Nia dan Rani - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Nia dan Rani

Karya: Khairul Afdhaliah



      Nia dan Rani, adalah dua orang dengan karakter berbeda yang sudah lama bersahabat. Persahabatan mereka sudah dimulai sejak mereka berumur 5 tahun. Orang tua Nia, adalah teman lama papa-nya Rani. Mereka menjadi lebih akrab setelah mulai masuk sekolah bersama-sama. Walaupun kenyataannya, Nia adalah cewek yang gampang marah dan iseng,  sedangkan Rani adalah tipe cewek yang penyabar dan perhatian, tetapi mereka tidak pernah mempermasalahkan perbedaan yag ada di antara mereka. Perbedaan itu malah dijadikan sebagai sesuatu yang istimewa dalam persahabatan mereka.


Hingga suatu hari ….


      Aryo mengendap-endap memasuki ruang kelas yang kosong. Ia mengambil tas seorang murid dan meletakkannya di atas meja. Hal berikutnya yang ia lakukan adalah mengeluarkan sebuah hp dari dalam tas tersebut. Namun, Rani yang saat itu kebetulan baru masuk ke dalam kelas, memergoki Aryo.


“Aryo? Ngapain kamu di situ? Itu kan tempat duduk Nia,” tanya Rani.


      Aryo kaget, ia berbalik dan buru-buru menyembunyikan hp itu di belakang tubuhnya.


“Eh, emm … nggak ngapa-ngapain, kok! A-aku cuma ….”


“Apa tuh yang ada di belakangmu?” potong Rani yang merasa penasaran sekaligus curiga.


“Apanya? Nggak ada apa-apa di belakangku,” kilah Aryo.


“Coba sini! Aku mau liat,” kata Rani sambil berusaha menarik tangan Aryo yang masih tersembunyi di balik punggungnya.


“Apa sih?! Udah Aku bilang kan, nggak ada apa-apa,” elak Aryo.


“Kalau emang nggak ada apa-apa, kenapa kamu nggak mau kasih liat ke aku? Apa sih yang kamu sembunyiin?” Rani masih berusaha menarik tangan Aryo dan setelah acara tarik-menarik itu berakhir, Rani akhirnya mengetahui benda apa yang disembunyikan oleh Aryo. Sebuah hp yang kini berpindah ke tangannya.


“Lho, Rani? Aryo? Kalian lagi ngapain sih, kalian nggak lagi berantem, kan?”


      Nia yang semula berniat makan di kantin, langsung mengurungkan niatnya saat ia tak sengaja melihat sahabatnya tampak sedang bertengkar bersama seseorang di dalam kelas.


“Eh, hp-ku kok ada di kamu?” tanya Nia merasa heran.


“Hp?” gumam Rani yang belum sadar kalau hp yang berada di tangannya adalah milik Nia.


“Dia mau nyuri hp kamu! Cewek ini pencuri! Kalau aku nggak mergokin dia, kamu mungkin udah kehilangan hp itu. Lebih baik laporin aja dia, biar tahu rasa!” tuduh Aryo seenaknya.


“Hah? Enggak! Bukan aku yang nyuri,” sanggah Rani cepat.


“Mana mungkin dia mau ngaku! Aku sendiri yang ngeliat dia diam-diam ngambil hp itu dari tas kamu.” kata Aryo semakin memojokkan Rani.


“Nia, beneran! Bukan Aku yang nyuri hp kamu.”


      Aryo kelihatan tenang-tenang saja meskipun dalam hati sudah sangat cemas, takut ketahuan oleh Nia kalau dia sedang berbohong. Dia bersyukur karena Nia tampaknya mempercayai perkataannya. Terbukti dengan raut wajah gadis itu yang kelihatan kesal dan sikapnya yang pergi begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata.




