MONASRITA - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


MONASRITA


Seorang gadis berusia sekitar 17 tahun sedang melintasi jembatan gantung dengan menggunakan sepeda ontelnya. Sepagi ini, dirinya harus berangkat sekolah yang cukup jauh dari rumahnya. Jembatan gantung itupun sudah begitu ramai di lintasi beberapa kendaraan. Bahkan, di pinggir jembatan khusus untuk pejalan kaki, sudah banyak warga sekitar yang melintasinya. 


TIN! TIN!

Tiba-tiba saja, terdengar bunyi klakson motor dari arah belakang.


""Asri! Ayo ikut aku aja. Supaya cepat sampai,"" ajak seorang laki-laki menggunakan seragam sekolah yang sama dengan dirinya. Gadis yang bernama, Monasrita dan biasa di panggil 'Asri' itu menoleh ke arah sumber suara kemudian tersenyum dan langsung menghentikan ontelan sepedanya.


""Erdin, sudah berapa kali aku bilang? Selagi aku masih punya kendaraan yang bisa aku pakai, jangan paksa aku buat terus ikut kamu,"" jelas Asri kepada laki-laki yang mengendarai motor Vixion itu.


""Iya, aku tau. Tapi, memangnya kamu nggak mau cepat sampai? Masih jauh banget kalau harus naik sepeda,"" ucap Erdin sambil menghentikan motornya.


""Enggak apa-apa, Erdin. Tinggal beberapa menit lagi juga sampai. Kamu duluan aja sana, ngapain berhenti di tengah jalan?"" ucap Asri sembari menarik stang motor milik, Erdin.


""Aku nggak bakal pergi kalau kamu nggak mau ikut aku,"" jelas Erdin dan langsung melipat kedua tangannya di dada. Asri terlihat bingung dengan tingkah laku sahabatnya. Dirinya melihat sekitar untuk mencari tempat agar bisa menitipkan sepeda ontel nya itu.


""Kayaknya nggak bisa, Er. Sepedaku masa harus di tinggal di sini? Nanti kalau hilang gimana?"" ucap Asri tak meyakinkan bahwa harus meninggalkan sepedanya yang jauh dari sekolah.


""Udah tenang aja. Kamu coba titip di ruko itu, lagian area di sini ramai,"" Erdin menunjukkan salah satu ruko yang baru saja di buka oleh pemiliknya. Asri masih tampak ragu harus meninggalkan sepedanya. Erdin tersenyum sembari menepikan motornya di pinggir jalan, kemudian turun dari motor dan langsung mengambil alih sepeda yang masih di tunggangi, Asri itu.


""Eh, mau ngapain?"" tanya Asri yang kebingungan. Pasalnya, Erdin menarik stang sepedanya.


""Kamu turun dulu, gimana caranya aku mau titipkan sepedamu kalau kamu aja masih nggak mau turun?"" Asri mengangguk seperti sudah paham apa yang di maksud, Erdin. Dirinya pun segera turun dari sepedanya dan memberi alih pada Erdin yang langsung menitipkan sepedanya pada pemilik ruko di pinggir jalan itu.


Setelah mendapat persetujuan dari sang pemilik ruko. Erdin segera kembali dan langsung menunggangi motor Vixion nya, tak lupa memakai helm. Asri masih diam di tempat. Dirinya bahkan sesekali melihat sepedanya yang terparkir disamping ruko. Erdin tersenyum memperhatikan Asri lewat spion motornya.


""Mau sampai kapan berdiri di situ? Ayo cepat naik. Nanti keburu telat,"" Asri mendapati Erdin yang sedari tadi memperhatikannya dari spion. Dengan cepat, Asri meraih helm yang di berikan oleh, Erdin. Kemudian dirinya langsung menunggangi motor sahabat nya itu. Motor Erdin pun melaju meninggalkan tempat. Ini bukan kali pertama Asri ikut mengendarai motor sahabat nya, dan juga ini untuk ketiga kalinya Asri setuju ikut bersama, Erdin sahabat nya.


Sepulang dari sekolah. Asri masih bersama Erdin dengan motor Vixion nya. Awalnya, Erdin berniat mengantar Asri sampai di rumah. Namun, Asri menolak ajakan Erdin. Karna, Asri tidak ingin merepotkan sahabatnya itu. Apalagi harus meninggalkan sepedanya di ruko.


