Lost in Jakarta. - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Lost in Jakarta.

Lydia Nurkumalawati


Satu per satu rumah Juno lewati, tetapi tidak ada satupun yang sesuai dengan lembar foto di tangan. Padahal ia sudah memberikan lembar kertas titipan ibunya – Saat berpisah di bandara – pada tukang ojek. 

Ia bersyukur saat mengetahui seorang wanita sedang sibuk mengobrol dengan seorang pria muda dengan gerobak berisi beragam sayur dan bahan yang jarang ditemui di negara asal, Finlandia.

“Excuse me? Can you help me?” ucap Juno setelah menimang ribuan kali, berharap Wanita asing dapat memberi secercah harapan.

Dia menanti jawaban meski jelas-jelas diabaikan. Perempuan tetap fokus mengobrol dengan Bahasa yang tidak ia pahami, keduanya menukar selembar warna oranye kusam dengan satu kantong hitam. Muncul satu perempuan dari dalam rumah, ia mengenakan sweater rajut dan rok payung yang menutupi sepatu converse.

“Dea, yuk! Ntar telat nih!” ucap perempuan itu, ia juga mengabaikan keberadaan Juno. 

Juno mengelus dada sambil bergumam meyakinkan diri, mungkin keberadaannya yang baru jadi tidak diperhatikan, ia harus banyak bersabar untuk beberapa hari ke depan. 

“I am a traveler, I have just been going here for first time so I am lost. Excuse me? Can you help me?” ulang Juno, kedua perempuan asing menoleh padanya lalu saling berbisik. Mereka tampak kebingungan melihatku. Lama tak direspons ia mencoba cara lain yaitu menerjemahkan, ia berbantu mbah bahasa mendapati kalimat sama dalam bahasa mereka gunakan. Bahasa Indonesia.

“Saya seorang musafir, saya baru pertama kali pergi ke sini jadi saya tersesat. Permisi? Bisakah kamu membantuku?” ucapnya sedikit tergagap, lafaznya juga kurang jelas. 

“Musafir? Kau dari mana?” tanya perempuan bersweater rajut, sedangkan yang satunya mengamati foto yang ia pegang. Juno membaca isi gawai,

“Saya Finlandia,” balas Juno.

“Finlandia? Aku pernah dengar. Dari siapa, ya?” gumamnya.

“Farhan, dia titip pesan kalau ada laki-laki nyasar maka disuruh temui dia,” 

Tangannya mengeriting bergerak melompati huruf per huruf, tidak ingin ketinggalan sesuatu yang diucapkan kedua perempuan asing. Alisnya hampir menyatu membaca arti di laman google translate.

Farhan siapa? Aku gak kenal!! Batin Juno.

“Farhan? Siapa?” tanya Juno.

“Teman, kau harus bertemu dengannya,” ucapnya. “Gue Echa, yang kau sapa namanya Dea.”

Oh, Echa dan Dea. Juno memotret keduanya dan menulis namanya sebagai nama file, sebagai penanda jika menyasar karena ingatannya terbatas. Keduanya menatapku penuh curiga, mereka ber-oh ria setelah beberapa detik dijelaskan tujuan dari tindakan anehnya.

---------------------------

Setelah satu jam menelusuri jalanan, kendaraan berhenti di sebuah rumah berukuran dua per tiga lebih besar dari rumah sebelumnya. Dua perempuan bernama Echa dan Dea serentak berteriak memanggil kata Jono. Beberapa menit berlalu, pemilik rumah akhirnya muncul dengan seragam kaus bola. Alisnya naik sebelah sebelum memeluk Juno dan mengajak tos, wajahnya sangat sumringah seakan sudah menunggu lama.

“Akhirnya kau tiba! Bagaimana, bro? Susah cari rumahnya, ya? Foto itu fiktif, jangan dipercaya!” ujar Farhan dengan Bahasa Finlandia, menyesuaikan Bahasa harianku. Dea dan Echa memandangnya seakan Farhan sedang menggunakan bahasa alien.

Atau mungkin terkaanku sangat benar mengingat Bahasa Finlandia terdengar aneh bagi orang yang tidak terbiasa. Bahasa Inggris sendiri saja ada banyak aksen yang susah dipahami, apalagi Finlandia yang teramat jauh dari Bahasa Inggris.

“Dalam bahasa indonesia, temanmu tidak mengerti,,” ucapku memandangi layar, Farhan tertawa renyah. Bibirnya melengkung tajam hingga dua pipi legok cukup dalam.

“Oke, jadi Bagaimana kabarmu?” ulang Farhan menggunakan bahasanya.

“Ini hari yang kacau, aku telah kehilangan waktu yang lama hanya untuk mendapatkan rumahmu,” balas Juno.

“Menemukan! Lost is menemukan, bukan mendapatkan. Dapat is steal. You wanna steal my home? That is craziest thing I ever heard!” ujar Farhan, aku tertawa renyah setelah mendapati makna di google translate. “Bicara saja dalam Bahasa Inggris, kau tampak bingung dan kesulitan dalam satu waktu.”

“Oke,” ucap Juno.

“Kami bisa pergi? Ada kuliah pagi soalnya!” pamit Echa, mereka pergi setelah Farhan menyetujui dan mengatakan ‘hati-hati di jalan’.

Farhan berjalan, Juno mengekori setelah membiarkan berjalan beberapa langkah. Tujuan ke dalam kamar, ia menyalakan TV dan mengeluarkan alat yang telah lama tidak aku sentuh selama sekolah di Finlandia.

“PS? Kau masih menggunakannya?” tanya Juno dalam Bahasa Inggris. Gawainya low baterai jadi ia non-aktifkan.

