Bukan Salah Takdir - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


KASIH SAYANG TUHAN

BY : AHMAD OKVANI TRI BUDI LAKSONO 


Matahari tampak malu malu melihat dunia, dihadang gerombolan awan seakan mengisyaratkan bahwa hari ini tidak akan baik baik saja. Memang benar hari ini tidak baik baik saja, Sabtu 16 Januari 2021 saya mendapatkan berita kurang menyenangkan. Setelah selesai sarapan saya siap siap bergegas berangkat bekerja. Tapi , kepala outsourching menelpon saya, Pak Shobirin Namanya

"" Maaf mas, kamu istirahat dirumah dulu, karena kamu reaktif covid 19"". Rasanya waktu berhenti tepat saa

 "Bukan Salah Takdir

Penulis : Shafura

Undangan sudah disebarkan. Aku bahagia, penantian selama ini berbuah manis pada akhirnya. Namun, tak bisa dipungkiri, rasa khawatir menyelimuti. Ya, aku khawatir kalau salah satu diantara mereka atau bahkan keduanya akan menjauhiku nantinya. Kulihat semakin lekat nama yang tertulis di kartu undangan pernikahan yang berwarna biru tosca itu, namaku tertulis di cover depannya. Oh, apakah ini mimpi? Kucoba mencubit pipi. Ternyata bukan, sebab rasa sakit yang dirasa saat mencubitnya.

***

“Alya.” Sebuah pesan dari messenger masuk. Kulihat foto yang terpampang, siapa gerangan. Aku tercengang dibuat oleh si pengirim pesan. Ternyata dia adalah seniorku ketika mondok di pesantren saat Madrasah Tsanawiyah dulu, Ikram—namanya.

“Iya,” balasku. Masih ada rasa tak percaya, sebab sudah sepuluh tahun lamanya kami kehilangan komunikasi dan tak pernah bertemu sejak kelulusan. Terlebih Bang Ikram adalah orang yang tak banyak bicara saat di madrasah. Jadi, masih ada keraguan dalam diriku ketika pesan itu ternyata darinya.

Akhirnya dia pun meminta nomor Whatsaap-ku, dan tentu aku memberinya. Perbincangan kami malam itu, lumayan lama. Kami saling bertanya kabar dan bercerita tentang kegiatan masing-masing. Dia bercerita bagaimana aku dulu saat di pesantren. Mantan seniorku mengatakan, begitu cueknya diriku kala itu, bahkan terhadap penampilan sendiri, masa bodoh. 

Pernah suatu hari, peralatan mandiku habis. Jadi, aku langsung turun menuju minimarket yang berada dalam wilayah pesantren. Santri-santri yang berada di sana saat itu, memberikan penghormatan kepadaku setelah mendapatkan aba-aba ‘kepada sang merah-putih, hormat, gerak!’ Aku yang merasa tak ada yang aneh pada diriku, biasa saja dan lantas pergi setelah membayar barang-barangku. Sesampai di kamar, saat berdiri di depan kaca baru menyadarinya, ternyata pakaianku yang membuat mereka hormat, layaknya hormat kepada bendera merah-putih. Aku pun tertawa sendiri melihat pantulan diri di kaca. Dan baru kutahu, orang yang memberikan aba-aba penghormatan itu adalah Bang Ikram, saat kami bernostalgia malam itu. Tentu aku tak menyangka, karena dia orang tak banyak bicara selama di pesantren.

“Sudah lama sekali kita enggak ketemu, ya?” tanya Bang Ikram di seberang sana.

“Iya lah. Udah sepuluh tahun, lho,” balasku. Di sela-sela percakapan, akhirnya kami pun sepakat mengatur  pertemuan bila ada waktu luang, dikarenakan kita berdua sama-sama sibuk pada saat itu.

Komunikasi yang terus terjalin, membuat adanya kenyamanan dalam hati. Tentunya aku ingin menceritakan kebahagiaan ini kepada seseorang yang kusayangi. Dia lebih dari seorang sahabat, dia yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri harus tahu tentang semua ini.

***

“Kak, aku mau cerita, nih,” ucapku dengan sedikit malu-malu. 

“Hayo, mau cerita apa? Cerita cowok, ya?” tanya Kak Raya menggodaku. Aku hanya tersenyum, tanpa mengiyakan jawabannya.

Kak Raya adalah anak perantauan. Awal pertemuan kami, saat aku hendak membeli perlengkapan pembuatan prakarya di sebuah toko aksesoris. Dia adalah seorang pegawai di toko tersebut. Setelahnya pertemuan-pertemuan kami pun terus berlanjut, terlebih Kak Raya begitu ramah dan enak diajak mengobrol, aku pun semakin nyaman dengannya.

Tanpa ada rahasia sedikit pun, aku bercerita dengannya. Banyak saran yang diberikan olehnya. Terlebih dia sudah berpengalaman masalah percintaan. Aku sangat berterima kasih, karenanya diri ini mengetahui arti kejujuran dan ketulusan dalam sebuah hubungan. 

***

Pertemuan setelah sepuluh tahun lamanya, akhirnya ditentukan. Aku mengajak Kak Raya menemaniku untuk bertemu Bang Ikram. Awalnya, dia menolak, tapi akhirnya mau juga, karena aku terus memaksanya. 