Sesampainya di rumah. Asri memarkirkan sepedanya di halaman depan rumah. Sebelum beranjak masuk, Asri mengikat rambut panjangnya yang berwarna coklat itu. Setelah itu, dirinya berniat masuk ke dalam rumah. Namun, seorang wanita berumur sekitar 40 tahun baru saja keluar dan memberikan ekspresi wajah tak suka pada, Asri. Bisa di tebak, wanita itu ialah Ibu tiri dari, Asri. Tanpa berpikir panjang. Asri bersalaman pada Ibunya tak lupa dengan senyum manis di pipinya.


""Selamat sore, Bu.""


""Sore,"" balas Ibunya dengan nada ketus.


""Ini, belikan ibu martabak spesial dua. Uang ibu kurang, nanti kamu tambahin pake uang mu."" Asri menerima uang 25 ribu rupiah itu dari ibunya. Setelah itu, dirinya langsung beranjak pergi tak lupa berpamitan dan mengendarai sepeda kesayangannya.



Hari semakin gelap. Asri menikmati angin sembari mengayuh sepedanya pelan. Dari jarak jauh, Asri bisa melihat seorang anak laki-laki sedang menangis sendirian di taman gang kecil rumahnya. Tanpa berpikir panjang, Asri langsung menghampiri anak kecil itu dan memarkirkan sepedanya di dekat salah satu tempat duduk yang berada di taman tersebut.


""Hai, kamu lagi apa di sini sendirian?"" tanya Asri sembari mensejajarkan tubuhnya pada anak kecil itu. Anak laki-laki itu menggeleng dan masih menangis. Asri mengusap kepala anak itu dengan lembut.


""Nama kamu siapa?"" tanya Asri lagi dengan nada lembut. Anak kecil itu mulai mendongakkan kepalanya dan menatap Asri dengan pipi basah akibat air mata yang terus mengalir.


""Nama aku Vino, Kak. Vino takut disini sendirian, hiks-hiks..."" Asri tersenyum manis pada anak laki-laki yang bernama, Vino itu. Kemudian tangannya mengusap lembut pipi Vino yang masih menangis itu.


""Vino, jangan takut, ya. Ada aku disini, kamu mau aku antar pulang?"" Vino menggelengkan kepalanya cepat. Menandakan dirinya tak ingin pulang. Asri sedikit kebingungan, kenapa anak kecil yang berumur sekitar 5 tahun ini tidak ingin di antar pulang. Bahkan, hari pun sudah semakin gelap.


""Kenapa Vino nggak mau pulang? Katanya takut sendiri disini?"" tanya Asri penasaran.


""Vino takut di marahin tante kalau pulang malam-malam. Terus, nanti Vino nggak di kasih makan kalau pulangnya malam-malam,"" mendengar penjelasan dari Vino, Asri khawatir jika yang di katakan anak kecil itu benar. Asri melirik satu bungkus martabak yang di gantung tepat di stang sepedanya.


""Vino, sebentar, ya. Kamu tunggu disini dulu jangan kemana-mana,"" pinta Asri dan mendapat anggukan kepala dari Vino. Asri tersenyum, kemudian dirinya beranjak untuk mengambil bungkus martabak yang tak jauh dari dirinya. Setelah itu, Asri kembali mensejajarkan tubuhnya pada, Vino.


""Vino, ini buat kamu makan, ya. Jadi, kalau kamu pulang ke rumah nggak perlu takut lagi sama tante mu,"" Asri memberikan bungkus martabak itu kepada, Vino.


""Ini buat Vino, Kak?"" tanya Vino dan mendapatkan senyuman sebagai jawaban dari, Asri.


""Terimakasih, Kak. Vino jadi punya makanan,"" ucap Vino kegirangan sambil mengusap air matanya dengan tangan mungilnya. Asri yang melihatnya pun tersenyum.


""Karna sudah dapat makanan, Vino mau pulang 'kan?"" tanya Asri dan di balas anggukan kepala, Vino. Asri membantu Vino berdiri. Kemudian dirinya mengantar anak kecil itu pulang tak lupa mengunakan sepedanya.


