GOOD BYE ABIRU - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


GOOD BYE ABIRU


Namaku Jingga Hugozy Serraphine, namaku cukup keren bukan? Ya tentu saja, karena namaku sekeren kehidupanku. Aku menyebutnya keren karena aku menghabiskan dua tahun hanya untuk penyembuhan diri. Tunggu aku tidak depresi, tidak juga orang dalam gangguan jiwa, tapi aku hanya pernah patah hati.

Dua tahun lalu aku masih menduduki bangku SMA, pemikiran yang sebenarnya labil tapi merasa sudah paling mengerti tentang cinta. Tepat pertengahan tahun di dua tahun yang lalu aku bertemu dengan seorang laki-laki bernama Abiru. Laki-laki yang memporak-porandakan kehidupanku selama dua tahun lamanya

Laki-laki tinggi besar, berkulit putih, hidung mancung dengan mata yang sedikit sipit, bukankah definisi yahg teramat sempurna? Terlebih Abiru tergolong siswa yang cerdas dan juga aktif dalam ekksul futsalnya sudah tentu Abiru di gandrungi banyak wanita.

Saat itu, awal pertemuanku dengan Abiru adalah di kelasnya sendiri. Pada jam istirahat aku pergi ke kelas Abiru untuk menemui temanku yang bernama Rumi untuk membeli dagangannya. Kelasku dan kelas Abiru letaknya berhadapan hanya terbatas lapangn saja.

Aku berdiri di depan pintu dengan kepalaku yang menghunus ke dalam kelas mencari keberadaan Rumi. Setelah aku lihat Rumi ada di dalam, aku pun bergegas masuk.

“Rumi, aku mau beli risoles kamu hehehe…” Ucapku setelah sampai di meja Rumi.

“Nih kamu pilih sendiri aja Jingga, saranku pilihlah yang paling besar biar pipimu semakin gembul.” Balas Rumi sambal mencubit pipiku.

Aku mengerucutkan bibir mendengarnya, “Jangan membuatku marah Rumi.”

Lantas aku dengar kekehan Rumi yang cukup keras membuat beberapa orang yang ada di dalam kelas menoleh kepadaku.

Aku hanya dapat menggaruk kepalaku yang tidak gatal untuk menghindari rasa canggung. Terlebih laki-laki yang duduk di pojok sebelah kiri itu. Aku meliriknya sedikit, aku merasakan dia memerhatikanku sejak tadi. Padahal di tangannya, dia sedang membawa kotak makan berwarna biru yang sudah terbuka tapi dia justru memerhatikanku terus.

Tak mau semakin lama di perhatikan, aku pun bergegas memilih risoles yang aku inginkan dan memberikan uang dua puluh ribuan kepada Rumi dengan buru-buru. Aku lantas berlari keluar, mengabaikan Rumi yang terus memanggil namaku.

Aku menepuk jidat saat menyadari bahwa aku tidak berlari ke kelas tapi justru ke toilet. 

“Aku hampir kehilangan nafasku.” Kataku sambal mengatur nafas.

“Kenapa tadi harus lari? Kalau jatuh bagaimana? Kakimu itu pendek.” Aku berjengit kaget, seketika aku berbalik badan dan aku menemukan laki-laki yang tadi membawa kotak makan berwarna biru.

“Biarkan saja, siapa kamu? Apa urusanmu?” Aku mencoba cuek.

“Aku menyukaimu. Jadi tak akan aku biarkan kamu jatuh dan terluka.” Katanya yang tentu saja membuat jantungku serasa mau loncat dari tempatnya.

“Kamu ini gila? Aku tak mengenalmu, kita bahkan baru saling melihat tadi, itupun tidak sengaja. Jangan menggangguku dengan ungkapan membosankan itu.” Ucapku dengan tegas. Aku pun berniat untuk pergi namun tiba-tiba dia bersuara lagi.

“Namamu Jingga Hugozy Serraphine kelas X IPA 3 dan aku Abiru Zoe Rogan, kamu sudah tau aku di kelas apa bukan?” ujarnya. 

“Bagaimana kamu tahu namaku? Apakah kamu sejenis intel?” tanyaku sinis.

Laki-laki bernama Abiru itu terkekeh, “Kamu mamang lucu, selain kakimu yang pendek, pemikiranmu pun sama pendeknya. Bagaimana aku tak tahu namamu? Setiap hari kamu datang ke kelas ku untuk menemui Rumi, mulutmu yang bawel sering kali berceloteh dan aku mendengarnya.”

Aku melihat Abiru sedikit mendekat, “ Aku menyukaimu, aku akan berusaha memperjuangkanmu, tapi aku tidak bisa menjadikanmu seorang pacar.”

Entahlah setan apa yang merasuki aku hingga aku bertanya, “Kenapa?” 

Abiru terkekeh singkat. “Ternyata kamu juga mengharapkanku ya?”

Aku membuang muka kesal sekaligus malu, namun tak lama Abiru berujar lagi.

