JIKA AKU TAK PERNAH MENJADI APA-APA - Kumpulan Puisi

 








Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu puisi dari peserta Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Net 24 Jam. Puisi ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Lembayung". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html


Untuk melihat data peserta silakan kunjungi website www.net24jam.com

Selamat Menikmati puisi di bawah ini:


 "(1)

JIKA AKU TAK PERNAH MENJADI APA-APA

Jika aku tak pernah menjadi apa-apa

Maka jadikanku sebagai bunga atau langit

Bagimu, kan ku turunkan hujan mawar setiap pagi


Jika aku tak pernah menjadi apa-apa

Maka jadikanku sebagai puisi atau memori

Pupusku, kan ku kenang kau selalu dalam bait-bait sepi


(2)

TAK SESEDERHANA SAPARDI

Bila aku mencintaimu tak sesederhana Sapardi,

apakah aku ‘kan jadi tungku tanpa api, seperti Rendra?

Bukankah itu kamu, yang membiarkan langit

menurunkan hujan bulan Juni?


Bila aku mencintaimu tak sesederhana Sapardi,

apakah aku ‘kan merdeka tanpa cinta, seperti Rendra?

Bukankah itu kamu, yang merangkai bunga

dan berkata “yang fana adalah waktu?”


Lantas siapa binatang jalang disini?

Aku, Chairil, atau kau?


(3)

UNTUK MIMPI; BAGAIMANA CARA MENJEMPUTMU?

Aku takut bila aku yang belum siap,

menjemputmu sepagi ini, tanpa melewati malam panjang penuh ambisi

Aku takut bila kaulah yang tak tercipta untukku, 

dan ternyata seisi kosmopolis menghendakiku ‘tuk hanya menjadi penikmat.


Aku takut bila mendengar deru bumi yang lantang,

kedengarannya ada miliaran langkah kaki yang melaju mantap dengan gagah,

dan aku disana... tertinggal jauh sembari menyeka peluh

Aku takut, sungguh, bila tak ada lagi tempat untukku.


Aku juga takut bila malam menerjang,

sesaat dunia gelap, maut seakan merenggut ragaku ini hingga susut dalam sepi,

hingga tak ada lagi matahari ‘tuk ku kagumi nanti sembari bermimpi.


Bila semua ketakutan itu mendarat benar, maka beritahu aku.. 

Bagaimana cara menjemputmu?

Dapatkah aku meraihmu yang terlalu tinggi itu,

dengan pijakanku yang terlalu membumi ini?


Manado, April 2021


(4)

KETIKA PEREMPUAN TAK LAGI RAPUH

Semua memang tak utuh dan takkan pernah utuh, puan.

Seperti ranting-ranting yang ringkih dan daunnya yang hampir layu,

seperti piringan hitam yang putus-putus lagunya,

atau s’perti radio tua yang patah antenanya.


Tunggulah, hingga kesederhanaan 

‘kan membentukmu menjadi biasa-biasa saja.

Menikmati dunia yang penuh warna, mengambil dirimu

yang dahulu diculik oleh bayang-bayang kelana,

dan memberi arti pada s’tiap peristiwa.

Bahwa dunia tanpamu, hambar juga rasanya.


Ketika perempuan tak lagi rapuh,

Dunia ‘kan jadi warna-warni.

Mari kita lihat nanti, 

Lelaki akan menangis pada pundaknya.


(5)

NADA-NADA DUKA

Di luar ku dengar suara hujan

Ataukah ini suara kerinduan?

Jutaan jiwa terluka t’lah menyampaikan

pesan hatinya pada langit


Nada-nada duka yang rumpang

Luka-luka yang meraung lantang

Kecemburuan sebanyak konstelasi bintang

Diwakili hujan di waktu petang


Di luar ku dengar suara hujan.

Ups, bukan. Ini suara kerinduan."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.