Ruang Tolerasni - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Ruang Tolerasni 


Hari ini, kemarin ataupun besok, aku sudah muak sekali tinggal dibalik kegelapan. 

Setahun yang lalu, tepat sebelum matahari mulai terbit. Rasa merdeka yang tertanam sekian lamanya ditampar sesaat oleh situasi pahit yang kini belum selesai. Tak tahu kenapa, banyak sekali adegan-adegan yang membatasi aku saat itu. Tak ada lagi inspirasi, taka da lagi bunyi berisik, tak ada lagi ruang kosong, yang ada hanyalah suara-suara mereka yang berteriak kencang meminta kebebasan, namun tak dijawab!. 

Aku seorang anak petani berkelahiran timur, yang berjuang meninggalkan kampung halaman dengan air mata dalam kenangan-kenagan perjuangan kehidupan yang pahit. 

Kini saatnya kedua pandangan ini harus lebih cerah dari pada sang surya, yang kian kini sudah hampir redup menerangi hidupku. Perjuangan-perjuangan yang aku bangun kini harus virtual dalam kebijakan kekejaman. 

Samapi suatu hari, sudahku putuskan untuk mencari kebebasan untuk mendapatkan inspirasi baru dalam kehidupan yang sudah berbeda. Kebiasaan dan sifat harus sejajar dalam garis pikiran positif. Ahkirnya pertemuan yang tak sengaja, mempertemuka tiga sifat, agama dan suku yang berbeda. Yah! Aku bersyukur sudah dipertemukan dengan mereka. 

Setelah pertemuan itu, kehidupan kami bertiga semakin dekat. Lantas aku harus berjuang, setelah apa yang dikasih Tuhan lewat mereka berdua. Kami berbeda dari setiap sudut kehidupan. Itulah yang membuat aku percaya, kalau kekurangan hanya bisa dilengkapi dengan kekurangan yang bertoleransi. 

Kami dipertemukan dalam satu ruang yang sederhana. Tempat itu adalah Coffee Shop biasa, tempat nongkrong anak-anak kuliah di kota Bogor. Kami berdiskusi mulai dari hal-hal kecil tentang hidup. Dari kehidupan pribadi, sampai hal-hal besar yang mungkin sebenarnya tidak bisa diceritakan. Namun itulah yang membuat kami percaya, hidup bukan tentang diri sendiri. 

Di suatu senja, dibawah pohon mangga yang rindang, yang biasanya kami namai DPR. Bukan gosting, tapi artinya “di bawah pohon rindang”. Dilengkapi dengan kopi yang menciptakan inspirasi dalam diskusi kecil itu. 

“way…(panggilan sahabat versi kami)..aku ingin berceritra banyak dengan kalian. Apa boleh?”  kata temanku betubuh tinggi dan suka berolaraga itu. (sambil menyeruput kopi yang masih pasnas). Yah ari namnaya!. Lelaki kelahiran Solo asli. 

“boleh way” kata temanku yang satu lagi. Itu Sadam. Anak laki-laki asal tanah Sunda. 

“aku ingin membangun usaha kecil-kecilan bertiga” kata ari lagi

“usaha kopi” sahutan dari aku. 

Hal kecil mengajarkan kita tentang betapa bahagianya berjuang, kerja bersama-sama. Ketika hari itu, kita membangun komitmen yang cukup besar resikonya. Tapi tak apa-apa. Karna kami percaya, apapun tantangannya nanti, jika kita masih bersama dalam berjuang, kita bisa lewati sekalipun tantangan itu berat adanya. 

Aku rasa cukup dengan itu!. Berusaha dari bawah, dari susah, dan dari kekurangan-kekurangan yang pernah ada, kami pasti bisa. 

Yah!. Ruang Toleransi tempat kami belajar membuat dan meracik kopi yang baik. Susah, sulit, tapi menyerah bukan pilihan. Setidaknya kami tahu apa aitu kopi, seperti apa biji kopi, dan cara membuatnya. Lebih penting lagi, kami tahu tentang cara berjuang yang sesungguhnya. 

Bukan itu saja!. Kami juga belajar mendalami program jurusan kuliah kami. Yah! Kami anak kuliah yang bernaung dalam satu naungan Swasta. Universitas Pakuan Siliwangi Bogor. Tempat kami menimbah ilmu yang banyak, meskipun situasi harus menikam rasa bahagia kami sementara. 

