SAMPAI DI SINI - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


SAMPAI DI SINI

Karya: M. A. Azrin


Aku selalu berusaha merahasiakannya. Selalu berusaha menutupinya, menyembunyikan hubunganku dengannya. Biasanya setiap kali aku menyukai seseorang, aku akan mengumbarnya, dan memberitahu seluruh dunia bahwa aku menyukai orang tersebut. Tetapi kali ini tidak. Sebisa mungkin aku harus merahasiakannya. Dari sejak awal aku bertemu, bahkan sampai kami tak lagi pernah bertemu. Namanya Aldaka, aku biasa memanggilnya B. Iya, B. Hanya huruf itu, bahkan di pesan singkat pun aku hanya memanggil B. Satu huruf itu saja.

‘B aku hari ini libur kuliah’

‘B ayo jalan-jalan’

‘B ingin ke Pasar Malam’

‘B?’

Begitulah pesan singkatku yang kukirim padanya ketika aku hendak mengajaknya berkencan. B jarang membalas pesanku, tetapi dia pasti datang ketika aku mengirim pesan padanya. Hal yang paling ngeri adalah dia pasti tau di mana pun keberadaanku tanpa aku memberitahunya. Waktu itu aku sangat diuntungkan, tetapi jika dipikir sekarang, itu ngeri sekali. Bagaimana dia selalu dapat menemukanku?. Setelah kami putus, aku memiliki banyak pemikiran yang bermacam-macam tentangnya. Apakah dia hantu? Apakah dia anggota BIN? Apakah dia sudah punya istri dan anak? Apakah dia masih di bawah umur? Apakah dia psikopat? Apakah dia alien? Apakah dia bukan manusia? Apakah dia siluman?. Sampai aku takut dia telah memasang pelacak atau kamera tersembunyi di sekitarku.

Aku tidak pernah tau apa pun tentangnya, nama lengkapnya, usianya, rumahnya, siapa orang tuanya, pekerjaannya, atau apakah dia masih pelajar atau bukan. Dia tidak pernah bercerita apa pun tentang dirinya. Jika aku bertanya tentang dirinya, dia akan menghindar. Sekali dua kali, dia akan mengalihkan pembicaraan, tetapi jika aku terus bertanya, tatapannya berubah menjadi dingin, dan dia menatapku tajam. Sorot matanya seperti seseorang yang marah dan kehilangan akal sehatnya sehingga dia dapat melakukan apa saja. Jika dia sudah menatapku seperti itu, tentu saja aku sudah tidak berani bertanya lagi. Tentu saja mulutku otomatis bungkam saat itu juga. Meski begitu, aku beberapa kali tetap mencoba mengulik jati dirinya, walaupun selalu gagal. Aku hanya bisa mempelajari dirinya dari apa yang kulihat dan kurasakan saat bersamanya. Dia menyukai warna biru, itu yang menjadi alasanku memangilnya B. Dia menyukai langit dan hujan bagaimana pun itu, entah badai, entah langitnya mendung atau cerah, dia tetap menyukainya. Dia menyukai suara petir dan awan hitam yang pekat. Dia tidak suka jika aku bertanya tentang dirinya. Makanan favoritnya aku tidak tahu, karena dia selalu memakan apa pun yang juga aku makan.

Aldaka selalu tau apa pun tentang diriku, itu yang kurasakan. Mungkin karena dia sangat pintar, jadi dia mudah memahamiku. Jika boleh kulebih-lebihkan dia ini jenius, karena kejeniusannya itu aku selalu menyerahkan tugas-tugas kuliahku pada dirinya. Saat bersamanya sering sekali rasanya seperti diberi kuliah olehnya. Dia akan menjelaskan banyak hal tentang ilmu pengetahuan dari berbagai bidang, dan kebanyakan tidak ada yang terserap olehku. Aku tidak pernah sungguh-sungguh dalam belajar seumur hidupku. Sungguh, aku sangat payah dalam belajar, bahkan malam hari ketika besok hendak Ujian Nasional, Ibuku menyuruhku membeli es krim karena aku mengeluh pusing melihat buku-buku. Belajar sama sekali bukan gayaku. Tetapi karena dia, aku sedikit-sedikit jadi belajar, dan dia memberitahuku tentang banyak hal yang tidak kuketahui. Pengetahuannya luar biasa, aku pernah berpikir jika dia mungkin lulusan S2 atau bahkan sedang kuliah S3.

