TANPA JUDUL - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 TANPA JUDUL

Karya : Masyitah


Aku sedang berkutat dengan sebuah Laptop di hadapanku, mencari ide menarik  untuk novel yang sedang kutulis. Semburat senja terlukis indah di langit kota Istanbul. Suasana yang tenang, damai dan menawan. Sekarang disinilah aku, di sebuah negara yang terletak di antara dua benua, Turki. Aku duduk sendiri di sudut sebuah kafe yang terletak di Akbiyik Street. 


Sambil menikmati minumanku, aku hanyut dalam tulisanku. Kata demi kata aku susun dengan apik saling menguntai membentuk kalimat indah hasil dari ide-ide yang terus sahut menyahut dalam kepalaku. Menintaku untuk segera mengeluarkan mereka dalam sebuah tulisan yang aduhai. Jemariku terus menari di atas keyboard hingga sebuah suara menarik perhatianku.


“Meongg... Meongg...,” suara seekor kucing yang saat ini sedang bergelanyut manja di kakiku. Istanbul memanglah sebuah kota yang terkenal sebagai surganya kucing liar. Masyarakat kota ini sangat mencintai hewan tersebut.


“Hai... apa yang kau lakukan?” tanyaku pada kucing tersebut.

“Meongg... Meongg.... Meong,” jawabnya, seolah mengerti dengan pertanyaanku.

Kuraih kucing itu dan kubawa ke dalam pangkuanku. Aku adalah seorang pecinta kucing. Bahkan kucing di rumahku berjumlah lebih dari lima ekor. Mereka hanyalah kucing liar yang datang ke rumahku untuk sekedar mencari makanan. Akan tetapi karena kami memperlakukan mereka dengan baik, maka mereka betah berada di rumahku. Sekarang rumahku adalah tempat ternyaman untuk para kucing liar tersebut.


“Hai boy, siapa namamu?” tanyaku lagi.


Dari pengamatan ku, kucing tersebut bukanlah seekor kucing liar, karena kucing itu cukup bersih dan terawat. Ku lihat nametag pada kalung hewan menggemaskan itu. Abby, nama yang tertera disana.

“Namamu Abby?”

“Hai Abby, namaku May? Apa kau tersesat? Dimana pemilikmu?”

“Meong....” jawabnya. Lagi-lagi dia menjawab pertanyaanku.

Kucing ini sangat lucu dan menggemaskan. Matanya berbinar menatap kearahku seakan mencari perlindungan disana.

“Baiklah, kau boleh duduk disini menemaniku. Lagi pula aku sendirian. Kau lihatkan, disekeliling kita semua orang mempunyai teman, hanya aku yang seorang diri. Mungkin sore ini kau memang ditakdirkan Tuhan untuk menemaniku,” aku berbicara pada Abby sambil mengedarkan penglihatanku melihat orang-orang di sekelilingku. Ya, benar. Hanya aku yang sendirian.


“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang yang kesepian?”

“Meongg....,” dia terus saja menyahutiku dengan suara khasnya dan tentunya hanya dia dan Tuhan yang paham.

“Kucing pintar. Baiklah kawan, kau boleh duduk di sebelahku. Temani aku. Mungkin saja pemilikmu sedang mencarimu. Jika dia melewati jalan ini, dia bisa melihatmu,” ku pindahkan kucing tersebut tepat di kursi sebelahku.


Abby pun menjilati tanganku. Mungkin dia sayang padaku atau dia nyaman bersamaku.

“Kau sangat pintar. Apa pemilikmu pintar sepertimu?” tanyaku dengan senyum yang terkembang di wajahku.


Aku melanjutkan kembali kegiatanku yang tertunda beberapa menit yang lalu karena kedatangan teman baru. Kembali fokus pada tulisanku sambil sesekali mataku mengamati Abby. Dia tertidur. Begitulah kucing, hewan yang mampu tidur sampai enam belas jam dalam sehari. Aku hanyut pada kegiatanku, tanpa ku sadari ada seseorang yang datang kearahku. Suaranya memecah konsentarsiku. Lagi.