Malam semakin dingin. Asri yang masih menggunakan seragam sekolah SMA baru saja tiba di rumahnya. Sebelum mengetuk pintu, Asri menghembuskan nafasnya kasar. Dirinya saat ini tidak membawa martabak yang di pesan oleh ibunya. Mau tidak mau, Asri pun akan menanggung resiko nya. Asri baru saja berniat untuk mengetuk pintu. Namun, pintu itu sudah terbuka dan menampakkan seorang gadis seusianya.


""Lama banget kamu pulang, habis darimana? Pasti pacaran sama, Erdin,"" ucap gadis dengan rambut pendek sambil menatap Asri judes.


""Dea? Maaf, aku pulangnya lama,"" ucap Asri seadanya. Tanpa harus memberikan penjelasan yang sebenarnya terjadi.


""Ck, mana martabak spesial pesanan ibu? Ada dua loh, ibu satu sama aku satu,"" ucap gadis yang di sapa 'Dea' itu. Matanya terus mencari dua bungkus martabak spesial yang seharusnya di bawa, Asri.


""Sekali lagi aku minta maaf. Martabaknya habis, dan ini uangnya,"" Asri memberikan uang senilai 25 ribu rupiah itu pada, Dea.


""Astaga, yang benar aja? Kamu lama-lama di luar terus nggak bawa martabak?! Pasti jalan terus 'kan kamu sama, Erdin?!"" Asri memilih untuk diam. Apa yang di katakan dirinya tidak sepenuhnya benar dan tak sepenuhnya bohong. Pasalnya, martabak spesial yang ia beli hanya tersisa satu. Dan itupun diberikan kepada anak kecil yang takut tidak di beri makan oleh tante nya. 


""Maaf, ya, Dea. Besok sehabis pulang sekolah aku belikan lagi. Kalau gitu, aku masuk dulu,"" setelah mengatakan itu. Asri meninggalkan Dea yang masih berdiri di depan pintu rumahnya.


Keesokan harinya, seperti biasa. Asri selalu berangkat sekolah dengan sepeda kesayangannya. Terkecuali dengan, Dea. Saudara tirinya. Dea selalu di manjakan oleh ibunya dengan berangkat menggunakan taxi setiap hari. Hal itu tak mempengaruhi, Asri. Dirinya sama sekali tidak malu harus mengendarai sepeda ontel setiap berangkat sekolah. Bahkan, sepeda itu adalah salah satu hasil jerih payahnya selama ia mendapatkan beasiswa di sekolah. Dan pastinya, Asri tak ingin menyia-nyiakan jerih payahnya sendiri. Asri tumbuh besar di salah satu kota. Sedari SD kelas-3 sampai dengan SMA hidup bertiga dengan Ibu tiri dan saudara tirinya. Asri tak pernah merasakan sosok orang tua kandungnya. Bahkan, Ibu tirinya sendiri mengatakan bahwa kedua orang tuanya meninggal. Dari umur 8 tahun, Asri di rawat oleh Kakek dan neneknya di kampung. Setelah kematian Kakek dan neneknya, ibu tirinya mengambil alih untuk merawatnya. Walau dirinya tak mengenal siapa orang tua kandungnya, Asri tetap tumbuh besar menjadi anak yang cantik, mandiri, dan ramah pada semua orang. Sampai saat ini, Asri belum pernah mendapat teman atau sahabat perempuan di kalangan masyarakat maupun di sekolah. Asri hanya memiliki satu sahabat laki-laki yang begitu baik kepadanya. Erdin Pradika, sosok laki-laki baik, tampan dengan perawakan tinggi sekaligus kaya-raya. Saking dekatnya mereka, satu sekolah bahkan di lingkungan rumah Asri mengira mereka berdua pacaran. Nyatanya, mereka hanya sebatas teman dekat atau bisa dibilang sahabat. 


