Mengejar Cinta Hingga menit Injurytime - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Mengejar Cinta Hingga menit Injurytime

(Oleh: Agus Kristanto)


Di dalam gedung pencakar langit, dengan bangunan yang bernuansakan peninggalan Belanda. Terukir ribuan momen kairos yang kini menjadi kenangan setelah ku pergi darinya. Kenangan yang selalu mengingatkanku arti sebuah semangat belajar demi menjadi seorang guru. Kenangan yang mengingatkanku arti sebuah perjuangan mengejar cinta, yang akhirnya aku dapatkan di masa akhir perkuliahanku. 

Di bawah matahari yang mulai menyengat, aku berjalan menyusuri jalan setapak untuk pergi ke kampus. Dari kejauhan pupil mataku terfokus pada wanita yang elok parasnya. Dia adalah Dinda. Dinda adalah teman kuliahku, dia baik, ramah, cantik, tinggi, dan sedikit manja. Seketika itu, sejenak di dalam batinku berkata “Andai saja dia jadi pacarku, aku pasti menjadi salah satu lelaki yang paling beruntung di dunia ini” kata hatiku sambil tersenyum tipis. Melihatnya yang sedang berjalan sendiri, aku pun mempercepat langkahku untuk menghampirinya “Hai Din, mau pergi ke kampus?” sapaku kepada Dinda sambil melambaikan tangan. “Iya Ben, ini mau ke kampus” jawab Dinda kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku berkata “Kalau gitu, dari pada sendirian, kita pergi ke kampus bareng aja” Ajakku sambil tersenyum dengan penuh harapan. “Okelah, kalau begitu biar ada teman jalan juga nih” Jawab Dinda sambil membalas senyum padaku. Akhirnya kami pun pergi ke kampus bersama. Namun, seketika aku menjadi gagu, canggung dan tak ada kuasa sedikitpun untuk mengeluarkan kata-kata. Aku seperti berada di dalam lembah kesunyian, tak ada satu katapun terdengar di gendang telinga kami masing-masing.

10 menit berjalan di zona keheningan bersama dengan dia, membuat keringatku bercucuran. Hingga akhirnya, kami sampai di depan kelas dan bergegas mencari tempat duduk masing-masing. Seperti biasanya, aku duduk di sudut kanan bagian belakang, bersama dengan sahabatku yang bernama Diki. Diki orangnya humoris, pemberani, dan ceplas-ceplos kalau berbicara. Dia satu-satunya orang yang tahu perasaanku pada Dinda. Sejauh pembelajaran berlangsung, mataku tak pernah berpaling dari Dinda. Senyumannya, canda tawanya, seperti candu bagiku. Sambil menatapnya hati ini berkata “semoga kelak aku bisa jadian dengan dia” senyuman tipis terpancar dari wajahku dengan kepalan tangan dibawah dagu. Melihat tingkahku tiba-tiba terdengar suara “Hei Beny, perhatikan pembelajarannya, kamu mau kuliah atau cuma mau memandangi Dinda saja?” Tanya Diki kepadaku sambil menepuk bahuku dengan pelan. Lanjut Diki kepadaku sambil berbisik-bisik “Ingat Ben, cinta boleh tapi bodoh jangan, kamu kira kalau kamu bodoh si Dinda mau dengan kamu? “Eghhh… Apaan si, orang dari tadi aku menyimak pelajaran kok” Sahut ku kepada Diki dengan kening yang berkerut. “Seriously, coba jelaskan ulang apa yang baru dijelaskan tadi?” tanya Diki kepadaku dengan mimik meledek. “Udahlah… jangan berisik nanti kita kena tegur” sahut ku kepada Diki. 

