Mengapa Senin Selalu Mengerikan- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "Mengapa Senin Selalu Mengerikan?

Oleh: Amelia Yuliyanti


Srak sruk srak sruk

Srak sruk srak sruk

Suara gesekan dari setrika dan tumpukan sarung mengisi ruangan tengah di pagi hari ini. Tak absen pula, bau menyengat yang bersumber dari dapur. Sepertinya hari ini akan ada tempe gosong lagi. 

“Gan, ambil seragammu!”

“Sudah ku taruh di samping kursi.”

“Cepat mandi Gan, sudah hampir jam setengah tujuh!” kali ini bukan suaraku, tapi suara kakak sulung yang baru pulang membeli bubur ayam.

“Masih lama?” tanya Kak Sani.

“Sudah hampir selesai, tinggal satu potong lagi.” Belum selesai aku berbicara, ia langsung melengos pergi ke dapur.

“Sudah kubilang balik tempenya. Kenapa malah gosong?”

Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Pagi ini omelan kakak lebih singkat, padahal biasanya panjang kali lebar bak persegi panjang. Hari ini tempe kami gosong lagi. Di rumah, tempe adalah salah satu makanan wajib kedua setelah nasi, sebab sedari kecil ibu suka memasak tempe untuk kami. 

“Bubur ayamnya mana?” desak Gani yang tengah memakai dasi warna biru dengan logo sekolahnya.

Aku menatapnya dari atas ke bawah, tak terasa adik bungsu kami sudah tumbuh lebih besar dari kami. Meskipun usianya baru menginjak 15 tahun, akan tetapi tinggi Gani sudah mencapai 165 cm. Kulitnya putih seperti sagu, rambutnya kini agak cepak entah model apa, aku saja yang muda terheran-heran dengan modelnya. Jika ibu melihat penampilan Gani yang saat ini, mungkin ia juga akan terheran-heran. 

Mataku melirik ke arah kanan, tepat di sisi kanan remot tv,  untuk menjawab pertanyaan dari Gani.

“Sudah hampir dingin, cepat makan dan berangkat!” lanjutku, setelah mencabut kabel setrika dari saklarnya.

Hari ini hari senin, hari di mana aku akan melaksanakan tes di suatu sekolah yang berada di  Purwokerto. Sudah dari semalam aku membolak-balikkan buku tebal di depanku, tapi sepertinya tak manjur. Mungkin, akan lebih manjur jika ku bakar lalu meminumnya, sebagaimana anjuran dari teman-temanku dulu. Segala persiapan telah aku siapkan, seperti pensil 2B yang tidak runcing-runcing amat karena memang tidak diraut dan hasil curian. Aah... bukan hasil curian, namun meminjam diam-diam dari tas Gani. 

Kemudian kartu tes, yang sudah dicetak rapi oleh temanku Rafi. Iya, bukan karena nebeng minta diprintkan, tetapi Ayah Rafi memiliki tempat Fotocopy, jadi ya memang lebih baik minta bantuannya. Selain itu, tak lupa dan yang terpenting adalah KTP. Benda persegi panjang berwarna biru yang sangat sangat penting, sebab butuh waktu dua tahun untuk membuatnya. Jika aku mengkredit motor, mungkin waktu cicilannya sama dengan membuat benda biru ini.

“Sudah mau berangkat?” tanya Kak Sani sembari mencepol rambutnya.

“Iya” jawabku sekenanya, karena jam sudah menunjukkan pukul 07.25 dan aku harus jalan kaki menuju jalan utama. Tes akan dimulai jam 12.30, tapi aku dan Rafi memutuskan untuk berangkat jam 07.30. Alasannya bukan agar datang tepat waktu, tapi kami akan mampir terlebih dahulu ke suatu tempat.

