Pisau Di Pundak Kawan Lama - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Pisau Di Pundak Kawan Lama


Seorang lelaki bersama gadis berkerudung putih. Kusambut salamnya sembari membukakan pintu, mempersilahkan mereka masuk dan duduk di ruang tamu. Keduanya tampak mirip, atau mungkin mereka kembar. Pikiranku penuh tanda tanya, siapa mereka?.

Hening, hingga salah satu dari mereka mulai berbicara. “Oh, kau apa kabar?”, tanya gadis itu. Aku pun menjawab dengan nada terbata - bata. “Eh, mmm alhamdulillah baik”. “Hei!, apa kau tak ingat kami?”, tutur si lelaki dengan gaya yang berusaha mengingatkan sesuatu. Aku tetap diam, pikiranku tengah bergelut hebat. Mencari ingatan yang mungkin telah terpendam.

Si gadis terlihat kesal menunggu. Dia merogoh kantong celananya, mengeluarkan sebuah foto monokrom yang usang termakan usia dan menunjukkannya padaku. Sekilas terlihat wajah dua bocah laki - laki dan dua bocah perempuan tersenyum lepas ditengah sawah. Tunggu - tunggu, sepertinya aku tidak asing dengan foto ini. Ya, salah salah satu diantara mereka adalah aku yang berambut sebahu, berbaju biru usang kesayanganku dulu.

“Aku Doni, dan ini Dini”, jelas si lelaki itu. “Ya, aku ingat dengan kalian. Oh, kalian sudah berubah. Don!, mana jambulmu dulu?, dan Dini!, sejak kapan kau menjadi lebih kurus?. Ah, kalian tau dari mana jika aku masih tinggal di sini?”, sahutku dengan Panjang dan lantang.

“Ayolah Rina, ini zaman modern. Kita perlu berubah lebih baik dari sebelumnya. Tentang rumahmu, medsosmu lah yang memberitahu kami. Dan kau!, sejak kapan jarimu suka menari di atas gadged, bukankah dulu jarimu lebih suka menari di atas buku gambar?”, celoteh Dini.

Tawa pecah tercipta diantara kata penuh nostalgia. Sholawat Gus Dur tiba - tiba terdengar. Inilah yang indah. Kenangan kembali menyandra. “Apakah kau ingat masa dimana kita bermain saat senja?” Tanya Doni. Kami kembali mengingatnya.

Doni dan Dini adalah si kembar teman kecilku di desa penuh dengan sawah dan tambak bandeng ini. Pekerjaan anak desa seperti kami dulu hanyalah bersekolah seperempat hari dan terkadang kami ikut ibu dan bapak bertani. Sisanya bermain petak umpet, gangsing kayu, dan gobak sodor. Yang paling kami suka adalah lempar sandal di persawahan. Lucu sekali melihat Dini yang selalu terjatuh tidak bisa berlari sebab badanya yang bulat sepeti kelereng. Sedangkan aku, sandalku adalah korban kotoran sapi bahkan tak jarang hanyut terbawa arus sungai. Lima kali ibu memarahiku sebab pulang tak beralas kaki.

Hingga senja dan sholawat Gus Dur menjadi pertanda buruk. Ibu - ibu desa sibuk mencari anaknya. Berteriak menyuruh kami pulang sambil mengucapkan mantra “le, ndhuk, ndang boyong… ki wayah surup yen ra muleh kowe dho digondhol wewe loh”.

Mantra itu seperti hantu bagi anak desa, kecuali Doni. Si jambul itu selalu membangkang, tak jarang harus terjadi kejar mengejar antara ibu dan anak. Kisah itu selalu berakhir dengan jeweran yang mendarat ditelinga Doni. Oh, anak itu tidak mengenal jerah.

