NAINA, SI GADIS INTROVERT - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 NAINA, SI GADIS INTROVERT



Apa yang ada dalam pikiranmu jika mendengar kata 'Introvert'? Ya, mungkin banyak yang akan mengatakan 'Orang yang suka menyendiri'. Benar, biasanya seorang introvert lebih suka suasana yang sunyi. Ia juga menyukai hal-hal yang berhubungan dengan karya sastra, seperti puisi, cerpen maupun novel.


Dia, Gadis berkacamata yang acapkali menjadi korban bullying dari teman-teman sekelasnya. Sosoknya yang lemah membuat teman-temannya semakin gencar untuk mencemooh dirinya. 'Gadis bodoh' adalah julukan yang disematkan untuk seorang Naina, sebab dirinya selalu bertahan pada ranking terakhir.


Hidup di tengah-tengah keluarga yang tidak sehat, juga lingkungan sekolah yang turut membenci membuat gadis tujuhbelas tahun itu tumbuh menjadi seorang introvert. Tumpukan buku-buku novel adalah temannya setiap waktu. Ia akan melupakan segalanya hanya dengan membaca. Sesekali mencoba menulis, menuangkan imajinasi dalam bentuk cerita. Namun, siapa sangka hobinya yang gemar membaca kisah fiksi mengubah sikapnya menjadi aneh.


Tepat di anak tangga terakhir, lagi ... Ia menyaksikan drama keluarga yang tak kunjung usai. Gadis itu selalu bertanya-tanya dalam benak, mengapa keluarganya seperti ini? Tidak bisakah sehari saja ia melewati hari dengan kedamaian.


""Ma, Pa. Naina berangkat sekolah dulu.""


Sepasang suami istri itu sontak terdiam. Lantas keduanya hanya memberi tanggapan dengan sebuah anggukan. Tiada kehangatan di keluarga ini. Bahkan tak ada tradisi sarapan bersama sebelum memulai aktivitas seperti keluarga pada umumnya. Selalu saja sibuk dengan urusan masing-masing. Mamanya adalah seorang designer sedang papanya seorang CEO di sebuah perusahaan ternama. Soal harta, memang ia tak sekalipun merasa kurang, bahkan bisa dikatakan amat lebih dari cukup. Namun, bukankah seorang anak juga butuh perhatian dari orang tuanya?


Baru satu langkah Naina melewati pintu, sudah terdengar kembali keributan di dalam.


""Huft ..."" Naina menghela napas berat, mencoba menetralkan sesak di dada. Ia mendongak untuk menghalau air matanya agar tidak tumpah membasahi pipi.


""Kenapa Mama Papa enggak menyelesaikan masalah di kamar saja, kenapa harus di ruang tamu dengan intonasi suara tinggi. Enggak seperti keluarga lain yang mati-matian menyembunyikan pertengkaran dari sang buah hati, ini malah sebaliknya,"" gumamnya seraya melanjutkan langkah.


Telinganya sakit, hatinya berdenyut nyeri. Ia hanya butuh menenangkan diri, setidaknya selepas sekolah nanti.


***


""Naina!"" Suara tegas dari seorang guru mengagetkannya.


""Ngapain kamu menunduk sambil senyum-senyum. bukannya memperhatikan malah asyik sendiri. Ingat, nilai kamu itu jeblok, Naina,"" lanjut Guru itu.


""Baik, Bu. Maaf,"" jawab Naina lesu.


""Huuu ..."" Suara teman-temannya menyoraki Naina yang bertingkah aneh. Hal yang bisa ia lakukan hanyalah bersabar.


""Diam!"" Pinta Bu Guru pada siswa-siswi.


***


Di dalam kamar, Naina mencoba fokus belajar. Namun, lagi dan lagi, suara percekcokan orang tuanya sangat mengganggu konsentrasi dirinya. Ia mengacak rambutnya frustasi, menjambak pun memukul-mukul kepala sering ia lakukan. Terkadang tanpa sadar membenturkan jidat ke dinding hingga menciptakan lebam kebiruan. Matanya memancarkan luka yang begitu menyayat hati, cukup sudah ia mengalami tekanan batin selama dua tahun terakhir. Dengan langkah pasti, ia membuka pintu secara kasar. Tujuannya adalah menemui Mama dan Papa.