“Berangkat kak” aku pun menyalami tangan Kak Sani, tanganya basah dan bau sabun. Sepertinya ia baru saja mencuci baju, sebab hari ini adalah jadwal piketnya. Meski bukan sekolah, akan tetapi di rumah kami ada jadwal piket, yah sebut saja jadwal piket karena fungsinya memang hampir sama seperti piket di sekolah. Adanya jadwal piket ini agar kami bertanggung jawab atas tugas yang seharusnya dikerjakan oleh masing-masing orang, alasan lain adalah agar bisa hidup mandiri. Sepeninggal ibu dan ayah, kami hanya tinggal bertiga di rumah yang kecil namun hangat ini. 

“Hoiii.” Suara Rafi diiringi dengan suara mesin motor yang berhenti.

“Hai bro, are you ready?” tanyaku dengan menaik turunkan alisku.

“Nggak kebalik tuh? hahahaha” sindiran Rafi padaku sembari tertawa dan memegangi perutnya. 

Ya, memang benar pertanyaan itu memang sepantasnya dilontarkan oleh Rafi. Rafi adalah siswa yang berprestasi, berbagai piala kerap ia pindahkan dari tempat lomba ke rumahnya. Pernah sesekali aku ke rumah Rafi, benar-benar seperti toko medali yang ada di dekat pangkalan ojek, meskipun kecil tapi penuh dengan medali dan piala.

“Ayolah gas bro.” lanjut Rafi.

“Gas..”

Perjalanan pun kami lalui dengan obrolan-obrolan khas di atas motor yang jika tidak jelas kita cukup menjawab dengan satu kata, yaitu “hah?” niscaya obralan akan berhenti. 

“Kita langsung ke sekolah ya? katanya mau mampir Raf?” tanyaku sambil sesekali melihat GPS di gawaiku. 

“Belok kanan, lurus terus.""

“Oke bos” ucap Rafi tanpa menjawab pertanyaanku sebelumnya.

“Sudah sampai nih, yok lah.”

Tes pun kami lalui dengan lancar. Ya, meskipun ada sedikit drama salah masuk ruangan dan kesalahan memarkirkan sepeda motor. 

“Jadi mampir Raf?” pertanyaan yang sama kembali ku lontarkan padanya, alih-alih menjawab ia justru memberiku sebuah helm.

“Kita lihat nanti aja, soalnya sudah sore juga nih, terus mau hujan deh.”

“Ya sudah yok lah pulang.” Ku pakai helm pemberian Rafi, tidak seperti perjalanan berangkat, kali ini kami tak butuh GPS. Motor pun mulai meninggalkan sekolah yang saat itu masih cukup ramai, sebab masih ada tes satu sesi lagi.

“Hujannya deras Fi, mending pelan-pelan aja, yang penting kita sampai rumah Fi.”

“Oke” suara Rafi yang terdengar sayup-sayup namun cukup jelas.

Derrrrrrrrrrrrrrrr...

Bukan suara petir, tapi suara motor kami yang meleset ke tepi jalan. Tiba-tiba tubuhku terbang dan terbentur ke batas jalan. Cairan merah mengalir dengan deras dan bercampur dengan air hujan yang saat itu turun dengan deras-derasnya. 

Bukan, bukan dari kepala Rafi, cairan itu berasal dari kepalaku. Kepala yang ku ajak begadang tiap malam untuk belajar soal-soal tes, kepala yang sering dipukul oleh Kak Sani saat aku pulang lebih dari jam 10 malam, dan kepala yang saat ini terbentur, sebab kali ini helmku lepas karena tak nyaman saat memakai mantel hujan. Hari ini adalah pertama dan terakhir aku mengikuti tes SBMPTN. Padahal aku ingin melihat nama “Muhammad Syairaf Aderald” tertera di web SBMPTN dengan bubuhan kata “LOLOS”. Maaf Gani, pensilmu tak sempat ku kembalikan.

Sekarang, akhirnya aku tahu mengapa orang membenci hari senin."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.