https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:
Maafkan Ibu, Nak
Karya : Yulia Lutfiatun Hasna
""Perutku lapar, Bu,"" ucap gadis tujuh tahun itu sambil memegangi perutnya yang
lapar. Sementara wanita paruh baya yang ia panggil ""Ibu"" masih diam tak berkutik.
Bukan! Bukan karena jahat, namun memang tak ada sebutir nasi di hadapannya. Sama
sekali tak ada makanan yang bisa mengganjal perut laparnya.
Zainab, begitulah nama gadis kecil itu. Gadis yang begitu patuh dan hormat pada sang
Ibundanya. Sebab, ia selalu ingat akan nasihat almarhum Bapaknya, ""Nak, syurga itu
di bawah telapak kaki Ibu. Maka, hormati dan sayangilah Ibumu,"" ucapnya dua tahun
lalu.
""Ibu...,"" lirihnya sambil sesenggukan. Ibunya masih diam sambil sesekali menyusut
airmata dengan tangan lusuhnya.
""Kita tidur saja yah, Nak. Hari sudah malam. Besok kita pergi memulung pagi buta,
semoga hasilnya bisa buat beli makan yang enak,"" tukas Ibunya.
""Janji, yah Bu?""
""Iya,""
Sebenarnya, Ibunya sangat tak tega melihat Zainab selalu tidur dengan perut lapar.
Tapi, mau bagaimana lagi? Hasil ia memulung dari tadi pagi tak seberapa. Hanya bisa
beli beras setengah kilo, begitulah setiap hari ia lalui.
Sejak Bapaknya masih ada, mereka memang terbiasa makan seadanya. Jangankan
berpakaian mewah, baju layak pakaipun sudah untung bagi mereka. Rumah mereka
tak lebih dari gubuk reyot yang masih beralaskan tanah. Tak jarang saat hujan, mereka
kehujanan, panaspun, mereka kepanasan.
***
""Bu, kenapa Zainab nggak sekolah? Apa Zainab anak yang nggak punya yah Bu?""
tanya Zainab sesaat sebelum berangkat memulung.
""Lho, kok tanya gitu?"" Ibunya menimpali. Ia memang berniat menyekolahkan
anaknya, tapi takut tak bisa membayar dan memenuhi segala keperluannya.
""Zainab sering lihat temen-temen pake baju seragam, berangkat diantar orangtuanya.
Kenapa Allah nggak adil, Bu?"" tanya Zainab dengan polosnya.
""Sayang, seperti ini...
Orang miskin dan orang kaya itu seperti kita masuk ke mall. Orang kaya dengan puas
membeli apa yang mereka inginkan. Sementara orang miskin hanya bisa melihat-lihat
saja, karena nggak mampu membelinya.
Tapi, saat ke kasir, orang kaya itu akan
diperiksa. Dihitung total belanjaanya. Sementara orang miskin nggak diperiksa,
karena nggak ada yang perlu dihitung,"" Ibunya menarik nafas dalam sambil
tersenyum pada gadis semata wayangnya itu.
""Sama seperti besok di akhirat. Orang kaya akan ditanya sama Allah, akan dimintai
pertanggung jawaban tentang harta dan kekayaannya selama di dunia ini. Hisabnya
akan sangat lama. Sementara orang miskin akan lebih dipermudah dalam hisabnya.
Jadi, Allah adil, kok. Sebenarnya kita kaya, kaya itu kaya syukurnya, Sayang. Bukan
diukur dari hartanya,"" Ibunya memeluk Zainab dengan eratnya.
""Ibu janji akan berusaha keras supaya kamu bisa sekolah. Ibu janji,"" lanjutnya sambil
terus memeluk putri kesayangannya itu.
***
Sore datang kembali. Bertambah petang, bertambah pula lapar yang menggerogoti
dua Ibu dan anak ini. Berkali-kali perut gadis cilik itu berbunyi menuntut untuk diisi.
Dengan segenggam nasi yang tersisa, masih belum bisa menghilangkan rasa lapar
yang makin menjadi.
""Ibu, sampai kapan kita akan terus miskin?"" tanya Zainab lagi-lagi dengan polosnya.
