Above The Clouds - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Above The Clouds

Alfi Kurinita Widianti


Sejuknya udara sore ini membuat sepasang kekasih itu tersenyum bahagia. Mereka mengayuh sepeda dengan semangat, ditemani burung-burung yang beterbangan di sekitar taman dan obrolan ringan untuk mengisi kesunyian.


""Rin?""


""Iya kak? Kenapa?""


""Aku iri sama burung-burung itu.""


Arin mengerutkan dahinya heran. ""Kak Theo ada-ada aja, masa iri sama burung?""


Theo terkekeh. ""Mereka kelihatan bahagia Rin.""


""Emang kakak nggak bahagia sekarang?""


""Bahagia, apalagi sama kamu.""


""Dasar buaya,"" gerutu Arin kesal, namun tak dapat dipungkiri pipinya kini memerah karena ucapan pemuda yang lebih tua.


Hening menyapa, mereka melanjutkan berkeliling sampai lima belas menit kemudian. Setelahnya mereka memilih duduk di salah satu bangku dan menikmati es krim yang sempat di beli Theo tadi.


""Rin?""


""Iya?""


Theo tak lagi bersuara yang membuat Arin beralih menatapnya. Bingung kenapa pemuda itu tiba-tiba terdiam. ""Ada masalah?""


""Nggak ada.""


""Beneran?"" tanya Arin khawatir.


Theo tersenyum, ia mengusap rambut hitam Arin dengan sayang. ""Aku baik-baik aja.""


""Tapi kakak keliatan aneh hari ini."" Arin menyuarakan pikirannya, memang benar Theo terlihat aneh hari ini. Pemuda itu sering memanggil namanya secara tiba-tiba dan berkata hal-hal random, tidak seperti biasanya.


""Aneh gimana? Aku masih kayak biasa kali.""


""Tapi kakak nggak pernah bicara random kayak tadi,"" bantah Arin, ia menatap Theo dengan sorot mata serius sekaligus khawatir.


Senyum manis Theo perlihatkan, ia mencubit pipi berisi Arin dengan gemas. ""Emangnya aku nggak boleh bicara random? Kamu lebih suka aku yang dingin ya?""


""Bukan gitu, tapi aneh aja sih. Mungkin karena aku belum terbiasa.""


""I miss you,"" ujar Theo tiba-tiba yang membuat Arin semakin heran. Tak lama setelahnya ia dibuat terkejut ketika pemuda itu memeluknya dari samping dengan erat, seolah mereka telah lama tidak bertemu.


""Apasih kak? Kemarin kan kita ketemu, hari ini juga ngabisin waktu bareng, masa kangen?""


Theo tertawa. ""Masa kangen sama pacar sendiri nggak boleh? Lagian kamu tu ngangenin tau gak?""


Arin mengernyit. ""Geli kak, jangan kayak gitu!""


Si pemuda lantas melepas pelukannya, tertawa ringan saat menyadari raut geli Arin. Gadis mungil itu memang paling anti jika di ajak romantis, dan Theo jelas tau mengenai hal itu.


""Kalo kamu kayak gini terus, nggak ada laki-laki yang mau sama kamu. Karna dimana-mana cewek itu suka suasana romantis dan kata-kata manis.""


""Buktinya kakak mau sama aku,"" jawab Arin santai, ia menyendok es krim terakhirnya dan hendak memasukkan ke dalam mulut sebelum Theo lebih dulu memakannya.


""Astaga kak, itu kan es krim terakhir aku, kok malah di rebut sih?!"" Arin berseru jengkel yang malah membuat Theo tertawa, raut wajah gadis itu benar-benar lucu saat ini.


""Kapan-kapan aku beliin lagi,"" balas Theo santai setelah puas tertawa.


Arin masih memasang wajah kesal, namun tak bertahan lama karena dirinya memang tidak suka mempermasalahkan hal-hal sepele seperti tadi, dan itulah salah satu hal yang membuat Theo jatuh cinta padanya.


""Udah sore, ayo pulang. Nanti Kak Allan marah kalau kita pulang kemalaman,"" ajak Arin, ia beranjak dan menatap Theo yang kini masih duduk ditempatnya, tak bergerak barang seincipun dari posisinya.


""Ayo kak, kenapa masih diem?""


Theo tak menjawab, ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan kotak berwarna merah dari sana. ""Buat kamu, bukanya nanti aja kalau udah di rumah.""


""Ini apa?"" tanya Arin sesaat setelah kotak merah itu berpindah ke tangannya.


