Harapan Perawan Tua - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Harapan Perawan Tua

Oleh: Ramli Q.Z.


Sudah berapa lelaki yang telah berani mengutarakan lamarannya kepadamu? Namun aku yakin kau pasti pura-pura lupa siapa saja, intinya hanya ingatanmu yang merekam kepulangan mereka-mereka dari rumahmu

Dan sekarang kau ingin didatangi mereka lagi? Mustahil. Justru mereka lagi sibuk memamah luka sendiri dan mereka telah memberanikan diri menghapus takdir untuk mengunjungi rumahmu.

Di saat terik matahari membentangkan cahaya panasnya, aku justru sering duduk di gardu depan rumah sambil menjaga tembakau yang kujemur takut tiba-tiba hujan mengguyur deras. Biasanya aku sering duduk di teras rumah menjaga tembakau itu dan sambil lalu mengusir ayam tetangga yang sering buang kotoran sembarangan. Tapi sekarang, di sisi teras telah kuberikan jaring kecil berukuran setengah meter lebarnya sehingga aku lebih setia menjaga tembakau yang tinggal beberapa hari lagi untuk dijual.

Meskipun suasana sangat panas seolah meretakkan ubun di kepala dan mampu menyilaukan bola mata, hatiku sangat riang tiada tara ketika memandang lekat barisan rapi jemuran tembakau. Dalam pikirku sempat bercabang-cabang mengenai tembakau itu. Kalau seumpama laku dengan harga mahal akan kubawa berkunjung ke Jakarta pada kedua anakku di sana yang lagi kuliah. Dia berdua akan kubelikan buku-buku bacaan agar dia tidak sama sepertiku, yah, semisal ada sisanya akan kubelikan perhiasan, kebetulan di sana murah daripada di sini.

Masih belum jauh aku berkhayal tentang hasil tembakau itu, tiba-tiba kau datang membawa tatapan datar disertai lambaian tangan seolah lesuh. Aku langsung terpaku memandangmu ketika kau setia menujuku melewati selah-selah jemuran tembakau itu. Ketika tusukan sinar matahari mengenai bening matamu, tiada henti kerlipan selalu terlihat seperti orang bahagia, namun ia tak mampu menjadi tabir yang bersedia menutup tampaknya beban di bahumu.

“Sungguh saya ingin sepertimu memiliki suami, anak, dan cucu, atau bahkan suatu saat nanti disusul cicit.” Desah suaramu ketika hendak duduk seperti rerimbun daun bambu diterpa angin siang.

Serasa tatapanmu mengajakku berbicara

“Saya ingin bersuami agar supaya hidup bahagia.”

Masih kuhafal betul kata itu dalam benakku. Dulu memang pernah sempat kauucapkan saat berumur 18 tahun, paling tepatnya saat kita masih di pesantren. Kini kembali terucap ketika umurmu sudah menginjak 50 tahun.

“Bukankah mulai dari awal ada lelaki melamarmu selalu kau tolak?” tanyaku langsung.

Tiada sepenggal jawaban apapun yang mendarat di telingaku saat pertama kulontarkan pertanyaan itu. Sementara sepasang bibirmu bergetar menyembunyikan bisu.

“Tidak pernah saya menolak lamaran mereka. Sungguh!” begitulah ucapanmu dengan nada membela. “Saya hanya menjawab lamaran mereka bahwa saya masih belum siap. Cuma itu.” Kau menunduk menyembunyikan aliran kecil air mata di pipi keriputmu.

Semasa kecil dulu, waktu kita bermain, kukira kaulah salah satu teman paling penakut apalagi masalah tanggung jawab, hampir semua kau jawab dengan ketidaksiapanmu. Ketika kita di pesantren masih saja tabiat itu semakin mengakar di dadamu bahkan malah menjadi-jadi. Aku sangat ingat saat ustazah pernah memberimu mandat sebagai bendahara kamar, namun kau tolak, kan? Ketika ditanya mengapa menolak, jawabmu pasti kau takut mengecewakan semua teman kamarmu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Masih belum pula aku menemukan tunangan,  tiba-tiba selayar berita kudengar kau telah didatangi lelaki dari luar desa. Dia orang pertama yang mengucapkan lamarannya padamu, namun mengapa kau menjawab tidak siap. Mungkin orangtuamu memaklumi itu karena menurutnya pernikahan bukanlah permainan melainkan harus ada kesiapan lahir dan batin.