""Ma! Pa! Tidak bosankah kalian bertengkar setiap waktu, hah!?"" Teriaknya lantang sesampainya ia di ruang keluarga.


""Diam kau anak kecil."" Geram sang papa--Niko sambil menunujuk dirinya.


""Masuklah ke kamar, jangan ikut campur masalah orang tua!"" Mamanya--Sarah turut menimpali, matanya mendelik menatap Naina dengan tajam.


""Naina muak dengan semua ini! Adakah di antara kalian yang memikirkan perasaan Naina?Hati Naina sakit, selama ini apakah Mama Papa tahu bahwa buah hati kalian ini sangat kesepian, teman tak punya bahkan perhatian pun kasih sayang tak pernah Naina dapatkan! Hiks ..."" Luruh sudah air matanya.


""Mama ini sibuk, Naina. Bukankah kamu tahu sekarang mama adalah seorang designer terkenal, Mama banyak kerjaan. Ini juga demi kamu, Sayang. Mama cari uang untuk kamu.""


Kepalanya ia gelengkan, bukan uang yang dirinya inginkan. Naina hanya butuh kasih sayang.


""Iya, Papa tahu Mama sibuk. Tetapi pantaskah seorang istri tidak melakukan kewajibannya!?""


""Sudahlah, Pa, Mama capek. Enggak usah ungkit masalah itu lagi.""


Tak lagi menghiraukan pertengkaran mereka, Naina berlari menuju kamar menutup pintu lalu menguncinya. Ia berdiri di dekat jendela, menatap langit tanpa bintang itu. Hanya ada bulan sendiri.


""Besok adalah hari minggu. Akan kugunakan utuk menenangkan pikiran,"" lirihnya


***


Pilihannya jatuh pada Caffe Love Story. Weekend ini dirinya akan menghabiskan waktu di tempat yang baru pertama kali ia datangi. Caffe dengan gaya modern ini begitu menakjubkan. Banyak spot poto sangat menarik. Di tengah-tengah ruangan inipun terdapat kolam ikan mini yang dihuni ikan koi dengan berbagai warna.


Gadis itu mendaratkan bobotnya di bangku pojok kanan dekat jendela. Naina mengedarkan pandangnnya, ia menangkap sebuah tulisan 'Perpustakaan'  matanya berbinar dan senyumnya pun merekah.


Usai menyantap makanannya, ia melangkah menuju meja resepsionis.


""Permisi, kak. Apakah jika masuk perpustakaan itu harus bayar?"" Tanyanya pada orang yang bertugas.


""Oh, enggak kak. Itu adalah salah satu fasilitas yang Caffe ini berikan untuk para pengunjung,"" jawab petugas itu dengan senyum tipis.


""Wah ... Terima kasih, kak."" Ia gegas menuju ruang perpustakaan.


""Banyak banget buku ceritanya!"" Pekik Naina girang, layaknya anak kecil. Ia berjalan menyusuri rak-rak buku. Langkahnya terhenti pada rak nomor empat. Jemari mungilnya membuka-buka barisan buku itu. Lantas mengambil salah satu buku cerita yang menurutnya unik.


""Love a Prince,"" gumam Naina menyebut tulisan pada cover novel itu yang tak lain adalah judul.


***


""Selesai,"" ucapnya sembari menutup Novel itu. Tak terasa ia telah menghabiskan waktu selama tujuh jam dari pukul 08.30 WIB.


Cover berwarna biru lengkap dengan gambar seorang pangeran yang membungkuk seraya menyematkan cincin di jari manis Tuan Putri menarik perhatiannya. Ia terus memandangi Novel bergenre fantasy itu. Mengingat karakter Sang pangeran yang begitu menyayangi Tuan Putri, membuat gadis itu tersenyum sendiri.


""Maaf, kak. Apakah buku ini boleh saya bawa pulang?"" Tanya Naina di meja resepsionis.


""Kalau sekedar pinjam, boleh, kak. Namun, harus memenuhi beberapa peraturan.""


""Maksudnya ... Ini buat saya boleh enggak? Saya bayar.""


""Duh, enggak bisa, kak.""