Tak banyak yang berubah dari seorang Ikram yang kukenal dulu. Dia masih terlihat tampan seperti ketika di pesantren. Penampilannya yang bersahaja membuatku kagum. Di sebuah warung bakso, kami bercakap-cakap sambil bersenda gurau. Kak Raya juga ikut andil dalam membangun suasana agar tak terlihat canggung. Jujur, saat itu aku sangat bahagia. Apa karena aku sudah memiliki sedikit rasa dengan Bang Ikram? Ah, entah lah!

Komunikasi yang terus berjalan lancar, menumbuhkan bunga-bunga harapan dalam hatiku. Kak Raya juga terus mendukungku, agar bisa bersatu dengan Bang Ikram. Bahagia sekali rasanya memiliki seorang kakak angkat yang begitu peduli. Sebab rasa kepercayaanku kepada Kak Raya, aku memberikan nomor ponsel Bang Ikram. Kedua orang itu adalah orang-orang yang kusayangi.

“Al, kata Bang Ikram, kamu gak mau nitip apa-apa, ya? Kenapa?” tanya Kak Raya.

“Iya, Kak. Alya Cuma mau Bang Ikram kembali ke sini dengan sehat wal afiat,” jawabku sambil tersenyum. Kak Raya hanya geleng-geleng mendengar jawabanku.

Esok, Bang Ikram berangkat ke luar kota, karena ada pelatihan di kantornya. Awalnya, dia meneleponku untuk menanyakan ingin dibawakan oleh-oleh apa, ketika dia pulang nanti. Aku hanya menjawab, tak usah bawa pulang apa-apa, cukup Abang kembali dengan selamat. Mungkin, setelah itu dia juga menelepon Kak Raya untuk menanyakan hal yang sama.

***

Aku tak tahu apa yang terjadi antara Bang Ikram dan Kak Raya di belakangku. Sebab kakak angkatku itu tak pernah bercerita apa-apa. Hubunganku dengan Bang Ikram juga baik-baik saja. Malah, dia lebih sering menghubungiku. Dukungan dari perempuan yang sudah kuanggap melebihi sahabat itu, semakin meyakinkanku kalau perasaan ini harus segera diutarakan. Namun, aku malu, sebagai seorang perempuan masa harus mengungkapkannya terlebih dahulu. Gengsi, donk.

Dering ponsel membuyarkan mimpi tidur siangku. Kuraih ponsel di atas nakas dengan rasa kesal. 

“Mengganggu tidur siang orang aja.” Rasa kesal berubah gembira, saat membaca nama si penelepon di layar ponsel.

“Assalamualaikum, Bang.”

“Waalaikumsalam, Al. Boleh Abang bertanya? Tapi kamu harus jawab jujur, ya.” 

Deg! Jantungku berdetak.

“Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba Bang Ikram ingin bertanya sesuatu,” batinku.

“Iya, Bang. Apa yang mau Abang tanyakan?” 

“Kata Kakak, Alya suka, ya, sama Abang?”

Kali ini jantungku seolah-olah berhenti. Apa ini saatnya aku harus jujur. Oh, Tuhan, berilah petunjukmu.

***

Jujur aku tak bisa melukiskan perasaanku saat ini. Antara bahagia dan sedih menjadi satu. Namun, tak bisa dipungkiri rasa kecewa itu juga menyempil dalam hati. Mana kejujuran yang selama ini dijadikan acuan dalam suatu hubungan? Undangan itu semakin erat dalam genggamanku. Ya, aku berbohong saat itu, tapi siapa yang berbohong sebenarnya? Dia atau aku? Ah, sudahlah. Semuanya sudah berakhir, setelah undangan di tanganku ini tersebar.

Sepasang nama yang terukir di cover depannya, kubaca sekali lagi. ‘Raya dan Ikram,’ sedangkan, namaku tertulis sebagai tamu undangan di hari bahagia mereka. Akhirnya mereka bisa bersatu setelah menghunjamku. Persetan dengan kejujuran dan ketulusan, semua hanya topeng. Dan aku benci itu.

Seandainya aku jujur saat itu tentang perasaanku, apakah akan seperti ini juga jalan ceritanya atau berbeda?

***

“Kenapa Abang bertanya seperti itu?” tanyaku penasaran.

“Abang tadi telepon Kakak. Abang suka sama dia, tapi dia gak mau terima cinta Abang, karena kata Kakak, kamu suka sama Abang. Apa itu benar, Al?” pertanyaannya membuat duniaku terhenti sejenak.

“Oh, iya dulu. Alya memang suka sama Abang, tapi sekarang udah gak lagi. Alya udah punya pacar, kok,” jawabku berbohong. 

“Sekarang Alya telepon Kakak dan bilang seperti yang Alya katakan sama Abang sekarang.” Ingin rasanya kumaki dia saat menyuruhku seperti itu. Di mana hatinya. Tanpa mengucap salam kuputuskan telepon dan menghubungi Kak Raya seperti yang dititahkan oleh Bang Ikram.

Semua ini bukan salah takdir. Dia bukan tercipta untukku. Bertemu bukan untuk bersatu, melainkan hanya menjadi kenangan dan pelajaran. Aku doakan semoga mereka berbahagia sampai maut memisahkan.








"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.