Mimpi Buruk Sebelum Ajal - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Mimpi Buruk Sebelum Ajal


“Leoooooo.........” teriak wanita tua ditengah kerumunan setelah tiga hari bersembunyi di dalam gorong - gorong selokan kota jakarta yang memang cukup besar dengan bantuan dari aparat keamanan yang berhasil membantunya kabur dari orang - orang yang akan menganiayanya. Selama kurang lebih satu minggu ia mencari kabar dari suami dan kedua anaknya yang ia tak tau dimana.

Yak, bahkan saat ajal menjemput aku pun harus tau bahwa ibuku akan hidup sebagai seorang janda yang kehilangan dua orang anaknya dan seluruh hartanya. Terima kasih Tuhan untuk hidup yang tak ingin ku ulang.


Dua minggu yang lalu

Jakarta kala itu sedang dipenuhi teriakan - teriakan reformasi dari mahasiswa. Jujur aku tidak tau maksudnya, masalah politik hanya itu yang ayahku jawab saat aku bertanya. Aku sebagai anak yang baru berusia 16 tahun pun tidak ikut pusing memikirkannya, hanya takjub saat kakak - kakak mahasiswa berteriak - teriak dengan lantang di depan gedung pemerintahan melakukan demonstrasi dengan membawa banner dengan ukuran yang sangat panjang bertuliskan ‘REFORMASI’.

Aku sekolah di salah satu Sekolah Menengah Atas swasta  di Jakarta. Seperti biasa sepulang sekolah aku berjalan kaki menuju rumah, apalagi sekarang ada yang bisa ku lihat. Yak, demonstrasi masih berlangsung. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini makin ramai, mungkin karena sehari yang lalu aku mendengar Presiden Republik Indonesia mengundurkan diri dari jabatannya setelah 32 tahun memimpin.

Aku melewati kerumunan itu seperti biasa, sebelum suara keras yang membuat telingaku berdenging hebat.

Doorr

Hebatnya suara itu masuk tajam ketelingaku, tak sampai disitu, suara orang - orang dari belakangku yang berteriak untuk lari pun tak kalah membuat telingaku sakit. Dari belakang aku ditarik oleh seorang pria yang tampaknya lebih tua dariku, ia menarikku menjauh dari asal bunyi suara itu. Setelah mengetahui hal yang sedang terjadi, kakiku lemas tak bisa kutopang, untungnya pria baik itu berkehendak mengantarku pulang sampai ke rumah.

Di depan rumah kedua orang tuaku sudah menunggu, dengan wajah cepas merah seperti kepiting rebus, mereka menanyaiku dengan tak sabar.

“Leo kamu gak kenapa - kenapa?” tanya mamahku.

“Nak kamu gak kenapa - kenapa kan? baik - baik aja?” tak mau kalah, ayahku pun ikut bertanya.

“Aku mendengar suara tembakan, kakiku lemas,” singkat jawabku.

Setelah berterima kasih kepada pria baik yang mengantarku sampai ke rumah, ayah dan ibuku membawaku masuk. Ibuku pergi ke dapur membuatkanku teh manis hangat untuk menenangkanku, ku lihat dari pintu kamar ayah memegang keningnya dengan wajah serius yang biasanya ia lakukan saat sedang banyak pikiran. Aku tersadar bahwa sekarang aku sedang tinggal di negara yang sedang dalam keadaan kacau.

Sorenya aku mendengar melalui jendela kamarku yang tentunya tidak kedap suara, beberapa bapak - bapak kompleks rumahku membicarakan tentang tewasnya empat orang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebelum mengetahui sebabnya, ibuku sudah memanggilku menyuruhku untuk pergi mandi. Aku menyerah seketika bangun pergi ke kamar mandi dan merelakan kegiatan mengupingku.


Keesokannya

Aku dibanguni pagi - pagi sekali, ku kira untuk sekolah. Tapi bukannya untuk sekolah, ibu dan ayahku menyuruhku mengemas baju - bajuku. Aku yang kala itu tak ingin bertamasya hanya mengabaikannya dan melanjutkan tidurku. Berhenti aku berniat untuk melanjutkan tidurku lagi, setelah ibuku berbicara dengan nada yang berusaha untuk tidak menangis.

“Kita mau pergi kemana pah?” tanya ibuku yang seperti enggan untuk pergi

“Tak tau, pokoknya ketempat yang aman” jawab tegas ayahku, walaupun penuh keraguan di isi jawabannya.

Aku bangun saat itu juga, memperhatikan keadaan. Ibuku sudah bersiap dengan tas besarnya untuk mengemas barang - barangku. Adik perempuanku yang saat itu berumur tiga tahun lebih muda dariku sedang tidur diatas sofa dengan pipi basah, sepertinya menangis karena kesal dibangunkan paksa saat sedang bermimpi indah.

