Padi untuk Esok Hari - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 Padi untuk Esok Hari

Karya: Ailia Aprilia


Tiba-tiba banyak warga berkerumun di depan rumah Pak Tani yang hidup sebatang kara. Mereka memenuhi halaman depan gubuk reot itu sampai ke dalamnya. Ternyata salah satu warga, Bu Tina, menemukan Pak Tani tergeletak di tempat tidur kayunya dengan mata terbuka. Entah apa yang terjadi. Namun warga mulai menciptakan banyak gosip dan berita dibalik kematian Pak Tani itu.


Ada yang bilang bahwa Pak Tani tak mampu lagi mengurus dirinya sendiri sejak ditinggal istrinya. Iya, istrinya sudah enam bulan yang lalu meninggal dunia. Istrinya meninggal karena batuk yang tiba-tiba menyerang, flu yang tak kunjung sembuh. Akhirnya Pak Tani mengantar istrinya periksa ke puskesmas terdekat. Tak disangka-sangka, diagnosa dokter desa bahwa istri Pak Tani tertular virus berbahaya. Virus yang belum ada vaksinnya. Penyembuhannya, istri pak Tani harus dikarantina di rumah sakit kota. Mereka terpisah, Pak Tani tak bisa menemani istrinya pergi ke rumah sakit kota karena harus merawat dua petak tanah milik mereka. Tanah bertanam padi. Sumber kehidupan mereka.


Ada juga berita yang muncul bahwa Pak Tani sudah tidak dianggap lagi oleh anaknya. Pak Tani dan istrinya punya seorang anak perempuan yang sudah menikah dengan pria konglomerat. Mereka tinggal di kota Impian. Kota yang cukup jauh dari desa tempat Pak Tani tinggal. Sudah enam tahun anak Pak Tani tak pernah pulang. Si anak Pak Tani terlanjur jatuh cinta dengan pria yang sedang wisata di desanya waktu itu. Tapi anak Pak Tani tak pernah bercerita pada kedua orang tuanya kalau dia sedang jatuh cinta. Bahkan si anak juga tak pernah cerita pada si pria bahwa orang tuanya adalah petani di desa itu. Sudah lama menjalin cinta, si anak malah kawin lari dengan si pria. Dia meninggalkan orang tuanya tanpa pamit dan kawin lari dengan pria yang digandrunginya. Beberapa warga desa tahu itu, karena mereka pernah melihat si anak Pak Tani sedang bermesraan dengan seorang lelaki di gubug sawah. Bu Bidah adalah salah satu warga desa yang menyebar berita ini.


Berita lain tersebar mengatakan bahwa Pak Tani kehabisan jatah berasnya. Bagaimana tidak habis, sudah enam bulan tak ada hujan, tanah milik Pak Tani yang biasa digarap, sudah kering kerontang. Tanaman yang ditanam  disana mati semua. Termasuk padi sumber pangan sehar-hari Pak Tani. Warga desa ini terlalu miskin untuk saling menyumbang satu sama lain. Warga sudah cukup susah dengan kehidupannya masing-masing. Tak mungkin lagi membantu sesama warga lainnya. Bahkan hanya untuk sekedar berbagi nasi. Pak Tani rajin menyimpan hasil panennya untuk bertahan hidup sehari-hari. Tapi sudah enam bulan Pak Tani dan warga desa kesulitan pangan karena kekeringan. Alhasil, panen terakhir yang disimpan pak Tani sudah habis untuk penuhi jatah makan selama enam bulan terakhir. Itu kata bu Tina, yang menemukan Pak Tani tak sadarkan diri di gubug tuanya. Bu Tina sempat melihat gentong besar, tempat menyimpan padi di dalam gubug Pak Tani terbuka. Sudah kosong melompong. Hanya tinggal beberapa butir padi di dasar gentong besar itu.


Selama enam bulan terakhir, sejak ditinggal pergi istrinya, Pak Tani benar-benar berhemat dengan jatah beras simpanannya. Sehingga ia sangat perhitungan agar beras simpanannya mampu menemaninya bertahan sampai masa baik datang. Masa dimana ia bisa menanam padi lagi di dua petak tanah miliknya. Tapi tiga bulan terakhir, beras simpanan Pak Tani semakin menipis. Padahal ia sudah hitung dengan cermat bahwa seharusnya beras simpanannya akan cukup untuk satu tahun kedepan. Ia heran kenapa beras itu menyusut sangat banyak. Ia hanya tinggal sendiri dengan porsi makan yang sudah ia perhitungkan untuk bisa bertahan selama mungkin.


Pak Tani sering datang seorang diri menghabiskan waktu di gubug sawah, memandang tanah kosong miliknya sambil mengenang istri dan anaknya yang sudah pergi meninggalkan ia sendiri. Semenjak ditinggal istrinya, ia sering merenung sendirian seperti itu di sore hari menjelang malam. Jika matahari sudah redup dan langit mulai gelap, Pak Tani akan kembali ke gubug tuanya untuk menanak nasi. Sebagai santapan malamnya.


Sebenarnya sudah dua hari ia menahan lapar dan hanya minum air putih dari sumber air desa untuk obati rasa laparnya. Dua hari Pak Tani melakukan itu karena jatah berasnya benar-benar menipis. Sampai di malam sebelum Pak Tani meninggal, Pak Tani sedang berjalan dari tanah dua petak miliknya menuju gubug tuanya. Kali ini ia sengaja pulang terlambat setelah lama termenung di gubug sawah, ia hanya ingin tahu barangkali satu atau dua warga mengetahui kemana berasnya menghilang. Masih lima meter jauhnya, langkah Pak Tani terhenti karena ia melihat seorang wanita masuk mengendap-endap ke dalam gubug tuanya sambil membawa karung putih di tangannya. Pak Tani mendekati gubugnya dan tak sengaja wanita itu keluar saat Pak Tani sudah di depan pintu hendak membuka pintu gubugnya. Pak Tani kaget, ia melotot sambil bergumam “Bu Tina!” lalu Pak Tani tersengal-sengal seperti orang sesak napas dan jatuh tergeletak di tanah. Bu Tina yang juga kaget dengan keadaan itu, segera membawa Pak Tani masuk gubugnya. Bu Tina membaringkan Pak Tani tua itu di kasur kayunya dan meninggalkannya begitu saja sambil membawa kantong putih berisi beras curiannya. Kedua mata Pak Tani masih terbuka. Wajahnya menyiratkan rasa kaget yang ia rasakan sebelum napasnya habis.


Setelah Pak Tani dimakamkan esok harinya, semua warga masih geger dengan beberapa gosip dan berita yang tersebar. Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana Pak Tani meninggal malam itu. Hanya padi dalam kantung Bu Tina-lah yang tahu semua kejadiannya. Padi itu tahu segalanya, ia bisa jadi saksi jika bisa bicara. Bagaimanapun, padi itu jadi saksi bisu keburukan Bu Tina selama ini. Orang yang mencuri padi milik Pak Tani diam-diam.

Makam tempat Pak Tani bersemayam mulai sepi. Kerumunan warga sudah pergi ke rumah mereka masing-masing. Tak lama, seorang perempuan berpayung hitam sambil menggandeng anak kecil datang mendekati makam Pak Tani. Hanya dua petak sawah yang jadi saksi seorang perempuan itu datang ke makam Pak Tani. Dua petak tanah itu yang tahu siapa perempuan berpayung hitam. Kisah ini diceritakan secara diam-diam oleh padi di dalam gentong Pak Tani. Padi yang menjadi saksi dari sisa hidup Pak Tani.


"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.