Kesedihan Rara - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Kesedihan Rara

karya: Barokah


Mutiara Kharisma Lala, gadis pendiam yang jauh dari kata manja itu harus rela melepas kedua orang tuanya yang akan terbang ke Jepang karena harus mengurus bisnisnya selama setahun. Gadis yang kerap disapa Rara itu terus memeluk sang bunda seakan tak ada hari esok. Sementara sang bunda hanya mengusap pelan rambut anak sematawayangnya dengan sayang.

“Jaga diri baik-baik, Sayang. Bunda gak bisa nemenin kamu belajar lagi selama setahun ini. Kamu baik-baik di rumah budhe Wati, ya.” Rara mengangguk dalam pelukan bunda.

Ajeng— bunda Rara melepas pelukannya dan mulai merapikan rambut puterinya yang tergerai panjang sampai dada. “Jangan nakal, jangan nyusahin. Bunda sama Ayah berangkat dulu.”

Aldi— ayah Rara memeluk singkat puterinya seraya mencium keningnya dengan sayang. “Kalau butuh apa-apa, minta sama budhe Wati atau mas Rangga. Tapi jangan terlalu ngerepotin, Sayang. Bunda sama Ayah berangkat dulu. Jaga diri, oke.” 

Rara kembali mengangguk yang kemudian disusul dengan kepergian kedua orang tuanya yang memasuki Taksi dan melaju pergi. Menyisakan Rara sendirian di depan rumah budhenya. Rara menunduk menatap sepatu sekolah yang masih melekat di kakinya. Tak sadar jika sebuah mobil baru saja memasuki garasi dan mengeluarkan isinya. Seorang wanita paruh baya dengan kemeja kantornya menghampiri Rara yang masih menunduk dengan jari-jemarinya yang saling bertautan. 

“Sayang, ayah sama bunda udah berangkat?” tanya Wati.

Rara mendongak menatap wajah budhe dengan polosnya lalu tersenyum singkat. “Sudah, Budhe. Baru aja.” 

Wati tersenyum lantas merangkul pundak Rara dan diajaknya masuk ke dalam rumah. Mereka duduk berdampingan di sofa ruang tamu dengan Wati yang terus merangkul bahu Rara. Wati tahu, jika keponakannya itu pendiam. Tapi tak pernah ia melihat keponakannya terdiam dengan pandangan yang sulit ditebak. 

“Rara mau makan siang dulu?” tanya Wati yang melihat Rara menunduk menatap sepatu merah mudanya itu. Rara menggeleng pelan tanpa berniat membuka suara ataupun kembali menatap budhe. 

Wati hanya menghela napas pelan. “Ayah sama bunda hanya pergi selama setahun. Dan selama mereka di sana, kan di sini ada Budhe dan juga mas Rangga. Rara jangan sedih begitu, Budhe sedih lihatnya.”

Tak ada tanggapan, hanya suara jarum jam bergerak yang menghiasi keheningan mereka. Lagi-lagi Wati hanya bisa memakluminya. Karena keponakannya ini memang sangat pendiam ditambah dengan kedekatan antara mereka yang hampir tak pernah ada. Bukan karena Wati yang tak ingin berinteraksi lebih, malah Rara yang memilih untuk tak ingin bersosialisasi dengan orang banyak termasuk budhe dan sepupunya. Rara memang sangat pendiam. Bersama kedua orang tuanya pun kadang masih pendiam. Apalagi dengan orang lain. 

“Rara, kalau kamu memang merasa sedih, ungkapkan! Kalau kamu tidak ingin ayah sama bunda pergi ke Jepang, cegah mereka! Tapi kalau kamu hanya diam dan gak ngomong apapun, itu malah akan membuat Budhe juga ikutan sedih. Karena Budhe gak tahu apa yang kamu rasain.” Jelas Wati.

Masih belum juga ada tanda-tanda Rara akan merespon. Hanya jari-jemarinya yang bergerak gelisah dalam tautan. Wati beralih mengusap rambut panjang Rara sampai punggung dengan lembut seraya tersenyum hangat. “Nggak mau cerita sama Budhe? Sampai kapan mau disimpen sendirian?”

Untuk sekarang mungkin Rara sedang tidak ingin diganggu dan ingin untuk sendirian. Wati mengalah dengan mencium puncak kepala Rara seraya berbisik, “Kalau siap cerita, bilang sama Budhe. Budhe pasti dengerin kok. Tapi jangan sampai sesuatu itu disimpan terlalu lama jika itu membebani pikiran kamu, Sayang.”

Setelah mengucapkan itu Wati berjalan pergi meninggalkan ruang tamu yang hanya menyisakan Rara duduk sendiri dengan posisi yang sama. Menunduk menatap sepatunya. Rara sebenarnya ingin mengungkapkan segala keluh kesahnya. Namun ia bingung harus memulainya dari mana, terlebih dirinya sendiri memang bukan tipe orang yang suka bercerita. Bercerita dengan sang bunda saja ia bahkan tak pernah. Apalagi dengan budhenya yang notabene masih keluarganya. Rara mendongak dan menatap sekelilingnya. Ruangan yang tak pernah ia pijak setelah lulus Sekolah Dasar hingga sekarang yang duduk di menengah atas, kali pertamanya setelah bertahun-tahun. 