Saat itu jam tujuh pagi, ayahku keluar mencari tiket travel dan semacamnya untuk pergi dari kota yang sedang kacau ini. Ibuku memegang remot, tangannya bergetar sesekali berdoa agar diberikan keselamatan. Aku melihat dari televisi, orang - orang melempari batu, membakar ban mobil, hingga merusak fasilitas umum negara. Jujur walaupun aku baik - baik saja, aku memiliki rasa takut apalagi saat ada berita yang mengabarkan para orang - orang itu membakar kios - kios dipinggir jalan.

‘Kios ayah? bagaimana keadaanya?’ tayaku dalam hati tak ingin membuat hati ibuku lebih gusar lagi.

Ayah kembali dari perjalanannya setelah kurang lebih dua jam keluar. Wajahnya tak karuan, terlihat ada air mata dikedua ujung matanya. Ibuku memeluk lalu mengelus punggung ayahku, seperti mengetahui isi hatinya.

“Tokoku yang kubangun dengan uang hasil jerih payahku dibakar bu!” jerit ayahku.

Aku menutup mulutku tak percaya dengan kata - kata yang ayahku ucapkan baru saja. Aku tau bagaimana ayah waktu itu sangat bahagia setelah ia bisa pindah dari ruko kecil ke kios yang berukuran besar dan bertingkat dua. Ditambah kenyataan bahwa ayahku tidak mendapatkan tiket untuk membawa kami pergi dari sini, bernasib sama tempat - tempat travel pun sudah dibakar, ada yang hanya dilempari batu dan dijarah isinya, ada juga yang tutup karena takut mendapatkan hal yang sama.

Ayahku menelfon pamanku yang berada diluar jakarta, untunya ia dapat menolong kami. Sore ini ia akan menjemput kami di rumah dan membawa kami ke rumahnya untuk sementara tinggal disana sampai keadaan di Jakarta menjadi baik kembali.

Di rumah ayahku membuat penghalang diantara pintu sehingga tidak ada yang bisa masuk ataupun keluar, kami hanya menggunakan pintu belakang jika ingin keluar. Ibuku menutup semua tirai dan melarang kami membukannya apapun yang terjadi diluar. Kami menonton TV bersama dengan suara kecil yang membuat wartawannya seperti sedang berbisik, biasanya kami tidak mengeluarkan suara dengan volume yang besar, ditambah hari ini suara kami bahkan seperti tidak mengeluarkan volume. Ayah dan ibu  hanya berbincang didalam kamar, aku dan adikku hanya diam sedari pagi. Aku tau perasaan adikku saat ini, pasti sekarang ia sangat ketakutan dan ingin menangis, tetapi rasa gengsi sangat menolongnya sekarang, hanya saja ia sekarang mudah terkejut dengan hal - hal kecil seperti aku yang menangkap nyamuk dengan tanganku, tubuhnya loncat seketika.

Sore telah tiba dengan kabar buruk dibawanya, pamanku diberhentikan oleh aparat dan tidak diizinkan masuk ke Jakarta. Pamanku akan menunggu kami di dekat gerbang tol, yang menempuh waktu kurang lebih lima belas menit menggunakan mobil dari rumahku. Semakin sore keadaan semakin kacau, khususnya untuk warga Tionghoa seperti kami, ibuku memang asli pribumi, tapi wajahnya putih bersih sampai orang tidak akan mengetahui bahwa ia asli pribumi jika berjalam denganku, ayah dan adikku. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan besok pagi buta saat orang - orang masih dalam tidurnya, pamanku akan menginap di hotel selama semalam.


Hari yang tak kuinginkan

Semalam seperti mimpi burukku, aku bangun dengan keadaan pipi basah dan tubuh panas. Tadi malam ibuku dibawa oleh orang - orang bersama dengan perempuan - perempuan lainnya. Adikku selamat setelah ayahku mengangkatnya ke lubang jalan menuju atap yang biasanya dipakai untuk memperbaiki genteng dan semacamnya. Ibuku tidak bisa di selamatkan, ayahku diancam dengan benda tajam dilehernya, hampir saja akan bernasib naas.

Keadaan kami kacau, para perempuan yang kami lihat ditelevisi diperkosa lalu dianiaya hingga meninggal. Ayahku menangis dari semalam, ia mengucapkan maaf sedari tadi. Adikku gemetar hebat sama halnya denganku. Ayahku mengatakan kita harus tegas dan mengikhlaskan ibu. Kami seperti orang yang gangguan jiwa saat itu, tetapi janji untuk bertemu dengan paman didekat jalan tol tetap harus dilakukan karena disini tidak bisa menjamin keselamatan kami.