“Maaf, apakah dia kucingmu?” tanya seorang laki-laki yang telah berdiri tepat di hadapanku.


Aku menoleh kearah sumber suara tersebut. Mataku terpaku menatap sosok yang sekarang sedang menatapku. Seorang laki-laki bermata hazel, tubuh yang cukup tinggi dan tentu saja dia tampan. Untuk beberapa detik aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku hanya menatapnya.

“Apakah ini kucingmu?” tanyanya lagi.

“Bukan. Dia teman baruku. Aku baru mengenalnya beberapa menit yang lalu,” jawabku degan wajah tanpa ekspresi dan tatapan yang terpaku padanya. Aku mencoba menetralkan degup jantung yang memompa tiga kali lebih cepat dari biasanya.

“Oh... berarti dia milikku. Aku kehilangannya beberapa menit yang lalu karena berbicara dengan temanku hingga aku melupakannya” jelasnya dengan panjang lebar.


Laki-laki itu duduk di sebuah kursi kosong yang ada di hadapanku tanpa permisi. Dia meraih Abby kedalam pelukannya.

“Hei boy, kenapa kau tiba-tiba menghilang? Aku mencarimu kemana-mana. Ternyata kau disini bersama seorang teman baru yang baik hati,” katanya pada kucing tersebut sambil matanya tertuju padaku.

Aku menautkan kedua alisku, menatap heran mendengar perkataannya.

“Bukankah kamu seseorang yang baik hati?” seakan paham maksud tatapanku.

“Aku? Baik hati? Kau berbicara seolah-olah sudah mengenalku dengan cukup baik,” jawabku sekenanya dengan niat segera mengakhiri percakapan yang entah untuk apa pada akhirnya.

“Jika kau bukan orang baik, tidak mungkin kau akan memperlakukan Abby dengan baik.”

“Aku hanya melakukan apa yang mungkin kebanyakan orang lakukan. Lagipula dia kucing yang manis, jadi kenapa aku harus bersikap buruk?”

“Itu sama saja artinya kau punya hati yang baik dan tentu saja dia manis. Sama seperti ku,” senyumnya terkembang memperlihatkan deretan giginya yang putih dan tersusun dengan rapi. Menambah kadar ketampanannya meningkat beberapa level lagi.

“Terserah kau saja,” jawabku mengakhiri pembicaraan agar dia segera pergi.


Terdengar suaranya memanggil waiter. Beberapa saat kemudian seorang waiter laki-laki datang ke arah mejaku. Bukan. Meja kami. Karena sekarang aku bersama dia.

“Aku pesan Ice Americano. Kau tidak mau memesan sesuatu lagi?”

“Tidak, terimakasih.”

“Baiklah hanya itu saja,” katanya pada waiter tersebut.


Ingin rasanya aku meminta dia untuk segera pergi dari hadapanku, tapi apa yang dia lakukan sekarang? Dia malah memesan minuman. Jadi maksudnya dia ingin tetap berada disini? Sungguh keadaan yang sangat menyesakkan untukku.

“Aku Reyhan,” dia membuka suara sambil menjulurkan tangannya padaku.

Aku hanya diam. Menatapnya.

“Baiklah jika kamu tidak mau menyambut tanganku, tapi setidaknya kamu maukan mengatakan namamu?” dia menarik kembali uluran tangannya.

“Kenapa aku harus?” jawaban permusuhan aku layangkan.

“Jadi May, kau hanya mau memberitahukan namamu pada Abby?” tanyanya dengan santai bersama senyuman seratus wattnya.

“Bagaimana kamu bisa tahu namaku?”

“Aku mendengarnya saat kau berkenalan dengan Abby.”

“Apa? Kapan?” tanyaku dengan mata yang membola sempurna.

“Kamu tidak tahu bahwa aku dari tadi memperhatikanmu dan Abby dari sana,” tunjuknya kearah yang tidak jauh dari tempat kami sekarang.