Dan tak pernah berubah. Hanya posisi sofa dan meja yang berubah. Banyak kenangan yang tersimpan di rumah itu. Kenangan ketika untuk pertama kalinya Rara memiliki hangatnya keluarga yang lengkap. Namun, di rumah itu pula Rara kehilangan kehangatan itu secara perlahan. Yang membuat pribadi Rara menjadi seperti sekarang ini. Rara masih meneliti apapun di sekelilingnya sampai akhirnya Rara berdiri dan berjalan menaiki tangga satu persatu. Tangannya kian erat saling menggenggam saat gugup melandanya. Ia berhenti di depan sebuah pintu kayu bercat putih dengan knop berwarna kuning keemasan. Tangan gemetar Rara terangkat untuk mengetuk pintu itu. Dengan ragu, Rara mengetuknya pelan.

Tok tok tok.

Tak butuh menunggu waktu lama, Wati membukakan pintu dengan senyum yang terulas lebar menghiasi wajahnya yang mulai menua. Wati tersenyum begitu lebar seraya menggiring Rara untuk masuk dan duduk di tepi kasur. “Sudah siap cerita, Sayang?” tanya Wati yang begitu antusias. 

Rara mengangguk sekali dengan pandangan lurus ke depan. Tatapannya begitu menyiratkan akan kesepian yang mendalam. Begitu sangat membutuhkan seseorang untuk selalu mendampinginya agar tak merasa sendiri. Rara tersenyum tipis, sangat tipis. “Dulu, Rara seneng bisa tinggal bareng Budhe, mas Rangga, ayah, sama bunda. Rara ngerasain hangatnya keluarga di sini. Rara nyaman di sini. Rara bahagia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang peduli sama Rara. Begitu menenangkan, seakan Rara benar-benar aman jika bersama kalian. Hingga kami pun pindah. Pindah hanya di seberang jalan sana. Tapi, itu menciptakan jarak yang abadi buat Rara,” Rara menghentikan ceritanya karena merasakan matanya yang mulai berkaca-kaca. Ia menghapusnya pelan lalu melanjutkan ceritanya di saat tangan Wati terulur untuk mengusap punggung Rara dengan maksud memberikan kekuatan untuk dirinya. 

“Setelah pindah, semuanya berbeda. Semua tampak asing. Tak hangat dan tak senyaman dulu. Ayah sama bunda udah berubah. Mereka seperti bukan orang yang Rara kenal. Saat itu Rara mencoba untuk mengerti dan memahami jika mereka sedang sibuk. Namun, kesibukan itu tak pernah berakhir hingga sekarang. Rara ngerti, mereka kerja juga buat kebaikan Rara nantinya. Tapi, perhatian sekecil apapun dari mereka pun Rara juga membutuhkannya.” Rara menoleh ke arah budhe yang duduk di sebelahnya. 

“Apa salah jika seorang anak menginginkan perhatian dari orang tua mereka, Budhe? Apa salah jika Rara menganggap ayah sama bunda gak peduli sama Rara? Apa salah jika Rara diam selama ini karena memang tidak ada hal yang penting untuk dibahas menurut mereka?” Suaranya mulai parau hingga membuat Wati dengan sigap merengkuh tubuh Rara. Wati mengusap pelan punggung Rara sampai bahu Rara perlahan bergetar dan suara isakan juga perlahan muncul. Wati semakin mengeratkan pelukannya dan terus mengusap punggung Rara.

“Tumpahkan semuanya! Jangan sampai ada yang tersisa, keluarkan! Budhe masih dan akan selalu di sini saat kamu seperti ini, Sayang.” Dan tangisan Rara semakin menjadi saat mendengar penuturan Budhenya hingga perlahan membalas pelukan Wati tak kalah eratnya. Rara menumpahkan air matanya di pelukan hangat Wati. Rara benar-benar merasa kehilangan saat kedua orang tuanya memilih untuk pergi keluar negeri selama itu. Meski di rumah pun mereka minim interaksi, setidaknya mereka masih sarapan dan makan malan bersama di rumah. Sementara sekarang, sekedar untuk melihat rutinitas hari mereka pun tak bisa. Rara telah lama merasa kehilangan. Dan sekarang, Rara harus merasakan pahitnya hidup dengan merasa kehilangan lagi. Perlahan tangisan Rara mereda. Wati yang menyadarinya langsung melepas pelukannya dan memberikan pertanyaan lewat kesempatan ini. 

“Ayah sama bunda gak kasih perhatian ke Rara?” tanyanya.