Kami pergi dengan diam - diam, adikku diselimuti selimut oleh ayahku dan aku mengikuti mereka dari belakang. Jalanan yang dapat ditempuh lima belas menit dengan menggunakan mobil, tidak dapat kami lakukan. Ternyata para pelaku kerusuhan ini masih saja berbuat walaupun kami pergi saat pagi hari, terpaksa kami harus melewati jalan - jalan yang bahkan kami tidak tau sebelumnya.

“Woy!” suara teriakan pria dibelakang.

Kami kaget bukan main, ayah menyuruh kami untuk lari, tetapi jalanan ini sempit dan banyak arahnya. Kami ditangkap oleh dua orang yang sepertinya dalam keadaan mabuk, lebih tepatnya karena adik perempuanku, aku dan ayahku diperintahkan untuk pergi, tapi ayahku yang sudah hancur tidak bisa kehilangan salah satu dari kami lagi. Akhirnya ayahku pun melawan, dengan menarik tangan adikku, ia menyuruh kami berdua untuk pergi. Adikku menolaknya dengan berteriak memanggil - manggil nama ayah, kami melihat ayah dipukuli tetapi tetap berusaha berdiri untuk memblokade  kami dari mereka. Aku sebagai anak laki - laki yang sedari kecil sudah dibekali untuk selalu menjaga ibu dan adik perempuanku saat ayahku tak ada, dengan cepat menarik tangan adikku untuk pergi. 

Aku bersimbah air mata, hatiku sakit bukan main. Ingin rasanya aku melawan mereka semua, jika saja tidak ada adikku, aku akan merelakan mati dipukuli bersama dengan ayahku. Aku hanya lari dengan menggenggam tangan adikku yang masih menangis dan meneriaki kata ayah. Mengapa ada orang setega ini di dunia ini, mengambil nyawa seseorang dengan sangat mudah.

Tidak lama kemudian kami sudah tiba di sekolahku, tak tau apa yang aku pikirkan, dibenakku hanya pergi ketempat aman. Aku mengajak adikku ke tempat olahraga, aku pikir disana banyak alat - alat untuk melawan jika suatu saat itu diperlukan. Aku menggelar matras membiarkan adikku tidur dipangkuanku setelah lelah berlari dan menangis. Terdengar nafasnya berat, ia menggundah setiap saat sembari mengucapkan kata ayah dan ibu. Aku hanya berharap Tuhan bisa mencabut nyawa kami dengan tenang saat kami terlelap dalam tidur siang, hanya itu.

Sekarang sudah menjelang sore, kami berdua belum makan dari kemarin malam. Aku pun pergi ke kantin sekolah, mencuri beberapa makanan yang bisa kami makan untuk dua sampai tiga hari lagi dengan harapan esok aku dapat membayar makanan ini ke sang penjual. Yak aku tau, walaupun keadaan kota kami membaik kembali, keadaan kami berdua tak akan sama lagi, kami tak punya uang, ayah, ibu, aku bahkan tidak tau rumah kami dalam keadaan seperti apa.

Aku dan adikku makan roti dan beberapa camilan lainnya, makanan ini terasa sangat serat saat menuju tenggorokanku walaupun aku sudah membantunya dengan air sekalipun. Adikku menolak untuk makan sebelum suara dari perutnya terdengar keras. Lagi pula siapa yang mau makan saat kamu baru saja kehilangan kedua orangtuamu. Hanya demi ayah dan ibuku, aku tidak ingin mengecewakan mereka.

Hari terus berlanjut sore - malam - pagi - siang - sore lagi, kami sudah tiga hari disini. Tadi malam aku tidur dan bangun jam sepuluh dengan mata bengkak. Adikku bilang aku menangis tadi malam, membuatnya tidak bisa tidur. Keadaan adikku sudah membaik, ia memang orang yang sangat kuat, ia jarang menangis atau mengeluh bahkan saat bisnis ayah bangkrut yang membuat ayah menjadi penjual makanan di kios kecil milik oma.

Kami makan setelah mencuci muka, terpaksa harus mencuri lagi. Aku membawa adikku untuk memilih sendiri makanan yang ingin ia makan.

“Klontang” bunyi toples jatuh dari arah belakang kami. Aku langsung berbalik dan memegang tangan adikku.

“Mas Leo?” tanya pria yang menjatuhkan toples itu.

“Pak Rudi!” lega bukan main yang kutemukan adalah penjaga gerbang sekolahku.

“Mas Leo baik - baik saja? Kenapa bisa disini?” tanya Pak Rudi.

Aku menceritakan semuanya kepada Pak Rudi, satpam sekolah yang sudah kukenal kurang lebih satu tahun. Ia menangis saat mendengarkan cerita kami. Ia juga berkata keadaan diluar sudah lebih baik, aparat keamanan akhirnya turun tangan. Ia mengajak kami ke rumahnya, bersama dengan istrinya ia menyambut kami dengan baik. Memang tidak semua orang pribumi yang melakukan kerusuhan ini, seperti Pak Rudi dan istrinya yang mau membantu kami.