“Kalau kamu sudah tahu jika Abby disini, kenapa kamu harus bertanya apakah ini kucingku atau bukan?”

“Agar aku bisa bicara padamu.”

Aku malas menanggapi apa yang dia katakan. Sebenarnya ide untukku menulis telah berserakan entah kemana semenjak kehadirannya dihadapanku.


Seorang waiter datang membawa pesanan minuman miliknya.

Dia menggeser duduknya dan mencoba melihat kearah laptop milikku “Apa yang kau lakukan?”

“Aku sedang menulis?”

“Apa yang kamu tulis?”

“Kenapa kamu sangat ingin tahu?”

“Mungkin saja ada aku disana. Entah itu sebagai pemeran utama atau hanya figuran yang cukup memberi makna.”

Menenggak minumannya, dia tersenyum getir. Senyuman yang tak ingin untuk aku pahami.

“Kamu tidak sedang menulis cerita kita, kan?”

Mendengar kata-katanya dadaku seakan sesak. Ku hela nafas panjangku, “Apakah kita punya cerita yang mengharuskan aku untuk menulisnya?”

“Mungkin. Ada cerita yang tak ingin kamu beri makna.”

“Jika pun ada cerita.....,” aku menjeda kata yang ingin ku ucapkan. “Cerita yang tak akan pernah berjudul apalagi bermakna. Aku tidak pernah tertarik pada kata mungkin.”

“Kenapa?” tatapannya melemahkanku.

Aku tertunduk sejenak, “Aku pernah begitu yakin pada kata mungkin, tapi aku dikalahkan oleh realita, tak ada bahagia disana.”

“Kamu tahu... ada juga beberapa orang yang rela menjadi tokoh dalam sebuah cerita meski itu tanpa judul.”

“Aku tidak tertarik.”

“Bagaimana jika aku memaksa.”

“Maka aku akan menghilang. Pergi dari semua keadaan yang dapat membunuhku dengan perlahan.”

“Tidakkah kamu berfikir bahwa setiap pertemuan adalah takdir?”

“Terkadang takdir hanya meminta kita untuk bertemu bukan bersatu.”

Pandangan kami saling mengunci. Untuk sesaat hening. Itulah yang terjadi. Fikiranku memintaku untuk segera pergi dari tempat ini. Ya, pergi. Sesegera mungkin, agar aku bisa menghirup oksigen dengan bebas tanpa harus bersitatap dengannya.

“Aku harus pergi,” kataku memutus pandangan mata kami.


Aku masukkan kembali laptopku ke dalam tas. Mengambil uang beberapa lembar dan kuletakkan di atas meja untuk membayar tagihan makanan yang aku pesan tadi. Aku siap untuk meninggalkan tempat yang menyesakkan ini. Akan tetapi, kata-kata yang diucapkannya mengunci langkahku.

 “Menikahlah denganku.”

Aku terdiam, tanpa kata. Lebih tepatnya aku sedang menyalahkan keadaan yang mempermainkanku dengan sungguh.

“Aku tidak ingin hidup untuk masa lalu,” jawabku, menyembunyikan sesak yang kembali hadir seperti dulu.

“Mungkin aku juga masa depanmu.”

“Tetaplah menjadi masa laluku. Sehingga kapanpun aku merindukanmu aku bisa memeluk kenangan kita tanpa melukaiku lagi.”

“Tidak bisakah kita menulis cerita baru?”

“Tidak ada lagi lembaran kosong untuk menulis cerita baru.”

Tersenyum. Itulah yang coba aku lakukan.

“Kamu tahu, kamu adalah senja yang menawarkan perpisahan dalam bentuk keindahan tapi juga meninggalkan rindu yang selalu ingin ku tunggu. Aku ingin kisah kita tetap menjadi senjaku.”

Aku pergi meninggalkan masa lalu yang masih sangat ku rindu.

Terimakasih Tuhan. Aku bahagia bisa melihatnya lagi. Tetaplah berdiri disana. Aku ingin tetap mencintaimu tanpa suara."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.