Penampilan Aldaka sangat stylish, dia sangat tampan menurutku. Hidungnya mancung, matanya cantik, bulu matanya lentik, alisnya tebal, bibirnya tipis, garis wajahnya sangat maskulin. Tinggi badannya mungkin 190-an, sangat tinggi sekali, aku tidak tau tepatnya berapa. Bahkan jika kami sedang berjalan-jalan di bawah pohon jambu dan aku meminta untuk diambilkan buahnya, dia dapat menggapainya dengan mudah. Badannya proporsional, tidak telalu kekar, tetapi cukup berotot. Dia mendapatkan nilai seratus untuk penampilannya, sopannya, dan ilmu pengetahuannya. Aku sangat memujanya bahkan sampai sekarang. Semua yang ditampilkannya sanggat sempurna. Mungkin aku tidak akan pernah lagi, bertemu pria yang sesempurna dia. Kekurangannya hanya satu, yaitu tentang siapa dirinya. Itu yang membuatku selalu merasa was-was, dan memilih untuk mengakhiri hubunganku dengannya.

Aldaka sangat bijak, dia sering menasehatiku dan memberiku petuah-petuah yang berharga untuk kelangsungan hidupku. Pemikirannya, seperti dia telah melalui banyak hal dalam hidup ini dan telah mengetahui semua hal yang ada dalam kehidupan ini. Dia selalu tahu jawaban atas semua permasalahan-permasalahan yang kusampaikan padanya. Aku selalu meminta saran darinya tentang apapun yang harus kulakukan, bahkan dari hal-hal sepele sekali pun. Karena kami sangat jarang sekali bertemu, jadi setiap kali kami bertemu, masing-masing dari kami pasti seperti kotak surat yang penuh dengan amplop-amplop surat dan meledak seketika mata kami bertemu. Pertama aku dulu yang akan bercerita tentang banyak hal yang kulalui, lalu dia akan menasehatiku, dan selanjutnya akan memberiku kuliah tentang ilmu pengetahuan. Pembahasan kami ke sana ke mari, tentu saja aku yang paling sering bergosip, menceritakan keluh kesahku tentang orang-orang di sekitarku, dan dia yang akan mengganti topik pembicaraan tentang ilmu pengetahuan. Dia akan berbicara tentang bagaimana orang-orang dulu hidup, sejarah dunia, atau awal mulanya suatu penemuan, lalu menceritakan berbagai jenis awan, menceritakan evolusi beberapa hewan, dan banyak lagi pembicaraan acak. Aku pun juga senang bertanya tentang berbagai hal acak dan dia akan menjelaskannya dengan detail yang sangat teliti. Tetapi adakalanya aku terus bertanya secara acak karena bosan dengan pembicaraannya yang terlalu mendidik. Kita semua tahu jika banyak dari kita yang terbiasa dengan ‘gosip lebih menarik daripada sesuatu hal yang mendidik’. Pernah sekali, ketika itu aku mencoba mengalihkan pembicaraannya tentang perkembangan medis dan mengganti topik dengan membahas gosip perceraian artis. Kupikir dia pasti tahu tentang artis dan akan ikut bergosip, tetapi dia justru menjelaskan tentang proses perceraian dan undang-undangnya. Sejak saat itu aku tidak ingin bergosip tentang artis atau hal-hal yang terjadi di masyarakat umum atau publik, karena dia mungkin akan menjelaskannya secara hukum atau secara ilmiah.

Ketika berpacaran dengannya, aku pernah bermimpi tentangnya. Di mimpiku semua rasa penasaranku tentangnya terjawab. Dia adalah seorang pengusaha yang menjalankan bisnis di bidang transportasi pariwisata yaitu kapal pesiar. Dia adalah anak seorang konglomerat, dan dia bukan orang Indonesia. Selama ini kita adalah pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh. Di mimpiku, dia mengajakku menaiki kapal pesiarnya. Dia sangat ramah terhadap pegawainya dan orang-orang. Aku melihat lautan yang sangat luas dan begitu biru. Langitnya cerah berwarna biru dengan awan-awan putih yang cantik. Mimpi itu seleluruhnya hampir seperti menggambarkan siapa itu B. Lalu dia mengajakku bertemu dengan orang tuanya. Rumahnya sangat besar dan megah. Ibunya sangat ramah dan menyambutku. Ibunya menyuruhku untuk singgah dan menginap, tetapi entah kenapa saat itu aku harus pergi, karena ada jadwal liburan dengan teman-temanku naik kereta. Aldaka pun mengantarkanku ke kereta, tetapi tidak di stasiun. Keretanya seperti ada di halaman belakang rumahnya. Keretanya seperti kereta jaman dahulu, kereta uap berwarna coklat agak hitam, atau hitam agak coklat. Saat sudah berada di kereta dan kereta berjalan, aku melihat KTP (Kartu Tanda Penduduk) milik Aldaka ada di dalam tasku. Entah bagaimana KTP itu ada di aku. Aku melihat nama lengkapnya yang cukup panjang, tetapi tidak kuingat ketika bangun, yang kuingat adalah tahun kelahirannya. Usianya ternyata 3 tahun dibawahku, tetapi dia sudah lulus S2. Ketika aku berpacaran dengannya, aku berusia 22 tahun. Wajahnya memang tampak muda seperti anak remaja, tetapi kedewasaannya tidak mungkin jika dia masih berusia belasan tahun. Di dalam mimpiku aku terkejut dan kecewa mengetahui jika dia 3 tahun lebih muda dariku, yang berarti dia masih 19 tahun. Sampai aku terbangun aku tetap menaruh curiga, jika mungkin usianya memang lebih muda dariku. Sekarang pun aku juga masih curiga.

