Dandelion - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Dandelion


Pukul 01.35

Angin diluar berhembus kencang, bau-bau tanah basah bercampur air hujan 2 jam lalu masih menyeruak menelusuri saluran sistem pernapasan. Egi yang kini tengah tertidur pulas di ranjang reotnyasetelah bekerja menjadi buruh tani seharian.

Entah karena apa, mungkin karena factor angin yang berhembus kencang, jendela kamar Egi tiba-tiba terbuka, meniup tirai, membuatnya menari-nari diatas tubuh lelah Egi yang masih meringkuk didalam selimut sarungnya. Namun, apalah daya kain setipis itu mampu menahan tiupan-tiupan itu. Hawa dingin musim penghujan ditambah udara kaki gunung membuat suhu kian ekstrem. Egi yang mulai tertusuk tulangnya oleh dinginnya malam, akhirnya terbangun. Lelaki itu hanya mampu meringkuk diatas ranjangnya dengan sesekali mengintip suasana malam yang masih diselimuti kegelapan.

“Seandainya hidupku masih sama seperti 3 tahun lalu”, gumamnya

Namun, hawa dingin itu perlahan menjadi belaian-belaian yang menghangatkan. Egi yang belum bisa mengontrol gemerutuk giginya kini beringsut membaik. Udara ini hangat, sungguh perubahan yang drastis untuk sebuah pergantian suhu. Dalam kehangatan itu, Egi menyadari, kehangatan itu tidaklah asing baginya. Ia mengenali rasa nyaman ini, rasa nyaman yang pernah menyelimutinya 3 tahun lalu

“Nayla, apakah itu kamu ?”

“Karena melepasmu lebih menyakitkan bagiku

Daripada harus dibunuh seribu kalipun”

*****

3 tahun lalu

“Kurang 15 menit lagi”

Egi tak henti-hentinya bergumam. Dia beradu cepat dengan waktu yang terus berjalan, semakin berkurang dalam setiap putarannya. Mobil Egi meliuk meliuk-liuk, membelah jalanan Jogja yang lengang, sama lengangnya seperti suasana di dalam mobil. Egi hanya diam, dengan seorang wanita disampingnya yang membuang wajahnya ke luar jendela. Matanya tak kuasa lagi tuk menahan dukanya. Hari ini, dia akan berangkat ke Jerman, meninggalkan lelaki disampingnya yang masih terpaku pada jalanan, berpacu mengejar jadwal keberangkatan wanitanya.  

Sampai suasana lengang itu sirna seketika, mengubah malam itu menjadi penuh kengerian. Saat tiba-tiba mobil Egi disambar oleh sang raja jalanan. Dump truk bermuatan material bangunan mendadak muncul di sisi kanan perempatan. Padahal, jelas-jelas jika lampu menyala merah di sisi jalan, tanda untuk berhenti. Egi yang tak sempat menghindar akhirnya harus menyerah dengan keadaan. Mobilnya terlempar 5 meter dari lokasi kecelakaan. Untunglah sabuk pengaman tidak melilit tubuh Egi, sehingga membuatnya terlempar dari mobil. Kepalanya terbentur trotoar jalan, menyaksikan mobilnya meledak, menimbulkan kericuhan hebat di jalan.

Namun, bagaimana dengan Nayla? Wanita malang itu masih terjebak didalam mobil yang kini tengah dilahap si jago merah.

“Nayla!”, sayang suaranya tertahan di tenggorokan, tenggelam oleh kerumunan orang yang melingkarinya. Perlahan, kusaksikan mobil itu hangus, membawa serta wanita yang seharusnya saat ini menjemput mimpiya di Jerman.

Sampai semua menjadi gelap bagiku

“Kenapa kau begitu menyukai dandelion?”

“Karena darinyalah aku belajar melepaskan”

 wanita itu masih fokus menatap kelopak-kelopak dandelion yang masih beterbangan, menuruti perintah akan kemana angin membawanya pergi.

Percakapan malam itu selesai

“Benar kan!, aku tidak bohong

Melepasmu itu sungguh menyakitkan”

*****

Memori kelabu itu masih menghantui, menembus batas-batas dimensi waktu

Egi membuka pintu, bercengkrama dengan lampu petromaks yang ia gantungkan di depan rumah reotnya, atau lebih tepatnya disebut gubuk. Perlahan Egi melangkah, mendekati ratusan bunga dandelion yang tumbuh subur di pekarangan rumah. Dilihatnya kelopak dandelion yang masih beterbangan, menari-nari di angkasa.

“Aku tahu kau disini, Nayla, bunga-bunga dandelion ini bukankah kau yang meniupnya?”