Asri duduk sendiri di salah satu bangku taman sekolahnya. Tak ada yang menemani dirinya saat ini. Ia sedang fokus membaca salah satu buku materi untuk pelajaran selanjutnya. Jam istirahat seperti ini, ia gunakan sebaik mungkin. Berbeda dari siswa yang lainnya. Di saat jam istirahat, mereka habiskan untuk pergi ke kantin atau bahkan hanya main-main di kelas dan di taman. Asri adalah salah satu murid pintar di sekolahnya. Ia selalu mendapat peringkat-1 di kelas. Dari SMP Asri bercita-cita menjadi seorang Dokter. Alasannya karna, dirinya ingin suatu saat nanti bisa membangun salah satu Klinik kesehatan gratis. Ia ingin membantu orang-orang di luar sana yang membutuhkan pengobatan secara gratis. Asri tahu betul rasanya kehilangan sosok orang yang paling di sayang dalam hidupnya. Maka dari itu, dirinya bercita-cita untuk menjadi seorang, Dokter.


""DORRR!"" tak lama kemudian, Asri di kejutkan dengan kedatangan, Erdin. Asri menghembuskan nafasnya dan menggelengkan kepalanya heran pada sahabatnya itu.


""Serius banget, Bu. Belajar apasih?"" tanya Erdin kemudian duduk di samping, Asri.


""Biasa, fisika. Anak IPS kayak kamu mana tau, 'kan?"" ucap Asri sedikit meledek sahabatnya. Sudah pasti mereka beda kelas. Dimana, Asri mengambil jurusan IPA sedangkan Erdin, IPS. 


""Hahaha, iya-iya aku ngaku nggak ngerti sama pelajaran anak, IPA. Padahal aku masuk IPS buat menghindari hitung-hitungan. Eh, malah ketemu Akuntansi,"" keluh Erdin sembari memasang wajah cemberut. Asri yang melihat hanya menggelengkan kepalanya.


""Katanya mau jadi pengusaha? Ya, mau nggak mau harus jalanin aja, hehehe..."" ucap Asri tertawa kecil. Kemudian Erdin memperhatikan nya.


""Asri, aku mau ngomong sesuatu,"" ucap Erdin mulai serius. Asri mengangguk tetapi matanya masih fokus membaca buku yang ada di tangannya.


""Ngomong apa, Er? Ngomong aja. Aku dengerin kok,"" belum terdengar sama sekali suara, Erdin. Asri pun memutuskan untuk menutup bukunya kemudian menatap wajah sahabatnya itu dengan serius. Erdin mengalihkan pandangannya. Seketika dirinya tak berniat untuk mengatakan apapun. Asri terlihat bingung, kenapa sahabatnya ini tiba-tiba mengalihkan pandangan darinya.


""Kenapa nggak jadi ngomong?"" tanya Asri lembut. Kemudian Erdin menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Asri mengangguk paham dan sembari mengembuskan napasnya.


""Oke, karna kamu nggak mau ngomong. Jadi, aku boleh ngomong sesuatu, 'kan?"" ucap Asri membuat Erdin menatapnya lagi kemudian di balas anggukkan kepala Erdin sebagai jawaban.


""Erdin, kamu harus jadi orang yang baik, ya. Aku mau Erdin yang aku kenal nggak bakal berubah suatu saat nanti. Di saat kamu berada di atas, jangan sampai kamu melupakan atau melukai perasaan orang-orang yang ada di bawah mu. Semoga, cita-cita mu yang ingin menjadi pengusaha sukses tercapai. Aku bakal selalu dukung kamu di mana pun aku berada. Entah masih ada di samping mu, atau bahkan jauh dari kamu. Ingat pesan ku, ya. Jangan berubah, jangan jadi orang yang angkuh. Tetap rendah hati. Karna, kamu orang yang paling baik yang pernah aku temui,"" mendengar penjelasan Asri. Membuat Erdin seperti merasakan bahwa dirinya dan Asri akan berpisah suatu saat nanti. Saat ini, dirinya seperti ingin menangis setelah mendengar ucapan sahabat perempuan nya itu. 


""Asri, kamu ngomong apasih?! Kamu nggak bakalan pergi jauh dari aku! Dari sekarang atau bahkan sampai kita lulus nanti! Kita akan terus sama-sama!"" dengan cepat, Erdin memeluk sahabatnya itu. Ini kali pertama dirinya berani memeluk gadis yang ia kenal selama masuk di SMA itu. Asri pun membalas pelukan, Erdin. Tangannya mengelus pundak sahabatnya. Rasanya, sangat berat untuk Erdin melepaskan pelukan hangat ini. Tak ada yang menyangka, ucapan demi ucapan yang di lontarkan Asri membuat dirinya seketika menangis. Asri merasakan hal itu, kemudian dirinya pun melepaskan pelukannya.


