Gelap Gulita - Kumpulan Puisi

 








Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu puisi dari peserta Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Net 24 Jam. Puisi ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Lembayung". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html


Untuk melihat data peserta silakan kunjungi website www.net24jam.com

Selamat Menikmati puisi di bawah ini:


Gelap Gulita


Coretan tinta Nur Hidayah

Kenapa harus gelap ?

Ketika aku memasuki suatu ruangan

Sehina inikah aku?

Hingga cahaya tak sudi menemaniku

Tak satupun benda yang dapat kulihat

Imajinasiku pun jijik ku pakai

Tunggu!

Ribuan belati menghadangku

Seakan siap tuk menancap di tubuhku

Tubuhku terlilit helaian kain

Tak bisa melawan, tak bisa mengendalikan

Rayapan hewan melata ini

Butiran tanah yang berjatuhan pada wajahku

Oh, dimanakah kini ku berlabuh

Pada lorong mana kini ku terbaring

Berhembus kemana udara yang ku hirup

Hampa…

Aku lupa!

Duniawi yang kupuja

Dimanakah engkau?

Berlian yang ku agungkan ?

Kenapa tak menarikku pergi?

Tuhan!

Iya, aku punya tuhan

Masa gelap ini

Baru ku ingat tuhan

Hinanya diriku

Oh Tuhan…



Aku


Coretan tinta Nur Hidayah

Separuh percikkan mozaik 

Yang ku pertahankan menggebu

Meski abstrak hakikatnya

Dan masih berkecambuk hasratnya

Maroonnya cinta yang samar-samar

Tertelan nistanya hitam

Butiran cair membeku, menyekat

Menekan tanpa ampun hati rapuh

Meninggalkan sedikit rongga ?

Tidak !

Aku setitik tinta hitam terabaikan

Terbuang dari kumpulan garis vertikal

Tercepit pada sudut rongga tak bermuara

Aku daun kering di tanah yang terinjak

Menjadi satu dengan tumpukkan sampah

Aku jari tengah yang tak tentu arah

Penikmat jari lainnya pabila menengadah



Stani


Aku jatuh cinta padamu berkali-kali

Coretan tinta Nur Hidayah

Setiap helaannya kunikmati

Semerdu nyanyian dastanci di malam hari

Selembut sembirat sutra menanti

Setiap iramanya ku maknai

Seterik hangatnya matahari

Seseram bisikkan sanubari

Semisal meredamnya percikkan nadi

Suatu hari,

Setitik air tuba menodai

Sehingga tak berhenti meski terhalang pita kaspari

Sedemikian merengguk sesal terselip benci

Sesaat memisahkan dua insan tengah menaut hati

Seperti biasa tak mampu merangkai

Sorotan gemerlap pusat kupandangi

Seakan lekang sirna terbondong frustasi

Sebadan kuyup diterpa hujan tak terlindungi

Serasa ilalang jatuh di jalan tak terulangi

Sedetik hangatnya rengkuhanmu pada badan kini

Sekilat pula meruntuh sakit hati

Stani, aku mencintaimu berkali-kali



Terabaikan 


Coretan tinta Nur Hidayah

Kelabu menguasai dini hari

Ia berhasil menghitamkan

Gemercik air langit menambah suram

Perasaan di dada sempit tak berongga

Aku tahu, kalbu terombang ambing

Lihatlah, gemerlap kilat menciutkan nyali

Desakan suara hujan yang tak mau berurutan 

Semakin mengecilkan

Memaksa mendekap diri di pojok rongga

Mengabaikan mozaik yang tengah diperjuangkan 

Lihatlah,

Hujan melunturkan semangatnya

Air mata menetes senada dengan irama nadinya

Merasa begitu tak berguna

Nan terabaikan

Meski tengah berjuang"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.