua kenangan yang pernah kita buat. Selamat tinggal Ragata Putra Pradana. Aku akan selalu mendoakanmu. 

Dan aku akhirnya memutuskan untuk kuliah di luar negeri. Memulai lembaran baru yang lebih baik tanpa hadirnya Raga.

“RAGA, SEPERTI SENJA, INDAH, NAMUN SESAAT LALU MENGHILANG....”

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.