""Sudah, nanti ada yang lihat. Aku nggak mau nanti di salahin kalau habis buat kamu nangis,"" ucap Asri sedikit menggoda sahabatnya itu. 

""Sudah, yuk. Kita ke kelas, sebentar lagi masuk,"" Asri beranjak berdiri kemudian menjulurkan tangannya pada, Erdin. Tak perlu berlama-lama, Erdin pun beranjak dari duduknya sambil menggenggam tangan, Asri. Setelah itu, mereka meninggalkan taman dan kembali ke kelas masing-masing.


7 tahun kemudian. Seperti yang di katakan, Asri. Erdin menjadi salah satu penerus perusahaan milik orang tua nya. Tidak hanya itu, Erdin memiliki banyak usaha di dalam maupun di luar negeri. Saat ini, Erdin baru saja selesai dengan pertemuannya bersama salah satu kolega dari, Jepang. Dirinya beranjak keluar dari ruang kerjanya sambil memainkan handphone seperti ingin menghubungi seseorang. 


""Halo? Kamu dimana? Oh, ketemu di cafe dekat kantor aku aja? Aku jemput, ya? Ya, sudah kalau gitu. Aku tunggu, ya di cafe. Oke, kamu hati-hati juga di jalan,"" Erdin baru saja selesai menghubungi seseorang. Kemudian di sampingnya, terdapat seorang gadis berambut panjang sebahu menggunakan pakaian rapi. Bisa di tebak, itu adalah sekretaris, Erdin.


""Marta, saya tinggal dulu, ya. Kamu siapkan shedule penerbangan saya ke Jepang untuk besok. Untuk saat ini kamu istirahat dulu saja tidak perlu ikut saya. Saya mau bertemu seseorang spesial di hidup saya dekat sini,"" setelah mengatakan itu. Erdin meninggalkan sekretaris nya tak lupa dengan senyuman di wajahnya. 


Saat ini, Erdin sudah berada di cafe dekat kantor nya selama lebih dari 1 jam. Seseorang yang ia tunggu, tak juga kunjung datang. Dirinya gelisah, sudah beberapa kali dirinya menghubungi seseorang itu namun handphone nya tidak aktif. Ada rasa khawatir yang menghantui pikiran nya saat ini. Tak lama kemudian, Marta Sekretaris Erdin datang dengan terburu-buru. Erdin terkejut melihat kedatangan Sekretaris nya itu. 


""Mohon maaf sebelumnya, Pak. Saya datang tiba-tiba kesini tanpa seizin bapak,"" ucap Marta dengan terengah-engah. Erdin pun penasaran apa yang sebenarnya terjadi.


""Pak, saya dapat kabar dari Rumah sakit Pelita bahwa Ibu Monasrita pingsan selama perjalanan menuju kesini. Dan sekarang keadaannya sedang kritis,"" setelah mendengar ucapan Sekretaris nya. Erdin sontak terkejut dan langsung berdiri dari tempat duduknya. 


""Ayo cepat Marta, kita ke Rumah sakit sekarang!"" Erdin keluar dari Cafe itu dengan rasa sakit di dadanya. 


Sesampainya di rumah sakit. Erdin melihat beberapa orang menangis di depan ruangan IGD. Mata Erdin tertuju pada sepasang suami istri yang sedang menangis histeris. Baru kali ini, Erdin melihat orang yang sama sekali tak dikenali itu. Erdin segera mendekatkan dirinya pada, Dea. Saudara tiri, Asri. Sudah bisa di tebak, Dea juga menangis saat ini. Bagaimana tidak, orang yang sedang berada di dalam IGD itu adalah saudaranya, walaupun mereka hanya sebatas saudara tiri. 


""Dea? Gimana keadaan, Asri? Kenapa Asri bisa tiba-tiba kritis?"" tanya Erdin berusaha setenang mungkin. Dea menghapus air matanya. Kemudian menggelengkan kepalanya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Erdin melihat ke arah yang di tunjukkan, Dea. Terdapat dua orang tua yang tak ia kenali itu adalah orang tua kandung, Asri. Pantas saja, dirinya sama sekali tidak mengenali mereka. 