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB, yang berarti mata kuliah pertama telah selesai. Meskipun telah selesai, aku tak beranjak dari tempat dudukku. Aku hanya bersandar dan melamun, dengan kedua tangan masuk kedalam kantong celana sambil berpikir “Mengapa tadi aku seperti orang gagu ya? Tak bisa berkata-kata apapun, padahal itu waktu yang pas untuk PDKT”. Bunyi alarm pun terdengar di telingaku, menandakan waktu jam kuliah terakhir dimulai. Waktu terus berjalan, dan tak terasa sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB pertanda perkuliahan telah usai. Aku dan Diki berserta teman-teman lainnya pun, bergegas untuk beranjak meninggalkan kelas. 

Saat hendak pulang ke rumah, terdengar suara untur bergemuruh di gendang telingaku. Tak perlu waktu lama, akhirnya hujan pun turun. Derasnya hujan membuat kami tak memiliki kuasa untuk menerobos rapatnya kerumunan hujan itu. Akhirnya, aku dan Diki pergi ke coffee shop dekat kampus sembari menunggu hujan reda. Namun, belum genap 10 langkah, tiba-tiba Diki menghentikanku dan berkata “Egh Ben, bukannya itu Dinda dan Jojo ya? Mereka terlihat dekat sekali” kata Diki sambil menarik bajuku. Sontak fokus perhatianku tertuju kepada mereka, “Jojo siapa Dik?” Tanyaku kepada Diki. “Jojo anak fakultas hukum Ben, dia juga kan anak basket di kampus kita” Jawab Diki kepadaku. Melihat, mereka duduk berdekatan, hati ini mulai memanas hingga menembus dinginnya hujan. “Ayok Dik, kita pindah tempat aja, aku udah gak selera minum kopi” Sahutku kepada Diki sambil bergegas untuk pulang. 

Di tengah keheningan malam, tiba-tiba terdengar notifikasi pesan dari Diki. “Ben, selamat berjuang ya karena kamu punya saingan baru. Cowok yang kita lihat di cafe tadi ternyata juga suka sama Dinda. Jangan pernah nyerah kalau memang kamu benar-benar menyukai Dinda” pesan dari Diki yang membuat keheningan ini semakin mencekam. Sejenak aku tak bisa berpikir apa-apa, seketika aku menunjukkan ekspresi datar. Aku hanya bisa duduk termenung dan membalas pesan dari Diki “Oke”. Paginya, dari luar terdengar suara seseorang memanggil namaku “Ben, ayok jadi pergi tidak?” Teriakan Diki sambil mengetuk pintu. Aku pun bergegas keluar rumah. “itu matamu kenapa kok bengkak, kamu semalam nangis ya?” Imbuh Diki kepada ku. “Mana ada sejarahnya aku nangis, ini bengkak karena aku tidak bisa tidur semalam. Pesan darimu membuat aku memikirkan Dinda sepanjang malam”. Jawabku kepada Diki. Akhirnya kami pun melangkahkan kaki, untuk pergi ke perpustakan kampus ditengah teriknya matahari. Dari kejauhan, aku melihat Dinda yang sedang berjalan berdua dengan cowok itu. Ini adalah kedua kalinya aku melihat mereka jalan bersama, semakin hari mereka semakin dekat. Benih-benih putus asa sudah mulai muncul di dalam benakku. “Ben, bukannya itu Dinda sama Jojo ya?” Kata Diki padaku. “Iya, sudah biarkan saja. Kalau jodoh tidak kemana”. Sahut ku kepada Diki dengan mimik pura-pura tegar. “Ben, kalau kamu laki-laki coba ungkapkan apa yang kamu rasa, kejar terus sampai dapat” Sahut Diki kepadaku sambil menunjukku dengan nada keras. “Sainganku kali ini begitu berat, dia jago basket ditambah lagi anak hukum lagi” kata hatiku ketika melihat mereka bersama. Aku hanya bisa terdiam dan termenung. 