“Aku harus fokus dengan pendidikanku, orangtuaku memintaku untuk menjadi seorang TNI dan itu sangat lah tidak mudah. Aku perlu berusaha keras untuk mencapainya, tapi ingatlah satu hal ini, aku akan tetap mencintaimu dan aku akan kembali dengan seragam hijau ku.” Jelasnya cukup serius.

Aku merasakan jantungku berdegup kencang, apa-apaan ini? Aku melihat tatapan Abiru yang begitu serius, tapi apa maksudnya dia akan kembali? Ah apakah dia akan menikahiku? 

“Aku mengajakmu berkomitmen, kita akan saling memberi semangat untuk tetap fokus belajar, aku mengatakan ini sekarang karena aku sudah tidak bisa menahan kekesalan ku saat melihat kamu sering dekat dengan laki-laki di kelasmu.” Katanya terdengar kesal.

Aku hanya berdiri mematung, bingung harus menjawab apa, mau mengiyakan tapi tidak yakin, mau menolak juga enggan. Sebenarnya apa yang terjadi padaku ya? Padahal aku baru mengenal Abiru beberapa menit yang lalu tapi kenapa rasanya aku mudah percaya?

“Bagaimana Jingga? Aku memang tak bisa berjanji untuk terus bersamamu karena kesibukanku nanti. Tapi kamu bisa pastikan aku akan kembali untukmu.” Ujarnya mencoba meyakinkan aku lagi.

Lagi-lagi setan ini merasukiku, dengan entengnya aku mengangguk pelan seraya berkata, “Tapi aku akan memikirkannya terlebih dulu.” 

“Baiklah aku akan kembali ke kelas, tolong jangan lupa untuk belajar mencintaiku.” Ucapnya lalu pergi meninggalkanku.

Tak terasa, kejadian itu sudah enam bulan yang lalu. Kini aku dan Abiru benar-benar berkomitmen, kita saling mengingatkan untuk belajar, kita bahkan tidak pernah pergi berkencan. Karena seperti yang Abiru bilang enam bulan lalu, kita berkomitmen bukan berpacaran.

Hari demi hari aku lewati dengan baik hingga aku dan Abiru kini menduduki bangku kelas XII, waktu yang benar-benar harus di fokuskan untuk belajar, terkadang aku menanyakan materi yang tak aku pahami pada Abiru. Karena secara kecerdasan, Abiru itu melebihi aku. Setiap malam aku dan Abiru bertukar pesan melalui ponsel. Namun di saat ujian tiba, Abiru akan menghilang, kita tak akan bertukar kabar kemudian Abiru kembali lagi saat ujian selesai untuk menanyakan nilaiku.

Sungguh benar -benar tak pernah aku bayangkan sebelumnya, aku dan Abiru mampu bertahan dengan komitmen yang kita sepakati. Hingga hari ini, hari dimana aku dan Abiru lulus dari SMA, kita bahkan masih sama seperti dulu, bertukar pesan lewat ponsel. 

Dari kejauhan aku melihat Abiru berjalan ke arahku, Abiru tampak lebih tampan jika menggunakan setelan jas seperti sekarang. “Ada apa?” tanyaku saat Abiru menghentikan langkahnya tepat di hadapanku.

“Kita akan sulit bertemu setelah ini, aku pasti akan merindukanmu Jingga. Aku akan ikut seleksi dan jika aku lolos maka aku harap kamu bisa lebih bersabar lagi menungguku ya?” katanya terdengar sendu.

“Aku pasti akan menunggumu Abiru, pasti. Jangan khawatirkan aku, fokus lah pada cita-cita mu, aku tau kamu sangat berambisi untuk membanggakan orangtua mu.” Ucapku pelan.

Aku melihat Abiru menganggukkan kepalanya, setelah itu Abiru tampak merogoh saku jas dan juga celananya secara bergantian membuatku bingung. Apa yang sedang dicari oleh Abiru?

“Ah ini dia,” Abiru sudah terlebih dulu mengangkat tangan kanannya sebelum aku bertanya, “ini hadiah kelulusan untukmu dariku, maaf ya aku tidak membungkusnya dengan box yang lucu.”

Aku tak pernah menyangka akan mendapatkan hadiah dari laki-laki yang selama ini menghuni hatiku. “Kenapa kamu memilih warna biru gelap?” tanyaku sambil mengambil gelang tali itu.

“Karena aku menyukainya, pakailah dan usap ini ketika kamu merindukan aku. Jingga, aku harus pergi sekarang, sesekali aku akan mengirimimu pesan dan jika nanti aku lolos, aku akan kasih alamat dinas ku nanti. Kamu bisa berkunjung kalau mau.” Ujar Abiru

Aku mengangguk dan tersenyum, aku mendengar Abiru mengatakan bahwa dia akan kembali untukku sebelum dia benar-benar berlari keluar. Hari itu berlalu begitu cepat, kini aku sudah berkuliah dan Abiru pun lolos dari seleksinya. Semua berjalan lancar, saat ini aku tengah berdiri agak jauh dari gerbang asrama Abiru.