""Tap--""


""Ada apa, ini?"" Sahut pria paruh baya memotong ucapan Naina.


""Eh, Pak Azzam. Ini, loh ada pelanggan yang meminta novel."" Pernyataan dari kakak resepsionis membuat Pak Azzam menoleh pada Naina, meneliti dari ujung kaki hingga rambut yang dikucir kuda, ada sedikit memar di jidat Naina. Ia pun melihat permohonan yang begitu besar di manik hitam gadis itu. Pak Azzam prihatin melihat kondisi Naina yang tampaknya gadis itu sebaya dengan anaknya.


""Siapa namamu?


""Naina.""


""Tak apa, kamu boleh ambil ini.""


Mendengar respon dari Pak Azzam wajah Naina menjadi ceria. ""Terima kasih, Pak,"" ucapnya seraya melenggang pergi.


""Sepertinya gadis itu memendam banyak luka, semoga kamu selalu baik-baik saja, nak,"" lirih Pak Azzam--Owner Caffe Love Story.


***


Naina memilih berjalan kaki sepulang dari caffe. Jarak ke rumahnya hanya sekitar tiga kilometer. Ia terus melangkah dengan lengkungan senyum yang tak pernah pudar. Tanpa sadar, rintik hujan mulai deras mengguyur bumi.


Duuaarr!


Suara petir menggelegar membuat Naina kalut, ia takut suara bising. Tetapi tiba-tiba ia tak merasakan tetesan air hujan. Naina mendongak dan mendapati seseorang yang berpenampilan ala kerajaan sedang memayungi tubuh ringkihmya. ""Pangeran,"" gumamnya menyebut sosok lelaki itu.

***


""Terima kasih, pangeran,"" ungkap Naina yang hanya dibalas dengan senyuman. Lantas ia beranjak masuk ke rumah. Bukan seperti biasa, gadis manis itu tampak lebih bahagia. Wajah murung yang selalu menghiasi kini sudah tak tampil lagi. Ia tidak menyangka sosok pangeran yang merupakan tokoh fiksi di sebuah Novel kini nyata, menemaninya. Ia merasa memiliki seorang teman. Namun, sosok Pangeran itu hanyalah halusinasi belaka. Naina, si gadis introvert itu tengah mengalami gejala 'Skizofrenia'.


Dimana penyakit itu merupakan gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguan ini menyebabkan penderitanya halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir dan perubahan perilaku. Naina benar-benar mengalami gejala itu, dari ia yang takut suara bising, hingga berperilaku aneh seperti memukul-mukul kepala dan membenturkannya ke dinding. Mungkin sebab tekanan batin yang kerap ia alami, membuat seorang Naina mengidap penyakit halusinasi itu. Orang tuanya pun turut keheranan saat mendapati Naina yang terkadang menangis, lalu tersenyum dan sesekali berbicara sendiri.


""Nak, bicara dengan siapa di kamar?"" Tanya mama Naina--Sarah di balik pintu kamar yang terkunci.


""Teman, Ma,"" sahut Naina singkat. Sarah heran, sejak kapan anaknya membawa seorang teman main ke rumah apalagi di kamar, ia menatap suaminya penuh tanya. ""Mungkin bicara di telepon, Ma,"" jawab Reno--Papa Naina. Sarah manggut-manggut menyetujui tebakan suaminya itu. Hari ini, mereka tampak lebih bersahabat.


***


""Hiks ... Pangeran, pagi ini Mama Papa bertengkar lagi."" Isak Naina setelah bel istirahat berbunyi. Suara tangisnya mengundang perhatian teman sekelasnya membuat mereka urung pergi ke kantin dan menjadikan Naina seperti sebuah tontonan. Naina terus meracau dengan berkali-kali menyebut nama 'Pangeran'. Terkadang ia menangis, dan ... Selanjutnya tertawa, dalam halusinaninya sosok lelaki itu tengah menghibur Naina dengan memberikan lelucon. Keanehan yang dilakukan oleh Naina tak luput dari pandangan teman-teman kelasnya.


""Dih, cewek bodoh itu sekarang makin aneh, gila, tuh pastinya,"" celetuk salah seorang siswi.