Rara menyeka air matanya hingga tak tersisa sedikitpun di wajahnya. Rara kembali menunduk dengan tangan yang kali ini menggenggam rok abu-abunya kuat. Seakan ia melampiaskannya dengan cara itu. Hanya itu. Wati menggenggam tangan kiri Rara memberi kekuatan padanya. Memberi kehangatan yang selama ini tak pernah diberikan kepadanya. 

Wati tersenyum seraya berkata, “Budhe nggak tahu kalau setelah kalian pergi dari rumah ini, kamu akan sangat menderita seperti ini, Sayang. Budhe juga nggak tahu kalau ternyata ayah sama bunda kamu gak kasih perhatian kecil ke kamu. Ini pasti berat buat kamu.” 

Wati beralih mengusap rambut panjang Rara. “Sekarang ada Budhe sama mas Rangga yang selalu nemenin kamu. Jangan sedih lagi, ya.” Rara masih diam. Kembali ke mode awal. Hening. 

Wati sedang berfikir, mencoba menguak seluruh yang dipendam oleh keponakannya selama ini. Kesedihan, kesepian dan kurangnya kasih sayang menjadi poin utama yang masuk ke otak Wati tentang Rara. “Kenapa lagi, Sayang?” tanya Wati dengan penuh kelembutan.

“Mereka pergi, Budhe. Mereka ninggalin Rara sendirian di sini. Mereka nggak sayang sama Rara. Mereka pergi.” Isakan terdengar saat Rara berucap. Mengundang Wati yang sekali lagi meraih tubuh Rara dan direngkuhnya dengan hangat. Rara menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya seraya terisak di sana. Wati hanya bisa menghela napas seraya terus mengusap punggung Rara agar sedikit lebih tenang. 

“Rara nggak tahu apa salah Rara, sampai mereka milih ninggalin Rara sendiri di sini. Rara nggak pernah nakal, Budhe. Rara selalu nurutin apa yang mereka mau. Tapi kenapa tiba-tiba mereka ninggalin Rara? Apa salah Rara?” Isakan terus keluar dari bibir Rara. Wati sungguh tidak tega melihat keponakan yang sudah dianggap anaknya sendiri itu menangis karena hatinya terluka. Isakannya membuat Wati tersengat ingin ikut menangis juga. Wati berkali-kali menciumi puncak kepala Rara karena merasa keponakannya sudah sangat menderita. Dan sekarang, penderitaan itu pun bertambah semakin besar. Wati tak kuasa menahan air matanya yang ikut mengalir karena baru tahu akan penderitaan keponakannya itu. 

“Ini salah Budhe. Harusnya Budhe bisa luangin waktu untuk berkunjung ke rumah. Harusnya Budhe lebih sering jengukin Rara biar Rara ngerasa ada yang peduli. Ini salah Budhe, Sayang. Maafin Budhe.” Wati merasa bersalah karena ikut memberi penderitaan pada Rara. Rara perlahan menurunkan kedua tangannya dan melerai pelukan mereka. Rara menggenggam erat tangan Wati yang masih menangis seraya menunduk itu.

“Budhe nggak salah. Ini bukan salah Budhe.” Ucap Rara seraya menggeleng membantah ungkapan budhenya. Rara semakin erat saat tangisan Budhenya semakin pecah yang mengharuskan Rara memeluk tubuh Wati. Rara mengusap punggung Wati seperti yang dilakukan Wati padanya. Lama mereka saling memeluk, perlahan Wati bisa tenang dan mengusap air matanya. Rara melepas pelukannya seraya tersenyum hangat kepada Wati. Sesuatu yang menakjubkan bagi Wati karena tak pernah melihat senyum itu setelah bertahun-tahun. 

Wati menangkup wajah cantik Rara seraya tersenyum lembut ke arahnya. “Satu tahun ini, kita mulai semuanya dari awal. Kita ulangi semuanya. Kita buat kenangan yang nggak terlupakan. Entah Rara masih di sini atau sudah keluar dari rumah ini. Yang terpenting, kamu harus bahagia selama berada dalam tanggung jawab Budhe. Siap?” Rara mengangguk antusias seraya tersenyum lebar. Wati pun merentangkan kedua tangannya lebar-lebar bermaksud agar Rara mau memeluknya.

Kesibukan orang tua dalam bekerja memang hal yang diwajibkan. Apalagi untuk masa depan anak-anaknya yang cerah. Orang tua wajib memberikan kebutuhan ekonomi kepada anak-anaknya. Namun, sibuk bekerja tanpa memperhatikan anaknya pun juga sia-sia. Mereka tidak tahu jika anak mereka membutuhan kasih sayang dan perhatian yang lebih dari mereka. Minim interaksi. Jarak terbentang ketika masalah komunikasi saja mereka pilih-pilih. Tak hiraukan perasaan dan kebutuhan selain ekonomi anak-anak. Komunikasi adalah hal yang sangat dianjurkan untuk mengikis jarak di antara keluarga. Dan komunikasi pula adalah hal yang harus dibiasakan dengan keluarga agar saling memahami satu sama lain."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.