""Nanti kamu juga tau,"" balas Theo tak acuh, ia berdiri dan menggenggam tangan Arin. Membawanya pergi dari taman yang sudah mulai sepi pengunjung.


Perjalanan dari taman kota menuju kediaman Arin memakan waktu kurang lebih empat puluh lima menit karena mereka pulang bertepatan dengan jam pulang kerja, sehingga kemacetan pun tak dapat mereka hindari.


""Mau mampir dulu?"" tanya Arin saat mobil yang dikendarai Theo telah berhenti di depan gerbang rumahnya.


""Nggak usah. Udah sore juga, nggak enak sama tetangga.""


""Hati-hati di jalan,"" ujarnya yang di angguki Theo.


Arin membuka gerbang dan berjalan masuk ke rumahnya dengan santai. Ia berhenti di teras ketika mengingat kotak pemberian Theo tadi, tangannya bergerak merogoh saku jaketnya dan di buat kagum ketika melihat isinya adalah sebuah kalung dengan liontin bulan berwarna perak.


""Bagus banget, dari Theo ya?""


Suara lain yang menginterupsinya membuat Arin tersentak, ia menoleh dan melihat sosok sang kakak yang tengah menatapnya menggoda. 


""Ap..."" Ucapan Arin terpotong saat dering dari ponselnya terdengar, ia mengambil benda pipih itu dan segera menjawab panggilan tersebut saat melihat nama Theo yang tertera di layar.


""Halo.""


""Halo mbak! Saya ingin mengabarkan kalau pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan dan dinyatakan meninggal di lokasi kejadian.""


Kotak di tangan Arin terjatuh bersamaan dengan tubuhnya yang merosot ke lantai, air matanya pun turut mengalir tanpa bisa di cegah.  ""Nggak mungkin,"" lirihnya.


Allan yang sempat mendengar percakapan mereka segera mengambil alih ponsel adiknya. ""Bisa tolong beritahu kami dimana pemilik ponsel ini sekarang?""


""Korban di bawa ke Rumah Sakit Sejahtera.""


""Terimakasih,"" ujar Allan sebelum menutup sambungan. Ia memeluk erat Arin yang kini bergetar hebat di dekapannya.


""Kita ke rumah sakit ya?""


Dapat Allan rasakan anggukan pelan dari Arin, maka tak perlu waktu lama pemuda itu segera  membantu Arin berdiri dan memapahnya menuju garasi untuk mengambil mobil.


Mereka tiba di ruang IGD setengah jam kemudian. Tangis Arin kembali pecah saat melihat sosok Theo yang kini sudah terbujur kaku di atas brankar dengan beberapa luka gores yang menghiasi wajah tampannya.


""Kak?"" Suara parau mengalun pelan dari bibir Arin, jarinya bergerak menyusuri wajah Rivan yang kini benar-benar pucat dengan gerakan pelan. Berusaha mengingat setiap jengkal wajah rupawan kekasihnya yang kini sudah tak bernyawa.


""Harusnya aku sadar maksud kakak tentang kata pergi itu, kakak mau pergi selamanya. Tapi kenapa harus gini caranya?"" 


Arin mengusap air matanya dan memaksakan tersenyum, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Theo dan berbisik pelan. ""Kakak nggak perlu iri sama burung-burung lagi, karna kakak akan bersama mereka di atas awan. Selamat tinggal kak, aku mencintaimu.""


Tak berselang lama Arin langsung terjatuh bertepatan dengan kesadarannya yang mulai menghilang. Untungnya Allan yang sedari tadi berdiri di belakangnya dengan sigap menangkap tubuh mungil itu.


Allan menghela nafas berat, menatap wajah sang adik yang kini terlihat pucat dan beralih menatap wajah damai Theo. ""Kenapa kisah cinta kalian harus berakhir kayak gini?""


Hanya ada satu jawaban dari pertanyaan Allan, yaitu takdir. Ya, takdir yang mempersatukan mereka, menemani mereka bersama kisah cintanya sebelum badai menerpa dan memisahkan mereka tanpa belas kasih.


Tidak ada yang tau seberapa hancur hati Arin sekarang, tidak ada yang tau bagaimana sulitnya Arin mengikhlaskan sosok Theo yang telah menemaninya setahun ini. Tidak ada yang tau kecuali dirinya sendiri.


Selamat tinggal kak, aku harap kau tidak akan meninggalkan aku meski kita sudah berbeda dunia.

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.