Tak terasa 2 tahun telah berlalu. Kini Dinda sudah menjadi milik Jojo sejak 15 bulan yang lalu. Ironisnya, tak banyak yang dapat ku perbuat. Namun, perlahan-lahan angin segar masuk ke dalam relung hatiku, dan menggetarkan kengkangan cinta yang sudah lama ku pendam. Story galaunya yang hampir setiap hari dia post, menjadi sumber angin segar yang memberi harapan kepadaku. Ketika ku melihat storynya, senyuman terpancar di wajahku “Din kamu baik-baik saja? Dari storymu menunjukkan kamu sedang ada masalah?” Balasanku terhadap story Dinda. Tak perlu menunggu lama, status Dinda sedang mengetik “Hmmm… ya biasalah, lagi ada masalah sama Jojo. Emang ya, kadang cowok itu gampang bosanan” Balas Dinda kepadaku. “Heee. Tidak semua cowok itu gampang bosan ya! Itu hanya berlaku untuk cowok yang tidak tahu bersyukur. Kalau aku jadi Jojo, tidak akan kubiarkan satu tetes air matamu keluar, dan tak kan kubiarkan manis lesung pipimu pudar (*emot senyum)” Balas ku kepada Dinda dengan detak jantung yang semakin kencang. 2 menit berlalu, dan tanda 2 ceklist biru membuat jantungku semakin berdetak kencang bercampur dengan rasa takut. Akhirnya, notifikasi pesan berbunyi, aku pun sontak lompat dari tempat tidurku untuk melihatnya “Huuuuu… dasar buaya (*emot marah muka merah)” Balas Dinda pada pesanku. Jarikupun mulai beraksi, kata per kata yang terlintas dalam otakku mulai ku petakan dalam sebuah kalimat “Dinda… istilah buaya itu hanya untuk laki-laki yang tidak tahu bersyukur dan tidak tahu diri, dan hanya mencari kecantikan semata. 3 tahun lebih kamu kenal aku, apakah aku orang yang seperti itu? (*Emot, bertanya dan emot berkacamata)” Balasku kepada Dinda. 

Fajar kembali muncul dengan gagahnya. Tak lama kemudian “Ben… ayok Ben berangkat” Terdengar teriakan Diki dari depan teras rumah. Aku pun menghampirinya, dan kami pun berangkat ke kampus. “Ben… kamu sehat kan? Aku lihat dari tadi kamu senyum sendiri, sudah gila ya karena cinta yang tak terbalaskan?” Canda Diki sambil menepuk bahuku. “Enak aja, justru sebaliknya aku merasa jalan yang dulu buntu, kini sudah mulai terbuka lagi” Balas ku kepada Diki sambil tersenyum tipis. “Hah, maksudnya” Balas Diki dengan mimik bingung dan terheran-heran. “Egh, Ben ditanyain malah diam aja. Dasar gak jelas” Imbuh Diki dengan nada kesal. Akhirnya kami pun tiba di kampus. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara lembut “Hai Ben… tumben gak telat” Sapa Dinda padaku sambil tersenyum. “EEEE… anuu… Iya, karena aku berangkat cepat” Jawab ku kepada Dinda dengan mimik tegang. Mendengar sapaannya seketika aku menjadi gagu dan tak bisa menjawab dengan jelas. “Ohh.. okelah sampai ketemu di kelas” Balas Dinda sambil pergi menjauh dariku. Melihat Dinda yang sudah pergi tiba-tiba terdengar kalimat “Cupu, gitu aja gagu” Bisikan Diki padaku sambil memukul kepalaku. Akhirnya, kami berbegas untuk masuk ke dalam kelas. 