“Hei!, apa kau akan membiarkan kami bercerita tanpa seteguk minum?”, sahut doni tiba - tiba. Aku pun melangkahkan kaki, mengambil air minum dan beberapa camilan untuk mereka. Spontan, tanpa kupersilahkan mereka sudah merebut air minum yang kubawa. Ternyata sifat itu masih saja ada, batinku.

Aku kembali merenung. Memandang foto monokrom itu, menangkap wajah terakhir yang tersenyum manis. Rudi, bocah berkepala botak yang hilir mudiknya membawa buku. Bocah kecil yang baik, lugu, dan begitu pintar namun kemudian tumbuh seperti boneka antek milik orang kota.

”Ikutlah dengan kami ke kota nak, Kau akan meraih cita-citamu dan membuat Bapak dan Emakmu bahagia di surga”. Kalimat yang begitu lembut diucapkan Bapak berdasi rapih, sembari tangannya mengelus kepala Rudi yang tengah menangis diantara dua makam yang masih basah.

Rudi, nama yang selalu benci untuk kami sebut. Lelaki keparat yang sejak 6 tahun lalu menjelma sultan dengan penuh kesombongan. Bocah kecil yang baik, lugu, dan begitu pintar namun kemudian tumbuh seperti boneka antek milik orang kota.

Selepas lama kepergiannya ke kota, ia datang kembali bak pejabat. “Kawan lamaku!, aku sangat rindu dengan kalian”. Kami berempat berbicang Panjang. Satu dua kali, dan ini yang ketiga.

Brukkkk!

Puluhan kertas terjatuh dari tangannya. ”Ah kau ini Rini, senang sekali mengagetkanku”. “Kemarilah, aku ingin menunjukkanmu sesuatu”.  Tangan besarnya menyerahkan selembar kertas bertuliskan Proposal Pembangunan Panti Asuhan. Kami bertegia sebagai salah satu pemilik lahan persawahan pun dengan senang hati menandatangai lembaran tersebut bahkan ikhlas, enggan sepeserpun dibayar atas uang pembelian tanah milik kami.

“Udang dibalik batu”, gerutu Doni. Persawahan yang dilahap traktor lantas dipasang baliho rakasasa bertuliskan Mohon Do’a Restu Atas Pembangunan Perumahan Asri Residence. Kami terpaku melihatnya, sedang Rudi tiba-tiba pergi menghilang begitu saja.

Murka, kami marah namun kosong, tidak biasa berbuat apa-apa.

Selang disandangnya gelar Magister, tuntutan pekerjaan membuat Doni dan Dini pindah ke kota yang ternyata adalah tempat Rudi sembunyi dari berbagai kasus penipuan dan korupsinya. Sedangkan desa ini, tanah tambak habis rata ditimbun perumahan menjulang, sisa-sisa sawah mengering kurang perawatan. Petani tua semakin tua, namun para pemuda enggan menjadi pengganti. Desa yang malang, sawah hanya tinggal sebagian disamping rumahku. Entah sampai kapan desa bertahan dengan budayanya. Anak - anak yang malang, tidak merasakan arti kebahagiaan. Bukan lagi yang dulu, manusia pun sibuk menunduk pada layar, mencari arti dari sebuah ketenaran. Mereka tidak peduli peraturan dan kemanusiaan. Ah, manusia bukan hanya merusak alam, namun juga kesopanannya sendiri.

“Jika boleh tau, angin apa yang membawa kalian ke sini?, dan mengapa kalian hanya berdua, bukankah rudi masih satu kota dengan kalian?”, tanyaku. 

“Rindu dan Rudi, itulah alasan mengapa kami kesini. Dua hari yang lalu rudi meninggal dunia terlindas truk saat kabur dari kejaran polisi, jasadnya hancur.  Kami ingin kita yang dulu, namun Tuhan mengambil Rudi sebelum kita semua menuntaskan rindu. Kuharap besok kau ikut dengan kami, mari menuntaskan rindu dengan berziarah ke makam Rudi”, tutur dini.

Aku tertegun.



Karya: Khabibatin Najwa

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.