""Iya, tuh. Naina pasti stres efek terlalu sering baca cerita, mungkin dia cinta sama tokoh fiksi, jadi halu, deh,"" sahut lainnya yang diiringi gelak tawa. Penghuni kelas itu tak henti-hentinya menghujani Naina dengan cemoohan.


""Huu ... Naina gila!"" Seru mereka kompak. Pembullyan memang sering gadis introvert itu alami. Tetapi, tak pernah separah ini. Kata-kata kasar yang terlontar dari mereka membuat Naina lepas kendali.


Brak!


Tangan pungil itu menggebrak meja dengan sekali hentakan. ""Cukup! Kalian enggak boleh seenaknya menghinaku. Aku juga punya hati!"" Teriaknya lantang, dadanya kembang kempis. Seketika mereka terdiam.


""Kalian enggak pernah ngerasaain apa yang aku alami. Setiap hari harus menyaksikan pertengkaran, setiap hari hanya menerima pembullyan. Aku tahu, aku memang bodoh. Otakku lamban dalam berpikir. Tapi apa kalian tahu penyebabnya, enggak, kan? Kepalaku sakit, kawan! Enggak ada yang namanya konsenterasi jika harus menelan sebuah kenyataan menyaksikan keluarganya di ambang kehancuran, kalian jahat! Selama ini enggak ada yang mau berteman denganku dengan alasan bahwa aku bodoh. Sekarang aku mencintai tokoh fiksi kalian hujat juga, iya!? Mau kalian itu apa, sih!? dia nyata, dia pangeran--teman satu-satunya yang kupunya. Dia baik, enggak seperti kalian!"" Emosinya meletup-letup. Ia berteriak dengan air mata yang turut mengalir deras. Setelah mengatakan itu semua, Naina beringsut mundur, berbalik lalu mengambil langkah lebar meninggalkan kelas yang seketika hening. Di sepanjang koridor sekolah tak henti-hentinya Naina mendapat tatapan aneh dari siswa siswi. Perilaku itu juga tertangkap oleh penglihatan Guru-guru. Naina tak menghiraukan itu. Ia terus melangkah dengan tujuan entah.


***

""Anak bapak ibu sepertinya batinnya tertekan.""


Penjelasan Kepala Sekolah terus terngiang di pikiran kedua orang tua Naina. Mereka diberitahu oleh pihak sekolah bahwa telah terjadi sesuatu pada Naina. Setelah ini ia akan membawa Naina ke Psikiater.


""Naina sayang, ayo ikut mama papa."" Sarah menyadari penyebab Naina mengalami tekanan batin. Ini terjadi karena pertengkarannya dengan suami. Sekarang Sarah dan Niko berjanji akan lebih perhatian kepada buah hati mereka. Naina berjalan dengan tatapan kosong menuju orang tuanya berada.


Bruk!


""Naina!"" Seru orang tua Naina.


***


""Maaf, Anak ibu tidak bisa terselamatkan. Pasien mengidap kanker otak stadium akhir. Kanker sudah menyebar ke seluruh jaringan terdekat otak dan sudah menggerogoti tulang sumsum belakang.""


Deg!


""Tidak, ini tidak mungkin, kan, Dok!?"" Teriak Sarah. Sedangkan Niko mencoba menenangkan sang istri.


Tangan Sarah perlahan menyibak kain putih penutup tubuh putrinya, ia menatap lamat wajah pucat Naina. Air matanya sudah tak terbendung lagi. Pun dengan papa Naina, bulir bening itu enggan berhenti menetes. Penyesalan berkali-kali lipat mereka rasakan, bagai dihujam belati, hati mereka tertusuk; berdarah-darah. Sakit ... Teramat. Buah hati semata wayangnya kini telah berpulang meninggalkan sejuta kesedihan.


""Nak, bangun. Mama mohon, hiks ...""


""Iya, sayang. Papa berjanji akan sangat menyayangimu.""


Nasi sudah menjadi bubur. Sebagai orang tua harusnya bisa mengayomi, menjadi pelindung, teman sekaligus guru bagi anak-anaknya. Bukan malah menghancurkan hatinya dengan perlakuan yang tak sepantasnya seorang anak dapatkan. Sejatinya seorang anak sangat membutuhkan perhatian pun dengan kasih sayang.



TAMAT

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.