Kita akan bertemu setelah hampir dua bulan aku tak bisa menemuinya karena alasan yang menurutku tidak jelas. Dengan senyum lebar aku melihat beberapa TNI keluar gerbang dan Abiru, aku melihatnya berlari ke arah lain bukan ke arahku. Padahal Abiru sudah tahu aku akan datang di tempat ini tapi, tunggu, siapa perempuan itu?

Jantungku berdegup kencang saat melihat Abiru memeluk perempuan itu cukup erat, bahkan Abiru berkali-kali menghujami ciuman di wajah perempuan itu. Dengan langkah pelan aku mencoba mendekati mereka, kakiku terasa lemas, juga air mata ku yang terus menetes membuatku semakin tak berdaya. 

Apalagi saat aku mendengar Abiru mengatakan ini. “Jingga, dia hanya gadis SMA ku dulu, aku mungkin memang pernah menyukainya, tapi sekarang aku lebih mencintaimu. Saat itu aku benar-benar terpuruk, aku membutuhkan seseorang yang mampu memberiku semangat dan seseorang itu adalah Jingga. Dia banyak bicara hingga terkadang aku lupa dengan masalahku saat bersamanya. Tapi, untuk sekarang jelas berbeda, aku mencari seorang pendamping hidup bukan penyemangat.”

Aku sudah tidak tahan lagi di sini, rasa sakit yang luar biasa di hatiku membuatku tak bisa berkata apa-apa, namun dengan segala kekuatan yang aku kumpulkan aku pun mendatangi mereka. Aku lihat Abiru terkejut akan kedatanganku, dengan buru-buru kserahkan makanan masakanku tadi pada Abiru seraya berkata. “Thank you and good bye Abiru.” 

Setelah kejadian itu, aku memutus semua kontak yang berhubungan dengan Abiru. Aku jarang keluar kamar, bahkan sering bolos kuliah padahal aku seorang maba. Terkadang aku menyayat tangannku di saat mengingat betapa sakitnya ucapan Abiru. Pipiku yang semula gembul jadi agak tirus karena aku jarang makan.

Setiap hari aku mendengar orangtuaku marah-marah karena sikapku selama hampir dua tahun lamanya begini. Murung, mengurung, begitu terus. Aku mencoba keliling kota, berusaha membuang kenanganku bersama Abiru di pinggiran jalan.

Namun tetap saja sakit itu tak kunjung sembuh, luka itu tak kunjung menghilang padahal biang pembuat lukanya sudah tak pernah muncul di hadapanku. Di sini aku yang dibebani dengan perasaanku sendiri, dengan luka yang aku rasakan sendiri. Sedang Abiru, pasti dia tengah berbahagia dengan perempuan pilihannya itu.

Aku tidak boleh begini terus, aku harus segera move on, aku adalah pusat dimana semuanya akan terjadi. Jika aku terus murung, maka aku pun akan terus menerus merasakan sakit yang tak kunjung reda tapi jika aku memilih untuk berpindah dari zona nyaman ini aku yakin semua sakit ini akan pulih dengan segera.

Keputusan ini aku ambil setelah aku tak sengaja melewati masjid, aku hendak melaksanakan ibadah shalat ashar dan kebetulan sekali ada pengajian setelanya. Dengan iseng aku pun ikut duduk dan mendengarkan.

Sebenarnya banyak sekali yang disampaikan oleh ustadz itu, aku tak mengingat semua tapi masih ada beberapa yang aku ingat. Seperti adab bergaul dengan lawan jenis, berharap hanya kepada Allah dan tujuan hidup di dunia yang sebenarnya. 

Aku jadi berkaca pada diriku sendiri, aku selama ini melakukan apa saja? Ibadah ku sangatlah kurang dan penuh kelalaian. Aku bahkan mengharapkan ciptaan Allah lebih dari pencipta-Nya dan apa tujuan hidupku? Aku benar-benar seorang hamba yang begitu jauh dari Tuhanku.

Dunia ini harusnya jadi jalanku mengejar ridho-Nya, bukan untuk mengejar hamba-Nya ,dari sini aku tersadar. Perubahan harus terjadi pada hidupku, aku tak akan lagi berlarut-iarut pada belenggu luka yang selalu menyakitiku.

Sejak saat itu aku memutuskan untuk menutup mahkota ku, aku mulai memperbaiki ibadahku dan menjalankan kewajibanku sebagai seorang mahasiswi yang taat. Aku belajar menghindari kontak mata dengan lawan jenis dan menjaga jarak. 

Kehidupanku pun berangsur membaik, luka itu tak lagi menyakitiku sejak aku membawanya bersujud. Aku menjadi perempuan dewasa yang kuat, belajar memaafkan dan mengikhlaskan itu yang selalu aku usahakan. Kini kepergian Abiru dua tahun lalu membuatku justru mengucap syukur tanpa henti. 

Mengenalnya bukan suatu penyesalanku, karena aku yakin ini semua bagian dari rencana Allah untukku yang akan indah pada waktunya.

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.