Kami menginap dirumah Pak Rudi selama semalam, keesokannya kami pergi ke rumah paman dan tante kami yang sudah kami hubungi melalui telfon milik Pak Rudi. Aku berterima kasih ke pada Pak Rudi dan istrinya karena telah merawat kami selama semalam. Kami dijemput oleh paman, dijalan aku menceritakan segala kejadian, rasa sesak kembali timbul. Adikku di kursi belakang menangis tidak berhenti, pamanku berusaha sangat tabah didepan kami.

Kami tinggal di rumah paman dan tante, hari ini sudah seminngu sejak ibu diculik dan ayah dikeroyok, belum ada kabar dari mereka berdua. Aku kira aku tabah tapi rasa sakit kehilangan kedua orangtua sangatlah tidak seperti yang kubayangkan. Adikku juga begitu, aku mendengar dia menangis setiap malam, jujur sakit bukan main melihatnya menangis seperti itu sembari memanggil ayah dan ibu. Paman dan tanteku berusaha mencari kabar dari ayah dan ibuku dengan melaporkan ke polisi, laporan orang hilang.


Hari dimana adikku menyusul orang tuaku

Adikku tak sekuat itu, ia menyerah dengan hidupnya. Ia rela menabrakan tubunya dengan mobil xenia berwarna putih yang sedang melaju dengan kecepatan lumayan tinggi di jalan dekat rumah pamanku. Mobil xenia putih bersih yang seperti baru dicuci itu dibasahi dengan merah darah adikku. Ia izin untuk membeli jajan, tetapi ia sudah berniat dengan menaruh surat perpisahan yang berisi ‘Kak maafkan aku, terima kasih telah menjadi kakak terbaik. Aku akan menyusul ayah dan ibu. Aku berharap kamu menemukan jalanmu, aku akan selalu mendukungmu. Tertanda tangan Filo’. Seharusnya aku tau ini, tapi aku terlalu angkuh menganggap adikku sekuat itu.

Adikku dimakamkan, untuk terakhir kalinya aku mengantarkannya ke tempat peristirahatan  terakhirnya. Dia sudah tenang disana, mungkin ia sudah bertemu ayah dan ibu, itu pikirku. Aku masih di sisni, didunia yang kejam ini.

Aku pergi ke Jakarta setelah dua minggu sejak kejadian yang terjadi pada orangtuaku. Diantar oleh paman, aku melihat rumahku, dan mengambil barang - barang penting. Pamanku pergi ke kantor polisi untuk mengurus proses pecarian orangtuaku, aku izin untuk di rumah lebih lama. Jujur aku sudah tak mau mendengar pencaria orang halang dan semacamnya, orang tuaku DIBUNUH! DIANIAYA! BUKAN HILANG!

“Aku rindu Ibu,” Pikiranku hilang saat melihat foto ibuku sedang menggendongku waktu kecil. 

“Bisakah ibu kembali, aku sendiri, Filo dan ayah juga meninggalkanku,” pintaku.

Seketika badanku tidak berjalan semestinya, aku pergi dari rumah sembari membawa foto itu. Tiba aku diatas jembatan merah yang tak jauh dari rumahku. aku melihat kebawah, rasanya dunia berjalan dengan apa adanya tak seperti aku yang masih terjebak dengan hari kemarin. Bagaimana dunia bisa setega ini. membiarkanku terjebak dengan kenangan yang mengerikan ini.

Aku berdiri di luar jembatan menatap kebawah sesekali menoleh ke belakang. Sudah banyak orang yang mengerumuniku dibelakang, berteriak - teriak seolah ingin membantu tapi sebenarnya tak ada gunanya. Aku menyiapkan nyali ku, tak lama lagi aku akan loncat dan menemui ibu, ayah dan filo yang sangat kurindukan. Maafkan aku paman telah membuat hidupmu lebih susah lagi, tapi aku benar tidak bisa menjalani kehidupanku tanpa mereka. 

“Filo maafkan kakak yang sudah mengambil jalan yang salah ini, tapi kamu bilang kamu akan selalu mendukungku, bukan? Ayo kita berumpul bersama lagi disana” Kataku sebelum meloncat.

Aku berbalik, agar yang kulihat adalah langit saat jatuh. Mereka dibelakang berteriak, ada seseorang yang memanggil - manggil namaku sepertinya alam bawah sadarku. Aku melemaskan tubuhku, membiarkan tubuhku terjatuh, terombang - ambing oleh angin.

“Leoooooo.........” Ibuku berteriak, bukan alam bawah sadarku, tapi ibuku yang masih hidup sebagai seorang janda yang kehilangan anak perempuannya dan melihat kematian anak laki - lakinya yang bunuh diri dari atas jembatan.

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.