Egi tersenyum, tapi senyuman itu bergetar. Sama halnya seperti tubuhnya yang saat ini bergetar hebat, bukan karena dingin, melainkan lebih karena sakit yang belum bisa terobati. Dan tanpa disadari Egi, air matanya berhasil menerobos system pertahanannya. 

Dandelion selalu membuat Egi menangis 3 tahun ini.

“Lihatlah! Batapa menyakitkannya melepasmu”

*****

Kembali lagi ke masa setelah kecelakaan itu

Apakah Egi masih hidup?

Jawabannya adalah, ya! Namun sayang, ingatanya lumpuh, sama sekali tak bersisa sepersenpun dari masa lalunya. Bahkan, siapa dirinya pun, dia tidak tahu. Egi memang hidup, tapi jiwanya mati. Dia bernafas, tapi tidak tahu untuk siapa nafasnya ia hembuskan, atau lebih tepatnya dia adalah boneka bernyawa.

Setelah kecelakaan itu, Egi ditolong oleh seseorang. Namun, bagai ungkapan “Sudah jatuh tertimpa tangga”, sang penolong bukanlah berniat ingin menolong Egi, hanya mengambil keuntungan darinya dengan alasan akan membantunya mengembalikan ingatannya, membuatnya mudah dipekerjakan.

“Egi menjadi budak setelah itu”

Hidupnya sudah melalang buana di ranah nusantara. Bekerja siang malam, tanpa upah, tanpa kenal kata libur. Dengan kepingan memori yang masih hilang, dia terus bekerja. Menangis tiba-tiba tanpa air mata juga tanpa alasan yang pasti menambah dua kali lipat duka Egi.

Sampai suatu ketika saat Egi berhasil mengumpulkan kembali puing-puing memorinya, dia berlari, menerjang semua resiko yang akan dia lewati. Egi berlari, terus berlari, menembus hutan, menyebrangi lautan, hingga perlangkahannya terhenti di kaki gunung Lawu, tempat yang kini menjadi tempat tinggalnya.

“Mungkin Tuhan masih berbaik hati padaku” 

Setelah pelarian itu, Egi dipertemukan dengan pak tua yang membantu memberinya pekerjaan dengan mengolah lahannya. Juga sebagai gantinya, pak tua memberikan Egi gubuk reotnya untuk tempat berteduh. Tanpa berpikir dua kali, langsung saja Egi menerima tawaran itu. Bukan karena tanpa alasan, melainkan di pekarangan gubuk itu, tumbuh subur ratusan dandelion, bunga kesayangan Nayla. Darinya, Egi bisa memupuk kerinduannya, dengan meniup satu dandelion setiap malam sebelum ia memejamkan matanya.

“Kehidupan pahit itu terus ia jalani di setahun terakhirnya”

“Aaahhh…. Betapa menyakitkannya melepasmu”

*****

“Aku merindukanmu, Nayla”

Dilihatnya kelopak-kelopak dandelion yang masih terbang, mencari tempat untuk luruh.

“Apakah kau baik-baik saja disana?”

Angin membelai mesra anak rambut Egi yang tak terawat menutupi separuh wajahnya. Desirnya menenangkan, membawa obat dari segala keriduan 3 tahun terakhir. Sekaligus membawa suara sebuah panggilan yang tertuju ke arahnya.

Ya! Suara itu meluncur dari bibir seorang wanita, tak jauh beda usia dengan Egi. Wanita itu berdiri, berusaha menyunggingkan senyum di wajahnya yang mulai tak sabar berair. Tak lama setelahnya, tubuhnya terdorong jatuh ke pelukan Egi yang masih dipenuhi banyak tanda tanya di kepalanya.

“Aku merindukanmu, Egi”, wanita itu menangis

“Tapi…….”, suara Egi terputus

“Tapi.., bagaimana mungkin?”

“Tapi entah mengapa, tak selamanya melepasmu semenyakitkan ini”

*****

“Pakai sabuk penganmu, Nayla!”, suara itu memecah lengangnya suasana dalam mobil. Sedang wanita disebelahnya hanya bisa menurut. Tapi, tak berselang lama, diam-diam wanita itu mencuri kesempatan untuk lepas dari perintah lelakinya. Dia melepas sabuk pengamannya, tubuhnya merasa gerah.

Sampai dump truk itu melemparnya jauh dari pelukan lelakinya yang dikabarkan hilang tak lama setelah peristiwa mengerikan tersebut. Pandangannya berangsur gelap, dia takt ahu apa-apa setelah itu.

Tapi dandelion selalu berbaik hati padanya

“Aku akan mencarimu, Egi!”

“Tapi terkadang, melepaskan menjadi indah

Saat kau melepasnya dengan senyuman,

Bukan tangisan”.


Lamongan, 6 Oktober 2021  

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.