Tiba-tiba saja, sistem triase IGD yang awalnya berwarna merah berubah menjadi hitam. Sontak keluarga Asri semakin menangis histeris, begitupun dengan, Erdin. Dokter pun keluar dari ruangan, dengan cepat kedua orang tua Asri mendekati Dokter yang masih menggunakan seragam medis. 


""Dokter, anak saya selamat, 'kan, Dok?"" tanya seorang pria paruh baya yang sudah pasti Ayah kandung, Asri. Dokter itupun menghembuskan napasnya. 

""Maaf, Pak, Bu dan semuanya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa ananda, Asri. Tetapi, Tuhan berkehendak lain. Apa bisa bapak dan ibu dari ananda Asri ikut saya keruangan. Ada satu hal yang saya ingin sampaikan,"" ucap Dokter itu. Kemudian meninggalkan ruangan IGD dan di ikuti oleh kedua orang tua kandung, Asri. Sekarang hanya tinggal Erdin, Marta, Dea, dan juga ibunya. Erdin diam mematung, kakinya begitu lemas mendengar perkataan Dokter bahwa sahabatnya itu sudah tidak bisa di selamatkan. Tak lama kemudian, jenazah Asri keluar dari ruangan dan di bawa oleh beberapa tenaga medis. Erdin masih tak percaya sahabatnya itu harus pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya. Erdin mendekati tubuh Asri yang begitu putih pucat. Erdin menyentuh pipi sahabatnya itu, kemudian meneteskan air mata. Wanita yang selama ini ia dekati hanya, Asri. Bahkan, Erdin belum sempat bertemu dengan Asri selama mereka sibuk dengan kuliahnya masing-masing. Dan saat ini, mereka memutuskan untuk bertemu kembali. Namun, takdir mengatakan lain. Asri lebih dulu meninggalkan Erdin yang bahkan belum sempat bertemu untuk terakhir kalinya.


""Asri, kenapa kamu pergi ninggalin aku?! Kamu harus jadi Dokter, Asri! Kamu harus ada di samping aku terus! Kamu sudah janji sama aku, kalau aku sakit nanti. Kamulah yang rawat aku, Asri! Kamu juga ingin punya klinik kesehatan, 'kan? Jadi, jangan tinggalin aku secepat ini, Asri!"" Erdin tak bisa menahan rasa sakit di dadanya. Dea pun berusaha menenangkan Erdin agar ia bisa melepaskan kepergian, Asri.


Di sinilah mereka sekarang. Di pemakaman, Asri. Pemakaman itu sudah sepi. Hanya tinggal kedua orang tua kandung Asri dan juga Erdin disini. Ayah Asri menepuk pundak, Erdin. Kemudian mensejajarkan dirinya di samping Erdin sambil melihat batu nisan yang bertuliskan nama ""Monasrita Binti Khusein"". 


""Nak, siapa nama kamu?"" tanya Ayah Asri pada, Erdin. Erdin pun menoleh ke arah sumber suara. Kemudian dengan cepat Erdin mengusap pipinya yang di banjiri air mata itu.


""Erdin, Om..."" jawab Erdin seadanya. Dan dibalas anggukan kepala oleh Ayah, Asri.


""Erdin, apa kamu tahu kalau Asri meninggal karna penyakit?"" spontan Erdin menatap Ayah Asri dengan serius. Nyatanya, dirinya sama sekali tidak tahu sahabat nya itu punya penyakit. 


""Hmm, begitu rupanya. Ternyata bukan hanya Om dan Tante yang nggak tahu soal ini. Tapi kamu juga.""


""Memangnya Asri punya penyakit, Om?"" tanya Erdin penasaran. Belum mendapat jawaban, Ayah Asri malah meneteskan air matanya. 


""Iya, Nak. Kata Dokter, Asri mengidap gangguan Mental Akibat Kehilangan orang-orang yang dia sayang. Namanya, Prolonged Grief Disorder. Karna, Asri mengira kami berdua meninggal karna cerita dari ibu tirinya. Dan di saat itu juga, Kakek dan neneknya meninggal.""


