HILANGNYA CINTA PERTAMAKU - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


HILANGNYA CINTA PERTAMAKU

Karya : Nailazaara Senjani


“Eh iya Senja, aku sangat bersyukur banget karena Ayah mau bela-belain datang dari Amerika untuk datang ke pernikahanku esok hari,” celetuk Tami disela-sela kami menikmati angin sore di pesisir pantai yang kini menyapa wajah kami berdua.

Aku, yang memiliki nama Senjani Azalea atau biasa dipanggil Senja, hanya bisa tersenyum segaris menanggapi ocehan Tami – teman kecilku, yang nampak girang karena esok adalah hari spesial dalam hidupnya – pernikahan.

“Syukurlah Ayahmu mampu mengorbankan waktu demi anak kesayangannya,” imbuhku alakadarnya.

“Kalau ayahmu, sekarang dimana?” Tami bertanya sambil menolah kearahku.

“Ayahku?” gumamku sambil mengukir senyuman segaris kepadanya.

Indahnya lembayung serta hangatnya sinar mentari yang menyoroti wajah bulatku, membuat pikiranku melayang pada 5 tahun yang lalu, dimana keindahan lembayung senja ini menjadi sangat kelam – dimataku. Benar-benar titik terendah dalam hidupku.

Seakan baru terjadi kemarin sore, ingatan itu masih terasa hangat dalam pikiran dan perihnya masih menggores hatiku.

Masih sangat terngiang dalam ingatanku, banyak orang-orang mengatakan kalau cinta pertama dari seorang anak perempuan adalah Ayah. Tapi entah mengapa, bagiku tidak sama sekali.

Aku yang masih duduk di kelas 4 Seolah Dasar, harus menelan fakta kalau Ibu sedang tidak baik-baik saja karena berusaha menyembunyikan suatu fakta kepada anak-anaknya.

Ibuku adalah sosok terkuat yang pernah aku miliki, karena dia mampu menahan fakta yang sangat menyakitkan sampai aku duduk dibangku kelas 3 Sekolah Menengah Akhir. 

Hebat bukan?

Kalimat yang ibu lontarkan di ambang pintu kamarku, seolah mampu meruntuhkan duniaku seketika. “Ayah sama Ibu sudah bercerai karena Ayah berselingkuh dan menikah sirih. Itulah mengapa alasannya Ayah menjadi jarang pulang kesini dan tidak pernah mengirim uang bulanan lagi.”

Kecewa? Tentu saja. Marah? Apalagi. Anak mana yang tidak marah jikalau sebuah fakta sebesar itu, harus ditimbun dengan sangat rapih selama bertahun-tahun.

Lantas, apa yang aku lakukan? Tentu saja aku mengurung diri di kamar. Apa nilai sekolahku aman? Tentu saja tidak. Apalagi aku akan melaksanakan Ujian Nasional.

Dunia memang gila! Benar-benar gak adil!

Aku melampiaskan kekesalan dengan terus menatapi senja di tepi pantai seorang diri. Suka benci rasanya jikalau melihat ada sekeluarga yang sedang berkunjung ke pantai. Iri? Jelas aku iri. Iri karena keluargaku tidak bisa merasakan hal itu – lagi.

Bolehkah aku merasa iri dengan kalian yang bisa bermanja-manja dengan ayahnya?

Aku yang harus lulus sekolah dengan nilai yang memuaskan setelah apa yang telah terjadi dalam keluarga yang aku percayai bahwa kami keluarga yang paling bahagia dengan materi yang tercukupi. Tetapi faktanya tak seindah apa yang dibayangkan dalam benak.

Setelah kelulusan Sekolah Menengah Atas, aku memutuskan untuk merantau ke kota kecil jauh disana. Hal yang pertama dalam benakku hanya satu, tak ingin di rumah. Karena seketika suasana rumah seperti neraka. Umpatan serta kutukan untuk Ayah, terlontar begitu saja tanpa kenal waktu.

Jengah? Tentu saja, itulah alasan aku ingin melanjutkan pendidikanku di perantauan. Bahkan ketika merantau pun, aku dijuluki anak kurang ajar karena merantau tidak memandang kondisi ekonomi keluarga.