Tapi, sejak orang kedua hingga terakhir, jawabanmu justru membuat mereka berdua semakin resah. Dia takut suatu saat nanti kau tetap tidak bersuami alias menjadi perawan tua. Dan pada akhirnya mereka berdua lebih dulu pergi tanpa harus melihatmu bersanding di pelaminan dengan memakai gaun pengantin dan paras yang ayu.

“Tapi mengapa mereka menganggap perkataanmu adalah sebuah penolakan, memang ada yang salah?” tanyaku setelah kau membela diri.

“Mungkin mereka saja, sedangkan saya tidak,” belamu lagi. “Mereka-mereka sangat kujamu dengan baik. Apabila saya ditanya, saya jawab sesuai pilihan hati. Saya sangat takut jika terdiam saja karena pasti menurut mereka diam adalah jawaban iya yang tersirat dalam diri perawan. Iya, kan?” matamu memperlihatkan rasa berat menerima tajamnya hujatan sangkaan itu. 

Di bawah atap gardu kau masih menceritakan panjang-lebar tentang para lelaki yang melamarmu. Mereka semua orang baik-baik, namun kau melakukan mereka secara sama tanpa kau terima salah satunya yang sekiranya kau anggap lebih baik dari lainnya.

Dan katamu juga, kau pernah kedatangan lamaran dari keturunan kiai dari Jawa Barat entah dari desa apa kau juga tak tahu. Dia kau anggap raja di singgasana sendiri dan suguhan istimewa di tubuh meja pun telah terhidang. Ah, ternyata kiai itu pulang setelah mendengar ketidaksiapanmu. Saat itu ibumu sangat malu sehingga membuat dia sempat memohon maaf atas ucapan yang sekiranya menyakitkan sebelum kiai itu beranjak jauh. Utung kiai itu paham.

Andaikan kau tahu juga, sebelum kematian ibumu dia justru menaruh harapan besar agar kau bersuami dengan keturunan kiai yang alim agamanya sehingga kau akan terdidik menjadi istri saleha, dianugerahi keturunan berakhlak baik, dan lebih-lebih keturunanmu menjadi penyejuk hati keluarga. Aku pun mengamini harapan ibumu. Seandainya dia masih hidup sekarang dan ada di antara kita, lalu menyaksikanmu sebagai ibu rumah tangga, mungkin saja setebal awan mendung di langit takkan mampu menutupi ukiran kebahagiaan dalam hatinya.

“Memang benar sekali penyesalan selalu muncul di akhir.” Demikianlah ucapmu dengan suara berat yang seolah tak ingin kau ucapkan.

Seketika tangismu langsung pecah. Terasa pula dari dari gerak-gerikmu ada sedikit ingin menggugat soal takdir yang seolah menjadi benalu di sepanjang jalan hidupmu. Lalu kemudian kau pulang membawa sekeping harapan namun hakikatnya ialah jelmaan dari pasir dalam genggaman; luluh, luruh, terhempas tiupan angin yang menderu.

@@@

Seminggu ini kau tak lagi ke rumahku hanya sekedar duduk berdua di gardu atau bahkan lewat pun aku tak pernah melihatmu. Padahal, hampir sarat setiap hari kau lakukan itu. Langsung aku bergegas melajukan langkah ke rumahmu setelah semua pekerjaan rumah kuselesaikan dengan baik. Melihat cuaca sangat cerah, tembakau yang dijemur setiap hari kutitipkan pada suamiku.

“Bang, saya pamit sebentar,” ucapanku. Kepalanya hanya mengangguk tanpa dia menanyakan mau ke mana atau ke rumah siapa.

Di pojok desa, tempat rumahmu tegak kini kudapati seluruh jendela terbuka menganga padahal sebelumnya kau tak pernah melakukan itu semenjak kepergian orangtuamu. Mungkin saja kau lagi bersih-bersih di dalam. Ternyata...

Di tengah ruang tamu kau duduk di hadapan meja kecil bertaplak kain batik. Sementara di sekujur tubuhmu kau kenakan gaun pengantin berwarna putih cerah, melilit ke belakang seperti ekor merak, mekar. Di setiap lipatannya berhiaskan manik-manik gemerlapan layaknya gugus bintang di malam yang tenang. Di situ pula kau ukir senyum layumu menjadi seindah mekarnya kembang namun tiada satu pun kupu-kupu yang datang.

“Apakah benar kata orang-orang bahwa kau telah menjadi perawan yang diputus jodohnya?” batinku bertanya setelah menyakasikanmu seperti saksi pernikahan.

Annuqayah, 09 November 2021

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.