Ibunya hanya bisa menghela nafas panjang. Sebenarnya ia sudah berusaha mencari
pekerjaan, namun sampai saat ini belum menemukan juga. Pernah ia bekerja sebagai
buruh cuci di rumah Juragan Baskoro. Namun belum genap seminggu ia disana, ia
difitnah mencuri emas milik istrinya. Berkali-kali ia membela dirinya, hasilnya tetap
sama. Ia harus angkat kaki dari sana, dan kembali memulung. Miris.
""Yang sabar yah, Nak,"" hanya kalimat itu yang mampu ia ucapkan. Sebenarnya ia pun
lapar dan ingin serba berkecukupan, namun apalah daya.
***
Sepuluh tahun kemudian...
Plakkk!!!
Sebuah tamparan keras mendarat mengenai wajah remaja cantik itu. Putri yang dulu
amat ia sayangi, kini telah mencoreng hatinya sedalam-dalamnya. Gadis yang dulu
sangat polos, kini tumbuh menjadi remaja yang cantik, membuat siapapun yang
menatapnya akan terpesona untuk berlama-lama menikmati wajah ayunya.
""Kenapa kau bisa hamil seperti ini? Jawab, Zainab!"" teriakan itu terdengar bergetar.
Menatap tajam pada putrinya itu. Yang ditatap balas mendongak, tanpa rasa takut
sedikitpun.
""Ini semua salah Ibu. Dari dulu Ibu nggak bisa menuruti semua kemauan Zainab,
hingga Zainab terpaksa melayani om-om supaya Zainab bisa punya uang. Bisa kaya,""
bentak Zainab sambil mendorong wanita yang telah membesarkannya itu.
""Astaghfirullah, Nak,"" jerit Ibundanya itu.
""Apa? Zainab sudah besar Bu. Zainab malu diejek terus sama temen karena miskin,""
lanjutnya tanpa rasa hormat sedikitpun. Kemana Zainab yang dulu? Yang selalu patuh
pada Ibundanya? Kemana Zainab yang baik hati? Ah, Zainab.
""Lebih baik kita kelaparan, Nak! Daripada sampai kau menjual harga dirimu seperti
ini. Ingat azab Allah, Nak...,""
""Halah, nggak usah ceramah, Bu!. Aku bosan dengar bualan Ibu terus. Aku mau pergi
saja,"" ucap Zainab sambil berlari entah kemana. Meninggalkan Ibunya yang terus
memanggil-manggil namanya.
""Jangan pergi, Nak...,""
***
Setelah sekian purnama, Zainab belum juga bersedia menemui Ibundanya, hingga
Ibudanya kini jadi sakit-sakitan. Tiap malam selalu mengingau memanggil-manggil
namanya.
""Maafkan Ibu, Nak.. Pulanglah Zainab sayang,""
Tubuhnya kini jadi semakin ringkih. Tatapan matanya selalu kosong, entah mendarat
kemana. Yang jelas, ia sangat merindukan buah hatinya itu, yang kini tak tahu
rimbanya. Entah dimana dan bagaimana kabarnya.
Suatu saat, ia menuliskan sebuah surat untuk Zainab tercintanya.
***
""Anakmu sudah lahir, Om"" ucap wanita cantik itu sambil menunjukkan bayi mungil
di gendongannya. Lelaki di depannya itu tersentak.
""Anakku? Yang benar saja,"" lanjutnya.
""Iya. Kau pernah menggauliku dengan iming-iming kita akan menikah dan
menghidupiku dan anak kita dengan kehidupan yang megah. Sampai anakmu lahir?
Dimana janjimu? Sampai aku mengurung diri selama sembilan bulan di pedesaan
seorang diri? Berulang kali aku telpon kamu, tapi tak kau angkat. Selama sembilan
bulan itu aku mencarimu. Mana janjimu? Kuharap kau tak ingkar,"" balasnya sambil
membetulkan anak rambutnya yang diterpa angin.
""Tunggu! Kau tau kan aku sudah punya istri dan akupun tak mungkin menikahimu,""
jawab lelaki itu.
""Aku tak mau tahu, janjimu tetap janjimu. Aku sudah capek mengandung dan
melahirkan anakmu, lalu apa kau tak kasihan denganku?"" jawab wanita sambil
mengusap pipi bayi mungilnya itu.
""Kau gila, Zainab!""
""Apa? Aku! Kau yang gila! Kau berusaha menggodaku tuk jadi pacarmu sampai kau
menggauliku dan kau berjanji akan menghidupiku dan anakmu ini dengan kehidupan
megah. Lalu, kutanya dimana janjimu?"" ucap Zainab dengan suara yang agak
meninggi.
