Abadi Seperti Kamboja - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "Abadi Seperti Kamboja

Oleh: Ede Tea


Aku menilik arloji di pergelangan tangan. Sudah hampir dua jam aku duduk di depan rumah. Belum juga ada tanda-tanda kepulangannya. Aku menghela napas lagi. Melepaskan sekian banyak oksigen yang sudah memenuhi paru-paru. Lalu aku mengambil gelas kopi di atas meja. Kuhidu dalam-dalam. Aroma kopi bercampur susu membuat perasaanku menjadi sedikit lebih tenang.

Setelah meneguk sedikit kopi yang sudah agak dingin itu, pandanganku beralih ke sebuah pohon di depan rumah. Aku tidak ingat nama jenis pohonnya. Tetapi aku ingat saat menanamnya bersama Pram. Dua tahun yang lalu, sehari setelah kami resmi menjadi sepasang suami istri.

Aku berjalan mendekati pohon itu. Bunganya lebat dan banyak yang berjatuhan. Berkat pohon itu teras rumah kami menjadi lebih teduh. Aku mengambil satu bunga di tanah. Oh, ya. Sekarang aku ingat nama pohon itu: Plumeria, atau yang biasa di sebut kamboja.

“Kenapa kita tanam pohon ini di depan rumah? Bukannya ini bunga kuburan?” telisikku ketika itu. Pram hanya mengulum senyum.

“Orang Bali menganggap kamboja sebagai sari alam. Karena proses berbunganya terjadi pada sasih kapat atau bulan purnama keempat yang dipercaya sebagai bulan baik,” terangnya kemudian.

“Lantas?”

“Bunga kamboja tidak mudah layu, Meskipun pohonnya tumbang ia tetap terlihat segar. Dalam agama Buddha, bunga ini melambangkan keabadian.”

Aku mengangguk-angguk saja sambil mencari kebenaran dalam sorot matanya. Ketika Pram sudah siap dengan lubang galiannya, aku segera memasukkan bibit pohon itu. Sesekali aku berdengus sambil menyeka keringat di ujung mata.

“Jadi kenapa kita tanam pohon ini?”

Pram seketika berpaling ke arahku sambil tersenyum. “Aku harap cinta kita juga tidak mudah layu. Abadi seperti kamboja.”

Kami memasukkan bibit pohon itu secara bebarengan. Ia tersenyum melihat pohon kecil itu yang berdiri tegak. Aku berpaling menatap wajahnya. Tak ada yang membuatku bangga selain melihat senyumnya yang begitu tulus.

Aku menilik pergelangan tangan lagi. Pram benar-benar sudah molor dari waktu yang sudah dijanjikannya. Padahal aku menunggunya dengan tak sabar. Sore ini ia bilang kami akan menginap di rumah ibu. Sebab sudah hampir dua tahun ini kami tidak berkunjung. Meskipun jarak Jakarta-Bandung tidaklah sebegitu jauh, tapi kami mencemaskan kesehatannya di tengah banyaknya penyakit yang menular. Kami memang sering melakukan panggilan video, tapi tetap saja rasa kangen hanya bisa dibayar dengan pertemuan.

Saat aku melangkah melewati pintu, suara klakson terdengar begitu nyaring. Akhirnya dia sampai juga, ucapku dalam batin. Aku mematung di mulut pintu. Pram menyapaku dengan senyuman terbaiknya.

“Maaf, tadi banyak kerjaan di kantor. Belum lagi kena macet di jalan. Ke rumah ibunya besok saja, ya. Aku cape. Kamu sudah masak belum? Kita makan bareng, ya.”

Sebenarnya aku ingin sekali marah. Tetapi melihat tatapan matanya yang penuh ketulusan, aku hanya mengangguk tanda setuju. Lagi pula, sekarang atau besok bukanlah masalah besar.

Kami duduk di meja makan. Pram lahap menyantap pindang ikan patin yang aku masak untuk ibu. Aku memerhatikan wajahnya di seberang meja. Dalam keadaan seperti ini aku hanya bisa berpikir: apa yang salah di antara kami? Pram adalah laki-laki tampan dan sukses. Aku hidup dengan kemewahan. Aku bisa beli ini dan itu. Kata orang, kehidupanku nyaris sempurna.

Tetapi, ah…

Bila aku menarik waktu kebelakang, proses perkenalan kami memang terasa sangat singkat. Aku diperkenalkan dengan Pram lewat perjodohan yang dilakukan kedua orang tua kami. Ketika itu aku memang masih sendiri, namun juga tidak mudah untuk segera mengiakannya. Banyak mimpi yang ingin aku capai. Salah satunya menjadi seorang pramugari. Tetapi berulang kali ibu menasihatiku bahwa seorang perempuan tidak baik jika menolak lamaran laki-laki. Tidak ingin membuat perdebatan semakin panjang, aku hanya mengangguk sambil menahan redam.