Sejak saat itu, labirin yang dulu sulit ku lalui, kini mulai terpetakan oleh otakku. Di bawah naungan senja, muncul notifikasi dari Diki yang membuat lekungan senyuman di pipi ini semakin terlihat jelas. “Ben, katanya Dinda sudah putus sama Jojo” Pesan Diki padaku. “Becandaanmu gak lucu Dik (*emot marah muka merah)” balasku kepada Diki. Hingga malam tiba, Diki masih belum membalas pesanku. Rasa penasaran ini semakin bergejolak di dalam dada hingga merobek batas rasa takutku. Jari-jemariku pun sudah tak bisa menahan kuasa untuk memberikan kepastian. “Dinda.. kamu lagi baik-baik saja kan?” Pesanku kepada Dinda. Tak menunggu lama, notikasi pesan pun berbunyi “Hmmm (*emot senyum tipis) Iya aku si baik-baik saja cuma hatiku yang tidak baik. Aku lihat, tadi Jojo jalan sama cewek lain, ternyata itu selingkuhannya dia.” Balas dinda padaku dengan memberikan emot sedih. “Terus status hubungan kalian gimana sekarang?” balasku kepada Dinda. Sejenak aku menunggu balasan darinya sambil di dalam batin berkata “Semoga mereka putus” kataku di dalam hati. Notifikasi hp pun kembali berbunyi “Hmm. Aku putus” Balasan Dinda pada pesanku dengan emot menangis. “Oh…” Balas ku kepada Dinda dengan emot senyum. “Kok, kamu senang si atas musibah orang lain” Balas Dinda dengan emot muka marah dan kesal. “Hehe.. putusnya kamu dengan Jojo bagimu mungkin musibah tapi bagiku itu anugerah”. Balas ku pada Dinda dengan emot senyuman tipis. Putusnya Jojo dengan Dinda memberikan setitik cahaya di antara kegelapan di dalam palung hatiku.

Bayangan setiap inci lengkungan senyum diwajahnya semakin nyata. Diriku yang dulu tak pernah ada di dalam logikamu, perlahan-lahan menerobos masuk dan berusaha untuk berdiam disana. Hampir setiap malam, ku sendengkan telingaku untuk mendengar suara hatinya. Tak terasa kami pun sudah di penghujung masa perkuliahan kami. Di bawah naungan lembayung senja, di dalam batinku berkata “sampai kapan cinta ini ku pendam, 2 bulan lagi sudah wisuda. Biasanya setelah wisuda semua akan pergi menurut jalannya masing-masing. Akankah aku bisa bersama Dinda sebelum kami berpisah?” 

Akhirnya, setelah sekian lama PDKT, perlahan-lahan aku mulai menulis pesan kepadanya dengan penuh kekhawatiran “Din…. Gak peduli apa yang kamu pikirkan setelah ini, yang pasti aku sudah berusaha untuk mengungkapkan kalau aku suka kamu, cinta kamu. Bolehkah aku, mengenal kamu lebih dalam lagi?” pesan ku kepada Dinda. Seketika jantung ini semakin berdetak dengan kencang, ketika aku melihat tanda 2 ceklist biru dan status sedang mengetik “Heh… kamu jangan  becanda ya, becandaan mu gak lucu” Balas Dinda padaku dengan emot marah dan kesal. “Aku serius, aku suka kamu” tegasku kembali kepada Dinda. “Hmmm. Jangan coba-coba prank aku ya. Aku sudah tau model prank yang begitu. Jawab Dinda. “Ya ampun, aku serius Din, aku suka kamu bahkan dari 2 tahun yang lalu. 2 tahun aku pendam perasaanku, tapi hari ini aku beranikan diri untuk mengungkapkannya karena aku merasa ini adalah waktu yang tepat. Jadi apakah aku diizinkan untuk mengenal kamu lebih dalam lagi?” Tanyaku dengan hati yang berdebar-debar. “Ben, sejujurnya aku pun merasakan hal yang sama. Aku merasa nyaman ketika berada di dekatmu. Aku senang saat kita saling mengirim pesan. Iya aku mengijinkan kamu untuk mengenalku lebih dalam, begitu juga sebaliknya”. Balas dinda kepada ku dengan emot senyum. Sejenak, aku hanya bisa duduk terdiam dan air mata mulai keluar perlahan-lahan, senyuman bahagia tak bisa ku hentikan.  Jalan labirin dan penantian panjang kini telah terlewati dengan senyuman. Dulu aku yang tak pernah ada dalam logikanya, kini Tuhan memberikan kesempatan bagiku untuk menjadi bagian dalam hidupnya di menit injurytime. 

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.