                                                                              *****

      Salah paham di antara mereka membuat Nia marah pada Rani. Dia tidak mau bicara atau berada di dekat Rani baik itu di kelas maupun di luar sekolah. Mereka sudah tidak bertegur sapa selama lebih dari seminggu. Padahal, sudah berkali-kali Rani berusaha menjelaskan semuanya pada Nia dan berkali-kali pula Nia megabaikannya.


      Hari itu, tidak seperti biasanya, Nia yang dikenal sebagai murid paling rajin, malah tak datang ke sekolah. Hal ini tentu membuat Rani cemas. Dia takut Nia sakit atau terjadi sesuatu padanya. Rasa cemas itu membuatnya melamun sejenak, memikirkan untuk mengunjungi Nia sekalipun mungkin Nia tak mau bertemu dengannya. Rani tidak menyadari kalau kelas sudah hampir kosong karena bel sudah berbunyi dari tadi. Gadis itu buru-buru membereskan bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.


“Em … Rani,” panggil Aryo.


“Ya?”

 

      Aryo tampak ragu untuk melanjutkan kata-katanya. Melihat sikap Aryo yang dianggapnya ‘aneh’ ia pun kembali bertanya. 


“Ada perlu apa?”


“Itu … sebenarnya … aku mau minta maaf sama kamu. Soal kejadian beberapa minggu yang lalu,” kata Aryo.


“Oke, aku maafin.”


     Aryo mengangkat wajahnya yang semula menunduk, menatap heran Rani yang kini tersenyum lembut ke arahnya.


“Ha? Gitu aja?” tanya lelaki itu bigung. 


“Memangnya kamu nggak marah sama aku?”


“Ya … nggak gitu juga. Marah sih jelas marah, lah.” Rani berkata. 


“Walaupun kamu udah nyuri dan malah nuduh aku sebagai pencuri, tapi aku tahu kamu sebenarnya bukan anak yang jahat. Apa yang kamu lakuin itu pasti ada alasannya, kan? Kamu itu orang baik. Kamu nggak mungkin mencuri, apalagi dari teman sendiri.”


“Iya, Ran. Aku terpaksa, Ran. Maafin aku ya.”


“Aku ngerti kok, setiap orang pasti pernah bikin kesalahan, tapi mencuri itu tetap aja perbuatan nggak baik. Janji ya, kamu nggak akan gitu lagi.”


“Janji, Ran. Aku janji. Makasih ya, Ran. Maaf karena aku nggak bisa ngelakuin apa-apa buat ngebantu kamu. Semoga Nia ngebatalin niatnya untuk pindah ke luar kota dan milih untuk tetap tinggal di sini.”


“Lho, bentar! Nia mau pindah? Ke mana? Kok mendadak gini?” tanya Rani yang benar-benar tidak tahu mengenai kabar kepindahan Nia.


“Kamu nggak tahu? Katanya mereka akan berangkat siang ini,” terang Aryo.


“Ya ampun! Kenapa nggak bilang dari tadi, sih?!”


      Rani menyambar tasnya, ia bergegas keluar dan melajukan sepeda-nya melewati gerbang sekolah secepat yang ia bisa. Aryo melihat jam tangan miliknya kemudian memandang Rani yang sudah semakin jauh dari sekolah.


“Aku harap kamu nggak telat, Ran.”


      Rani sampai di depan Rumah Nia. Namun, terlambat. Nia sudah masuk ke dalam mobil. Rani berusaha keras mengejar mobil Nia yang semakin menjauh.


“Nia! Nia tunggu!”


“Nia, bukannya itu Rani? Apa nggak sebaiknya kita berhenti dulu?” kata mama-nya Nia.


“Nggak usah, Ma. Kita jalan aja terus,” kata Nia berusaha terlihat tidak peduli.


      Mama-nya agak heran mendengar permintaan Nia yang bisa dibilang kurang baik untuk dilakukan, mengingat ada Rani yang sedang mengejar-ngejar mobil mereka dari belakang.


“Nia! Nia! Ni—aduh!”