Setiap hari kami belajar dari ruang itu. Jatuh, sakit, sedikit banyaknya sudah kami rasakan. Hidup memang seperti itu. Tidak selalu senang. Ibarat kopi yang pahit tanpa gula, tapi tetap dinikmati sampai habis. 

Situasi saat ini sudah tidak lagi bersahabat. Kita memilih bebas berinspirasi di ruang toleransi setiap harinya. Saling mengingatkan, saling support, saling bantu, kadang-kadang hal-hal konyol juga terjadi. Bahagia kami sederhana. Persahabatan kami tak mewah. Keinginan kami juga tak banyak. Namun kita masih bisa  tertawa dalam kerasnya perjuangan, itu sudah sangat luar biasa. 

Hingga ahkirnya kami tahu cara membuat kopi, dari komitmen sederaha yang dibangun dalam diskusi di DPR kemarin. 

“tidak sia-sia yah belajar kopi” kata aku!

Sambil senyum lebar menguasi mulut

“ternyata jadi asik sendiri sama kopi…..wouhhhh mantap lah” ucapan sadam yang keliahatanya sangat bersyukur. 

Diam sejanak!.....

Dalam diam itu banyak yang aku rasakan. Bersyukur, merasa bangga sama diri sendiri, dan Langkah apa selanjutnya yang akan kita bangun lagi.

“kerja yok!!!!!” kata aku 

“kerja dimana” dua-duanya.

“di Toleransi” kata aku meyakinkan.

Lepas hari itu, otak yang siap dialiri kafein setiap hari, mulai berfikir cepat tentang hari besok. Open bar pagi di Ruang Toleransi. Itulah Langkah kita selanjutnya. Awalnya kami juga ragu dengan Langkah yang kedua ini. Tapi, memang harus seperti ini, dan saatnya melangkah lagi. Mungkin terlihat biasa saja dimata orang. Namun ini luar biasa bagi kami dan bagi orang lain. 

Hari yang sangat melelahkan otak. Langakh kedua ini cukup bagus awalnya.

“Lelah juga yah bos!!” kata sadam

“etssssss….lelah boleh, asal jangan nyerah bosku” kata Ari. 

“ongey!!!!!” bertiga sambal teriak. 

Hari-hari mulai kita lewati berasama. Seperti saudara dalam satu atap, itulah kami. Mencoba menghasilkan dari keringat busuk sendiri. Msekipun kecil bahkan tak ada sama sekali, kami masih sangat bersykur dalam kepercayaan yang berbeda. 

Suatu malam, sebelum rasa ngantuk menyerang, aku sempat mengenang sedikit tentang perjuangan itu. Luar biasa selama ini. Mereka masih bisa berjuang walaupun terbukti sangat berbeda dari aku. Ada sedikit janji yang tertanam dalam bersama nadi dalam diri ini. Aku akan membantu siapapun yang ingin dibantu. Itu juga komitmen kami bertiga sejak awal. 

Mulailah dari hal-hal sederhana. Belarjlah dari bawah, dari hal kecil yang tidak dianggap. Jauhkan ego sejauh mungkin dalam berjuang. Dan tetap bersama-sama meskipun dalam seribuh luka mengantam dada. Itulah hal yang paling berharga yang aku temui dalam persahabatn kita. 

Open bar pagi setiap harinya, membuat tugas kuliah bersama, jalan-jalan bersama, diskusi bersama, itu kegiatan kita sampai sekarang. 

Aku rasa sudah tidak ada lagi yang berharga selain memiliki sahabat seperti mereka. Jauh sebelum aku bangkit melawan tantangan hidup, aku sering gagal, sering kecewa, sering terluka. namun sekarang, aku menemukan titik terang menuju kesuksesan masa depan. 

Yah!... itu sahabat bukan teman. Teman bisa siapa saja, bisa dari mana saja. Namun tidak seperti sahabat. Sahabat adalah orang yang mampu merangkulmu saat kamu sudah tidak bisa lagi berjuang. Sahabat adalah orang yang siap melengkapi kekurangmu, sahabat adalah orang yang bisa menegurmu.  

Ruang Tolerasi mampu memberikan yang terbaik bagi kami. Kami mulai berkarya dari hal-hal kecil disana. Sampai sekarang kehidupan kami membentuk pola yang terarah untuk kebebasan, meskipun harus berpisah jarak untuk sementara.





-TAMAT-



 

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.