Setelah menikah, entah kemana mimpi-mimpi itu. Kepalaku seperti kertas baru yang masih bersih. Cita-cita yang sudah aku gantung sejak kecil kini runtuh tak tersisa. Sekarang impianku sederhana saja, bisa melayani Pram dengan baik, merapikan rumah dengan cepat. Itu sudah lebih dari cukup.

“Pindang ikan buatanmu enak juga, Ra!” puji Pram dengan mulut yang masih penuh.

Aku berpaling dan sedikit melebarkan bibir. Setelah kami menikah, aku memang belajar banyak hal. Salah satunya memasak. Aku belajar melalui internet. Berbagai resep masakan sudah aku coba. Dan ternyata tidak begitu sulit meski aku belum pernah berhadapan dengan wajan sebelumnya. Aku juga belajar merawat tanaman agar tumbuh subur. Menjahit celana yang sobek, merawat rumah sampai kilap, menyikat kakus dan ya… masih banyak lagi yang lainnya.

Tetapi, aku rasa masih ada yang kurang. Apa, ya?

Hidup kami serba berkecukupan. Pram manajer di salah satu perusahaan ternama di ibu kota. Kalau aku mau, aku bisa saja mengoleksi barang-barang mewah. Tetapi, rasanya tidak perlu sebab Pram sering memberiku banyak hadiah. Tak hanya saat hari-hari besar atau ketika aku berulang tahun. Setiap akhir pekan ia pulang membawa sebungkus kado lengkap dengan pita di atasnya. Supaya aku lebih rajin dan bisa menjadi istri yang baik, katanya. Tetapi setelah menerima hadiah-hadiah itu, aku gamang memikirkan apa yang selalu Pram harapkan kepadaku. Menjadi istri yang baik, seperti apa?

Aku banyak mencari tahu bagaimana agar hubungan suami istri tidak membosankan. Dan aku rasa kami sudah melakukannya dengan cukup baik. Sebagai kepala rumah tangga Pram adalah suami yang bertanggung jawab. Dan sebagai seorang istri aku berusaha untuk bisa diandalkan. Aku akan bangun setiap pukul lima pagi lalu menyiapkan air hangat untuknya mandi. Membuat sarapan. Lalu ketika Pram berangkat bekerja aku bersiap untuk merapikan rumah. Sampai akhirnya sore tiba dan aku sudah mandi untuk bersiap menyambutnya pulang.

Sering juga aku bertanya kepada ibu lewat sambungan telepon. Apakah menjadi seorang istri memang terasa begitu hambar? Ibu hanya bilang kalau aku membutuhkan sosok peri kecil yang akan memberi kedamaian. Entahlah.

*

Setelah makan malam selesai aku mencoba membuat obrolan. Aku menilik wajah Pram yang kelelahan. Lalu menyodorkannya secangkir teh manis hangat.

“Diminum, Mas!” ujarku.

“Terima kasih, Ra,” sahutnya seraya menerima gelas. “Pohon kamboja depan rumah kita sudah besar ya, Ra. Perlu dirapikan dahannya supaya tidak terlalu tinggi.”

Aku menatap kedua matanya. “Ya. Pohon kamboja itu tumbuh subur. Tidak seperti hubungan kita.”

“Maksudnya, Ra?”

Aku melangkah meninggalkan Pram yang masih bersantai di depan televisi. Aku masuk ke kamar dan naik ke tempat tidur. Tak lama Pram menyusul. Ia naik ke atas kasur dan berbaring di sampingku. Kami memandang langit-langit kamar yang redup. Sekelebat aku memikirkan hal-hal yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Hingga akhirnya mataku terpejam. Lalu tertidur.

Dalam mimpiku, aku melihat peri-peri kecil serupa kupu-kupu di tengah padang bunga yang merona. Mereka terbang ke sana ke mari. Hinggap dari satu bunga ke tangkai bunga yang lain. Salah satu dari mereka mendekat ke arahku. Lalu hinggap di ujung jemari. Aku menatapnya penuh tanya. Mungkinkah ini yang selama ini aku cari?

Seketika aku terbangun. Pram masih berbaring di sampingku. Entah kenapa isi kepalaku mendadak terasa penuh.

“Kenapa, Ra?” sergah Pram.

“Sepertinya, aku sudah siap untuk menjadi seorang ibu,” lirihku dengan bibir yang bergetar. [*]

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.