     Papa Nia yang melihat bagaimana Rani jatuh—melalui kaca spion di mobilnya—segera berhenti. Nia yang juga melihatnya, bergegas turun dari mobil dan berlari menghampiri Rani.


“Bodo banget, sih?! Kamu sih pake acara ngejar-ngejar mobil orang sambil teriak-teriak, gini kan jadinya.” Nia membantu sahabatnya berdiri sembari sedikit mengomel.


“Kamu juga, kenapa gak bilang kalau mau pindah?!” Rani juga ikut mengomel.


“Kamu masih marah sama aku?” Nia menjawab pertanyaan itu dengan menggelengkan kepala.


“Kemarin, Aryo datang ke rumahku. Dia minta maaf dan nyeritain semuanya ke aku. Maaf ya, karena aku sempat nggak percaya sama kamu.”


“Tahu nggak? Aku sampe harus pura-pura jatuh dulu baru kamu mau berhenti. Kalau kamu udah nggak marah, tadi kenapa nggak mau berhenti, sih?”


“Lah, jadi ini anak tadi cuma pura-pura jatuh?” batin Nia.


“Aku udah mutusin untuk pindah, karena itu udah suatu keharusan dan demi memudahkan urusan pekerjaannya Papa. Susah banget tahu … butuh berhari-hari aku mikirin tentang keputusanku ini. Aku cuma takut seandainya aku minta papaku untuk berhentikan mobilnya, aku bakal goyah.” Nia menjelaskan.


“Kamu takut bakal kangen sama aku, kan?” canda Rani.


      Nia menanggapi candaan itu dengan candaan lainnya. Suasana menjadi sedikit lebih baik dari sebelumnya, hingga mama-nya melambaikan tangannya dari kejauhan sebagai tanda bahwa tiba waktunya untuk Nia pergi. Sebelum Nia kembali ke dalam mobil, Rani telah membisikkan sesuatu di telinganya. Sebuah janji yang akan gadis itu tagih saat Nia kembali lagi ke sini suatu saat nanti.




                                                                            *****

      Waktu terus berjalan, tak terasa sudah 11 tahun sejak kepergian Nia ke luar kota. Di usianya yang kini menginjak 22 tahun, Rani telah berhasil mewujudkan cita-citanya membangun sebuah restoran yang namanya sekarang sudah sangat terkenal di dalam maupun di luar kota kelahirannya.


      Saat ini, Rani sedang duduk di bangku ayunan di sebuah taman bermain yang berada tak jauh dari restorannya. Hembusan angin sore membelai wajahnya. Rani memejamkan matanya, mengingat kembali semua kenangannya sewaktu kecil saat bermain bersama sahabatnya di taman bermain ini.


“Bukannya kamu udah terlalu tua buat bermain ayunan di sini?”


      Suara itu? Suara yang selama 11 tahun ini tidak pernah ia dengar lagi—suara Nia.

Nia tertawa geli melihat wajah sahabat lamanya yang tampak benar-benar lucu saat ini.


“Hei, hei! Berhenti ngeliatin aku kayak gitu. Aku ini manusia bukannya hantu.”


“Nia!” Pekik Rani senang.


“Ya, ini aku. Udah lama ya kita nggak ketemu.”


“Udah lama banget … aku nggak nyangka bisa ketemu lagi sama kamu di tempat kayak gini. Makasih karena udah nepatin janji kamu.”


“Ternyata kamu juga nepatin janji kamu buat ketemu lagi di tempat ini.”


      Begitulah, pembicaraan mereka terus berlanjut. Rani sekarang tahu kalau sahabatnya adalah seorang pengusaha muda yang begitu sukses bahkan di usianya yang baru menginjak 22 tahun. Selama 11 tahun ini segala sesuatu menjadi berbeda. Sudah banyak perbedaan yang terjadi dan banyak pula perubahan yang telah mereka alami. Namun, hanya ada satu hal yang tak akan pernah berubah sampai kapan pun itu. Yaitu, persahabatan yang akan selamanya abadi di dalam diri mereka masing-masing.




"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.