""Dokter bilang, Asri mengidap gangguan mental ini saat masih berumur 4 tahun, dan baru-baru saja dirinya mendapatkan serangan jantung. Ibu tirinya sudah cerita sama saya, setiap Asri sendirian di kamar, dia selalu menangis bahkan sampai dirinya merasa lelah dan tertidur. Tapi, saat dirinya berinteraksi dengan orang, dia seperti biasa-biasa saja. Saya merasa bersalah dengan anak saya sendiri. Tidak seharusnya saya meninggalkan dirinya hidup bersama ibu tirinya itu,"" Ayah Asri dan ibunya tak kuasa menahan tangis. Mereka berdua sama-sama merasa gagal menjadi orang tua yang baik.


""Apa alasan om sampai meninggalkan Asri hidup dengan keluarga tirinya? Dan bagaimana bisa Asri punya ibu tiri? Apa om menikah dua kali? Maaf kalau saya lancang menanyakan soal ini,"" tanya Erdin yang semakin penasaran dengan semua masalah yang terjadi.


""Iya, saya menikah 2 kali. Ibunya Dea sebenarnya istri pertama saya. Saya di jodohkan oleh Almarhum ayah saya. Saya sama sekali tidak mencintai nya dan memutuskan menikah lagi dengan ibunya, Asri. Dan karna itulah ayah saya jatuh sakit kemudian meninggal karna tahu saya menikah lagi,"" jelasnya.


""Lalu, bagaimana ceritanya Asri bisa tinggal sama, Dea?"" tanya Erdin yang masih penasaran dengan semua cerita kehidupan sahabatnya itu.


""Alasan saya meninggalkan Asri hidup dengan ibu tirinya karna, ibu tirinya takut jika saya tidak bertanggung jawab atas menafkahi, Dea anak saya. Jadi, saya memutuskan untuk meninggalkan Asri hidup dengan mereka. Tapi, semua itu kesalahan besar saya. Saya merasa bersalah dengan diri saya sendiri, saya tidak bertanggung jawab terhadap anak-anak saya. Saya menyesal, Nak..."" mendengar penjelasan dari Ayah, Asri. Erdin semakin merasakan kesedihan yang mendalam. Bagaimana bisa wanita seperti Asri menghadapi ujian hidup ini.


""Ya, sudah kalau begitu. Erdin, Om dan Tante pamit duluan, ya. Belajar dari, Asri. Jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Asri di sana sudah tenang, walau dirinya belum pernah melihat orang tua kandungnya. Tapi, kami berdua yakin. Asri tidak mau orang yang ia sayangi merasakan hal yang sama seperti dirinya. Kami duluan, ya..."" setelah mengatakan itu, kedua orang tua Asri meninggalkan Erdin sendiri di pemakaman. Erdin tersenyum sambil mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Asri disana.


""Asri, kamu yang tenang, ya disana. Kamu sudah nggak merasakan sakit lagi, dan kamu sudah nggak merasa terganggu lagi sama penyakit yang kamu derita. Aku sayang sama kamu, Asri. Maaf kalau aku nggak jujur sama perasaan ku waktu itu. Rasa ini, bukan rasa sayang terhadap sahabatnya. Melainkan, rasa sayang ingin memiliki mu seutuhnya.""


""Tapi, Tuhan lebih sayang sama kamu. Aku nggak akan pernah lupain sosok wanita kuat yang pernah aku temui. Sosok gadis baik berusia 17 tahun dulu yang aku temui di SMA. Gadis yang nggak pernah lepas senyumannya. Aku nggak akan lupain kenangan yang pernah kita buat dulu. Sudah dulu, ya. Aku pamit. Aku akan berusaha ikhlas menerima kepergian mu. Kamu juga nggak mau 'kan kalau aku terus sedih? Maka dari itu, aku belajar dari kamu. Bahwa, hidup harus terus berjalan tanpa harus berlarut lama dalam kesedihan. Aku pergi, ya. Sampai jumpa di lain waktu cantiknya, Erdin..."" setelah mengatakan itu, Erdin memerintahkan Marta Sekretaris nya untuk membawakan se-bucket bunga. Kemudian Erdin meletakkan bunga mawar itu tepat di dekat batu nisan yang bertuliskan nama, Asri. Erdin pun beranjak dari tempatnya. Lalu tersenyum masam dan meninggalkan pemakaman itu.

-Tamat-"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.