“Iya, paling sering saat liburan. Terkadang aku diam-diam menggunakannya kalau sendirian di rumah.”

“Badboy? Huh!”

“Heh, ngaca! Kau sendiri Bagaimana?”

“Finlandia memiliki jadwal yang tidak padat dan tidak memiliki banyak tugas, jadi aku leluasa menggunakan waktu luang untuk baca buku.”

“Nerdboy?”

“Baca buku adalah hall umrah di negaraku! Aku bukan nerd!”

“Terserah!”

Game dimulai, kami fokus memainkan stick di tangan, beberapa kali Juno mengumpat kesal atas kekalahan dan tawa kerasnya yang mengesalkan. 

Tunggu, tujuanku bukan ke sini. Tujuanku sebenarnya adalah menemui kembaranku, Baari. 

“Farhan, kau bisa mengantarku pada Bari? Aku harus menemuinya segera!” 

“Ada apa? Aku rasa ia tidak akan senang kau kembali di hadapannya, ia mungkin saja tidak akan membukakan pintu rumahnya untukmu.”

“Aku harus melakukannya, ada hal penting yang harus aku sampaikan padanya.”

“Huh, oke! Tapi aku hanya mengantarmu ke sana! Aku tidak bisa membantu lebih.”

“Itu saja sudah cukup. Makasih, bro!”

“Ini makna persahabatan!”

Juno tertawa, ia membantu Farhan merapikan kamarnya yang sempat diberantakin oleh keduanya. Setelah beres, Farhan membawa Juno dengan sepeda butut. Keduanya termasuk sangat lamban di antara kendaraan lain, tetapi karena lengang jadi tidak terlalu ketara.

---------------------------

“Ini rumahnya, sangat besar dan keren? Semoga berhasil!” ujar Farhan setelah Juno turun dari sepeda bututnya. Ia melesat pergi sebelum Juno sempat bertanya, tangannya ragu-ragu menekan bel. 

Hatinya getar-getir, bingung bercampur khawatir. Benar kata Farhan, kembarannya pasti tidak menyambutnya sehangat Farhan. Pasti banyak kejadian yang tidak ia ketahui selama lima belas tahun kepergiannya, kejadian yang bisa saja mengubah karakter Baari menjadi sosok yang lebih buruk dari yang ia ketahui.

Suara gaduh meluangkan dadanya yang sesak, Baari muncul di hadapannya dengan pakaian serba hitam. Lelaki di hadapannya sudah tumbuh besar seperti dirinya, ia bagai memandangi pantulannya dalam bentuk nyata dan pakaian sangat kontras.

“Aku pulang.”

“Pulang? Aku kira kau akan pergi selamanya!”

Juno meneguk susah payah, ucapannya sungguh menusuk kalbu. Baari tidak salah, ia pasti mengira dirinya tidak akan pernah menemuinya. 

“Ada perlu apa, Juno? Aku tahu kedatanganmu kemari tidak hanya sekadar temu kangen.”

“Aku boleh masuk?”

“Hmm, aku jarang mengizinkan orang asing masuk. Karena kau, aku akan mengizinkan.”

Ia melebarkan gerbang, mempersilahkan Juno melewatinya. Keduanya beranjak ke dalam, ada beberapa sofa tertata rapi dengan meja kotak di tengah. Mereka duduk berhadapan dengan meja sebagai sekat.

“Aku ingin menjelaskan kepergianku padamu, Bar.”

“Hmm, katakan!”

“Jadi, kau tahu paman dan bibi membawaku bersama mereka. Itu bukan semata aku ingin, tetapi aku terpaksa. Anggap saja mereka membeliku dan memberi sejumlah uang pada keluarga kita. Aku terpaksa pergi demi kamu, Bar.”

“Aku? Yakin?”

Juno mengangguk, ia berdiri.

“Terserah kau mau percaya atau tidak, misiku sudah selesai. Kau sudah bahagia tanpaku jadi aku rasa aku akan pergi.”

Baari berlari ke arah Juno, tangannya meninju perut membuatnya kesakitan. Mata merah melotot, menunjukkan ketidaksukaannya.

“Kau ini! Mudah sekali ya menghancurkan kembaranmu sendiri! Kau menghilang dan sekarang kau akan pergi setelah menemuiku.”

“Memangnya kehadiranku masih diperlukan? Kau sudah punya duniamu sendiri!”

“Kau ini! Aku merindukanmu!”

Baari memelukku erat, ia meletakkan kepala di bahu Juno. Tidak peduli orang menganggap mereka sebagai dua makhluk aneh atau apapun, ia ingin melepaskan semua beban tak kasat mata yang menggelayut selama ini.

“Aku tidak akan pernah mengizinkanmu pergi lagi!”

“Sudah posesif, huh?”

“Kau! Jangan bicara seakan-akan aku tidak normal!”

“Kau memang tidak normal, Bar!”

“Lo! Kau kembaranku! Kau juga sama aneh!”

“Ya deh! Gue aneh dan gue bakalan hidup menemani orang aneh hingga ia memiliki kehidupannya sendiri.”

“Kau serius?”

“Iya, Bar. Iya. Aku tidak akan pergi lagi, aku menyesal dengan kepergianku membuat hari-harimu berubah drastis menjadi seseorang yang tidak aku kenal.”

“Kalau gitu kopermu mana?”

“Aku pakai bajumu saja.”

“Heh! Untung lo kembaran gue!”

Juno tertawa renyah melihat Baari melunak, ia merasa lega kembarannya mau kembali menerimanya.

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.