Aldaka memang laki-laki yang romantis, tetapi dia sama sekali tidak humoris. Terkadang aku melihatnya sebagai laki-laki yang cuek. Tetapi dia sering tiba-tiba memberiku kejutan. Aku tidak pernah tahu siapa teman-temannya, dan dia tidak pernah mengajakku bertemu dengan teman-temannya atau menceritakan teman-temannya. Kami lebih sering bertemu di tempat yang sepi, jadi kami bebas membahas apapun tanpa takut akan ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami. Jika kami bertemu di cafe yang ramai, bukankah akan sangat memalukan jika aku sedang mengeluhkan sikap temanku padanya, dan ternyata temanku sedang ada di cafe itu juga. Atau ketika kami sedang berjalan-jalan di mall yang ramai, tiba-tiba dia membahas teori big bang. Aku yang terbiasa mungkin baik-baik saja mendengarnya, tetapi orang lain pasti melihatnya aneh dan akan berpikir ‘orang ini sok pintar sekali’.

Hubunganku dengannya aku sembunyikan dan aku rahasiakan karena aku tidak pernah tau siapa dia sebenarnya. Aku tidak bisa menjelaskan pada orang-orang sekitarku siapa dirinya. Aku juga ingin menunjukan dia pada teman-temanku dan memamerkannya, atau berjalan di tempat yang ramai dan bergandengan-tangan dengannya. Namun, aku takut jika ternyata dia mungkin suami orang, atau anak remaja yang masih sekolah, atau justru identitas lainnya yang lebih mengerikan. Dia tidak memiliki media sosial dan dia tidak mau jika difoto maupun berfoto bersama. Jika aku mencuri fotonya, dia akan segera merebut ponselku dan menghapusnya. Saat aku berpacaran dengannya, aku merasa cukup dan dapat memakluminya, yang terpenting kita selalu bersama, yang penting dia menyayangiku dan selalu ada untukku, aku tidak peduli dengan pengakuan orang lain tentang hubunganku. Seiring berjalannya waktu, aku semakin egois dan tidak cukup hanya dengan ‘cukup kita yang tau’. Ditambah lagi, tampaknya waktu itu aku sudah lelah dengan kemisteriusannya.

Dia mengerjakan skripsiku dan dia bersemangat agar aku cepat lulus. Aku merasa sangat terbantu olehnya. Semua konsepnya, proposalnya hingga skripsi lengkapnya telah selesai. Saat bertemu, dia yang paling menggebu-gebu untuk mengajariku agar aku memahami konsep dan isi skripsinya. Dia melatihku agar siap menghadapi ujian proposal sampai skripsi. Di akhir-akhir setiap kali bertemu, dia menjadi seperti guru, dosen, atau turtorku. Awal-awal aku juga bersemangat mengikutinya, tetapi aku akhirnya merasa ada yang salah. Saat aku mengikuti seminar karya ilmiah, seorang dosen berkata jika skripsi adalah identitas kita. Dari situ aku mulai mengerjakan sendiri dari awal, aku tidak ingin bergantung pada Aldaka lagi. Aku ingin hasil kelulusanku adalah murni nilaiku. Mungkin sebenarnya saat itu, aku perlahan juga sedang menyiapkan diriku untuk pergi darinya.

Skripsi ternyata bukan hal yang mudah. Banyak tekanan yang kuhadapi, ditambah ketamakanku ingin skripsiku sempurna, dengan judul yang bagus dan lain daripada yang lain. Keinginanku dengan dosen pembimbingku berbeda, tidak ada teman yang dapat kuajak berdiskusi, atau kutanyai tentang skripsi. Karena waktu itu semua teman-temanku juga sedang mengalami hal yang sama denganku. Aku dan teman-temanku juga sama bingungnya tentang skripsi dan mengalami tekanan yang hampir serupa. Aku dan teman-temanku jadi sering bertengkar karena kami sama-sama sensitifnya saat itu. Aku tidak berani berdiskusi atau bertanya pada Aldaka, aku takut dia akan marah dan kecewa karena aku tidak memakai skripsi yang sudah dikerjakannya. Pendaftaran seminar proposal sudah hampir tutup, tetapi judulku tak kunjung diterima dosen pembimbingku dan aku menolak bertemu dengan Aldaka. Padahal pertemuanku dengan Aldaka sudah sangat jarang. Sampai pada akhirnya pendaftaran ditutup. Aku kecewa, apalagi melihat teman-temanku ternyata banyak yang berhasil mendaftar. Tanpa kusadari saat itu aku meluapkan emosiku pada Aldaka, dan benar dia kecewa karena aku tidak memakai skripsi yang sudah disiapkannya. Dia terus memaksaku untuk menggunakan skripsi yang sudah dia kerjakan. Dia sangat jarang membalas pesanku, tetapi waktu itu dia jadi sering mengirimiku pesan dan menyemangatiku, serta menyuruhku untuk sebaiknya memakai skripsinya agar aku bisa lulus tepat waktu. Hingga akhir dia masih bersikap sabar dan berusaha memahamiku.