""Ah, sudahlah sana pergi. Bawa uang ini. Kau hanya orang gila,"" ucap lelaki itu
sambil berlalu dari hadapan Zainab.
""Om Rendy....,"" teriak Zainab sekencang-kencangnya. Namun, lelaki bernama Rendy
itu tak mengindahkan teriakannya dan memilih berlari dari hadapannya.
""Aku tak akan memaafkanmu. Selamanyaa,"" ujar Zainab dengan sedikit terisak.
""Aku harus kemana? Bodohnya aku sama lelaki hidung belang seperti dia,"" ucapnya
sambil mengusap airmatanya.
""Dasar lelaki jahat, bejat. Tak tahu adab,"" ucapnya masih dengan tangisan yang begitu
menyayat. Miris sekali nasibnya saat ini. Hamil di luar nikah, dan harus membesarkan
anaknya seorang diri.
""Aku harus kemana?"" tangisnya sambil terus melangkah tak tentu arah.
""Oh, Ibu.. Aku pulang saja sama Ibu. Yaa Allah, aku rindu Ibu. Ya, Ibu pasti
merindukanku. Aku mau minta maaf sama Ibu,""
***
Sampai juga ia di rumah gubuk yang sedari dulu menjadi saksi bisu kehidupannya.
Rumah yang jauh dari kata mewah, namun di dalam berisi banyak sekali kenangan
pahit manis yang ia lalui bersama Ibunda tercintanya.
""Assalaamu'alaikum, Ibu. Zainab pulang, Bu, tok..tok..tok,"" masih belum ada
jawaban.
""Tok..tok..tok..Ibu..,"" sepi.
Zainab memutar gagang pintu yang agak rusak itu. Krieek... pintunya tak dikunci rupanya. Ia akhirnya masuk dan betapa terkejutnya ia.
""Ibu....,"" teriaknya saat mendapati Ibunya tengah tertidur di kursi depan meja belajarnya dulu. Sejurus kemudian ia memeluk tubuh Ibunya yang ringkih.
""Ibu, Zainab minta maaf sama Ibu,"" ucap Zainab sambil terus menangis. Namun, ada
keanehan disini. Ibundanya tak juga bangun. Ketakutan mulai menjalar di tubuhnya.
Tubuh Ibunya pun dingin sekali. Jangan-jangan..
""Ibu, bangun, Bu! Ini Zainab, Bu,"" ucapnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh
Ibunya itu. Hasilnya tetap nihil. Ibunya tetap tak bangun. Sampai akhirnya, ia
menemui secarik surat untuk ia dari Ibundanya.
""Zainab anakku,
Maafkan Ibu yang belum bisa memberikan segalanya untukmu. Maafkan Ibu yang
belum bisa menjadi Ibu yang hebat untukmu. Ibu hanya perempuan biasa yang jauh
dari kata sempurna.
Zainab puteriku, Dimana kau sekarang, Nak? Pulanglah, Ibu rindu dengan senyummu.
Ibu rindu dengan canda dan tawamu. Ibu rindu dengan pelukan hangatmu.
Zainab sayangku, maafkan kemarin jika belum bisa menahan amarah. Karena Ibu merasa
gagal menjaga permata hati Ibu, Ibu tak mau kau mengambil jalan yang salah.
Zainab Chairunnisa, Pesan Ibu cuma satu. Taatilah Tuhanmu. Lakukanlah perintah-
Nya dan jauhilah larangan-Nya. Ibu ingin kita bisa berkumpul bersama lagi di syurga-
Nya kelak.
Percayalah, cinta dan kasih sayang Ibu takkan luntur kepadamu. Pulanglah, Ibu ingin
memelukmu meski satu kali saja.
Maafkan Ibu yang banyak salah ini.. Maafkan Ibu...,""
Perlahan, tetes airmata itu tak bisa ia bendung. Ia langsung menangis sejadi-jadinya.
""Ibu, kumohon Ibu jangan pergi. Zainab minta maaf sama Ibu. Maaf, Buuuu...,"" tangis Zainab menyesali perbuatannya.
Harta bisa dicari, ilmu bisa digali namun kesempatan berbakti takkan bisa terulang
kembali.
-Tamat-"
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.