Yap benar, perekonomian keluarga benar-benar jatuh karena Ibu hanya Ibu Rumah Tangga biasa yang tidak memiliki pekerjaan. Kakak? Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya. Sedangkan aku masih memiliki dua adik yang bersekolah.

Kehidupan mewah kami, langsung berubah seratus delapan puluh derajat dalam seketika. Dan aku mendapat kabar kalau Ayah langsung mengambil pensiun dini 

di pekerjaannya demi wanita itu. Nasib kami? Tentu saja tidak diberi bagiannya dan harus banting tulang dari nol untuk bertahan hidup.

Aku pikir dengan merantau, aku bisa lari dari tekanan di rumah. Ternyata aku salah. Justru aku mendapatkan tekanan berkali lipat disana. Permasalahannya hanya satu, keuangan. Hanya karena itu, nilai kuliahku kembali turun. Bahkan sangat tertinggal.

Mengutuki keadaan? Sering. Menyerah? Hampir. Tetapi aku berusaha untuk terus berdiri dan berjalan, memperbaiki apa yang sudah aku putuskan dengan nekad. Berusaha menguatkan diri sendiri untuk terlihat baik-baik saja demi dunia.

Caraku untuk menguatkan diri seperti apa? Tentu saja dengan mengisi waktu luang dengan mengikuti beberapa organisasi kampus sampai aku tidak memiliki waktu untuk beristirahat. Dan cara itu cukup ampuh untu mengalihkan kerapuhan diri dalam kesendirian.

Waktu terus berlari sampai tidak memberiku untuk beristirahat sejenak. Tekanan demi tekanan yang aku pikul demi keluarga, perlahan menjadi hal biasa dalam benakku.

Lelah? Aku bahkan tidak mengenal lagi kata lelah. Yang aku pikirkan hanyalah, aku lulus dan menjadi wanita karier.

Tetapi, pikiran nyatanya tidak sebanding dengan realitanya. Ditengah jalan, aku bahkan sering merindukan sosok Ayah. Menangis dalam hampanya ruang kosan yang berukuran hanya 3x4 meter. Bahkan aku dibilang terlalu baik hati karena masih memikirkan sosok Ayah yang telah mengkhianati kami dan menelantarkan kami begitu saja tanpa bekal materi.

Yang aku pikirkan saat itu adalah, dia pasti memililki alasan mengapa bisa meninggalkan kami, bahkan menelantarkan kami.

Bodoh? Entahlah, mungkin iya. Tapi apa salahnya merindukan Ayah sendiri? Aku bahkan sering bertanya pada diri sendiri mengenai hal itu.

Puk!

Satu tepukan ringan mendarat dibahuku dan mengembalikan kesadaranku saat itu juga.

“Tami, are you okay?” Tami bertanya padaku. Mendengar dari nadanya, sepertinya dia khawatir.

“I’m fine.” Aku menjawab dengan senyuman tulus, karena memang sekarang aku sudah 

baik-baik saja. Aku sudah melampaui massa itu.

“Ayahku ada kok, sudah bahagia dengan pilihannya,” jawabku alakadarnya, karena sejujurnya aku tak tahu dia sekarang dimana dan bagaimana kabarnya.

“Aku yakin, kamu pasti kuat. Karena Senja yang aku kenal adalah Senja yang berani dan mempesona. Sama seprti senja sore hari ini.” Ucapan Tami terdengar tulus dan memberi efek menghangatkan dalam hatiku. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya.

Tiba-tiba ada suara dering panggilan yang berasal dari gawaiku, lantas aku langsung menjawabnya.

“Senja, cepatlah pulang. Kakek...” Hanya dari kalimat itu, aku langsung paham kemana arah pembicaraannya.

“Oke, Senja pulang sekarang,” jawabku langsung beranjak dari duduk dan langsung memutuskan sambungan telepon.

“Sorry banget ya, Tami. Aku pulang dulu,” pamitku menepuk tunggal bahu Tami sebelum pergi. Tami yang paham, langsung mengizinkanku untuk pulang duluan.