Puncaknya adalah ketika aku melihat teman-temanku wisuda, sementara aku masih berkutat dengan judul yang belum juga tuntas. Aku menyalahkan Aldaka dan menuduhnya telah membuatku ketergantungan atas dirinya sehingga aku tidak bisa mandiri. Aku gagal mengerjakan tugas akhirku karena selama ini dia membantuku. Sebuah alasan yang tidak masuk akal tentunya, tetapi atas dasar alasan itu aku meminta putus darinya. Setelah putus, tentu saja kehidupanku sangat berat. Jika aku pergi ke suatu tempat, dan aku tersesat, tidak ada lagi yang bisa menemukanku. Jika aku pulang larut malam, tidak ada lagi yang mengantarku pulang. Jika aku ingin pergi jalan-jalan karena penat, tidak ada lagi yang sewaktu-waktu langsung bersedia dan datang mengajakku jalan-jalan. Jika aku memiliki pertanyaan sulit, tidak ada lagi yang akan menjelaskan dengan detail jawaban atas pertanyaanku. Tidak ada lagi yang akan mengambilkan aku buah jambu atau rambutan di atas pohon. Tidak ada lagi yang akan menggengam tangganku dengan erat. Tidak ada lagi yang akan menceritakan banyak hal yang mendidik. Setelah putus, dia menghilang tanpa jejak, seakan dia tidak pernah ada. Untuk beberapa waktu aku mencoba mencari penggantinya. Tentu saja tidak ada.

Setelah beberapa lama, aku bertemu dengannya di jalan. Dia berada di dalam mobilnya yang berhenti di pinggir seberang jalan, sementara aku habis membeli bolpoin di tempat potocopy-an. Kami saling bertatap mata untuk beberapa saat. Dia keluar dari mobilnya, dan secara naluriah aku dan dia berjalan menuju warung es degan. Sambil menunggu pesanan es degan datang, kami duduk membisu berhadap-hadapan. Perasaanku campur aduk, ada banyak hal yang ingin kuungkapkan padanya, marah, penyesalan, rindu, rasa senang, rasa sedih dan banyak hal. Tetapi aku tidak tahu harus mulai dari mana dan mungkin aku sudah tidak punya hak untuk itu semua. Mungkin dia juga demikian, merasakan hal yang sama denganku. Sebenarnya aku kecewa karena dia membiarkan aku pergi, aku kecewa karena setelah aku meminta putus dia menghilang begitu saja tanpa kabar, namun aku sadar jika itu semua kesalahanku dan aku tidak pantas merasa kecewa padanya. Tidak bisa dipungkiri aku senang bertemu dengannya. Sampai es degan kami datang hingga habis kami minum, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya yang ditujukan padaku, begitu juga aku. Aku sedih menyadari bahwa kami telah berbeda. Hubungan kami tak lagi sama. Untuk beberapa saat sebelum kami melanjutkan perjalanan kami masing-masing, kami saling menatap. Tidak lama, tetapi cukup untuk kuingat dalam waktu yang lama. Dia membayar es degan kami, mungkin untuk terakhir kalinya, dia mentraktirku es degan. Setelah itu, tanpa berpamitan juga, kami berpisah. Dia pergi dan kembali menghilang dari pandanganku. Aku tidak tahu kapan aku dapat bertemu dengannya lagi. Sebenarnya aku sangat merindukannya. Aku ingin merasakan genggaman tangannya lagi. Kenapa aku sangat egois?.


“Hanya Hati yang Tau”

By : M.A. Azrin


Kau tau dan aku tau

Bahwa hati kita terhubung

Walau kisah kita tak pernah terungkap

Namun hati kita tau bahwa kita pernah bersama


Biarlah cerita ini tersimpan hanya di antara kita

Hati kita tau kita pernah bersama


Walau kisah kita tak pernah terungkap

Itu sudah cukup untuk mengisi hidupku

Itu sudah cukup, kau dan aku bersama

Itu sudah cukup untuk membuktikan ketulusanmu kala itu


Walau kisah kita tak pernah terungkap

Tetapi hati kita tau, kita pernah bersama

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.