Ketika sesampainya di rumah kakek yang kebetulan dekat dengan rumahku dan juga pantai yang baru saja aku kunjungi, aku langsung bisa melihat kalau Kakek terlihat menahan sakit di dadanya, karena memang kakek sudah sakit lama.

“Senja, kakek dari kemarin membahas tentang Ayah terus. Apa yang harus kita lakukan?” ungkap Zara – kakak kandungku, yang mengakhiri laporannya dengan sebuah pertanyaan.

Berhubung kami semua memang sudah sangat jarang berkomunikasi dengan Ayah, jadi aku sedikit bingung ketika diberi pertanyaan itu. Karena memang selama ini, kami berkomunikasi dengan Ayah hanya dengan melalui ku saja. Entahlah alasannya apa.

Aku duduk disamping kakek, manik mata kami bertemu dan itu cukup lama. Entah mengapa ketika menatap manik mata yang sayup itu, menguatkanku untuk menelepon Ayah. Seolah matanya berkata, ‘Ayo telepon sekarang’.

Akhirnya, aku memberanikan diri untuk melakukan video call dengan Ayah. 

Dan hola...panggilan tersambung. Padahal gak pernah tuh Ayah mengangkat video call dari kami. Ajaib!

“Wara! Kemana saja kamu, hah? Kenapa pergi begitu saja meninggalkan anak-anak serta istrimu?” Kakek langsung melontarkan amarahnya dalam suara yang parau, khas orang tua yang sedang sakit parah.

“Maaf Kek, gak ada uang buat kesana. Nanti kalau ada rezeki, Wara kesana. Maafin Wara, Kek.” Hanya itu yang Ayah lontarkan ketika mendengar kalimat Kakek yang sebetulnya telah aku terjemahkan karena kosa katanya yang kurang terdengar jelas.

Aku pun bertugas menyampaikan ucapan Ayah kepada Kakek, karena pendengaran Kakek yang sudah terganggu.

Ajaibnya, Kakek langsung memaafkan Ayah ketika aku bilang kalau Ayah meminta maaf dengan tulus dan menyesal. Dan panggilan terputus begitu saja.

Tak memakan waktu lama setelah bertelepon, tiba-tiba Kakek menghembuskan napas terakhirnya. Sosok laki-laki tangguh yang mengajarkan cucu-cucunya, kalau melapangkan hati untuk memanfaatkan orang itu tidak ada ruginya.

Haruskah aku melakukan hal yang sama terhadap Ayah, setelah apa yang telah terjadi? Karena Ayah pula, aku pernah berada di titik terendah dalam hidupku. Bahkan aku hampir ingin menyerah.

Dan kini Ibu, kehilangan cinta pertamanya yang telah ia rawat setahun belakangan ini pada saat Kakek sakit keras.

Kehilangan cinta pertama bagi anak perempuan, itu benar-benar menyakitkan dan meruntuhkan segalanya. Baik itu karena di panggil Sang Kuasa, maupun diambil oleh orang lain yang tidak bertanggungjawab.

Aku hanya ingin mengatakan, terima kasih Kakek sudah mau merawat kami semua. Tenanglah disana.

Dan untuk Ayah, aku merindukanmu. Apakah Ayah akan datang ketika Angga – kekasihku, melamarku dalam waktu dekat ini? Apakah Ayah akan datang ke pernikahanku, seperti Ayah Tami yang bela-belain dari Amerika – Indonesia hanya karena ingin menyaksikan putri kesayangannya di pinang oleh laki-laki pilihannya?

Apakah Ayah akan membiarkan moment spesialku terjadi begitu saja dalam kehampaan, seperti yang ayah lakukan pada Kak Zara? Karena, kehilangan cinta pertama bagi anak perempuan itu, sangatlah tidak mengenakan, Ayah. Percayalah! Apalagi kalau ceritanya diambil oleh orang lain dan menghancurkan keluarga kita.

Sekarang kami, sudah bisa bangkit tanpamu. Aku, kini menjadi penulis. Profesi yang pernah Ayah cela.


Ciamis, 13 November 2021"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.