LOST - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


LOST

By: Chairunnisa Rahmadira


Avyanna Chandra adalah seorang ibu dari empat anak lelakinya. Ini sudah menginjak tahun ke-4 Ana menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya. Suaminya atau yang biasa dipanggil ayah Ames oleh anak-anaknya, sudah menyatu dengan tanah karena pengabdiannya pada bangsa ini. Ana tidak berlarut dalam kesedihan. Karena baginya suaminya sudah bahagia diatas sana dan dia bersyukur masih ditemani oleh ke empat jagoannya hingga saat ini.


“Aa’ Dika! Kaos kaki aku jangan dipake dong! Lepas ga?!”


“Heh bocil! Ini tuh modelannya doang yang mirip sama kaos kaki lu. Ini tuh punya bang Angga tau!”


“Enggak! Liat dulu itu dibawah kaos kakinya ada gambar beruang! Itu punyaku ih!”


Ana yang sedang menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya menghela nafas mendengar keributan yang terjadi hampir setiap pagi. Yang berteriak pertama tadi adalah anak bungsunya, Narandra Prameswara. Dan oknum yang membuat Narandra berteriak adalah anaknya yang ketiga, Harandika Prameswara.


Tak lama setelahnya, Ana mendengar suara hentakan kaki menuruni tangga.


“Bunaa~” itu Narandra yang berjalan menuju Ana sembari memasang wajah kesal. Ana yang melihat itu, segera saja meletakkan nasi goreng buatannya ke meja makan. Dia terkekeh pelan menatap wajah kusut anak bungsunya.


“Kenapa Nana?” tanya Ana sembari merapikan rambut dan seragam Narandra yang terlihat kusut. Narandra memang dipanggil seperti itu jika dirumah.


“Aa’ Dika tuh, Bun! Kaos kaki kesayangan Nana dipake sama dia bunaa. Kan kakinya a’ Dika bau banget. Nanti kalau udah di cuci terus baunya ga ilang-ilang gimana?” gerutu Narandra.


“Heh bocil! Enak aja lu ngatain kaki aing bau. Nih, nih! Maneh cium dah kaki aing, wangi gini masa dikata bau. Cih!” itu Dika yang datang sembari menyentil kening Narandra karena tidak terima dikatai.


“Btw, selamat pagi bundahara cantik. Hari ini duit jajan double ya?” ucap Dika sembari mengedipkan matanya genit pada Ana.


Ana hanya menggelengkan kepalanya heran melihat kelakuan random seorang Harandika. dia mengusak lembut rambut Dika dan menepuk pipinya pelan.


“Udah-udah, sana kalian sarapan duluan. Buna mau bangunin kakak-kakak kalian dulu.”


“Oke siap laksanakan, Bos.”


Ana melangkahkan kakinya menuju kamar anak sulungnya. Didepan pintu tertulis gantungan kayu yang bertuliskan `jangan ganggu atau masuk sembarangan kamar gue, kecuali bunda! Tertanda, Rangga Prameswara.`


Segera saja Ana menekan knop pintu kamar tersebut dan melihat seorang anak laki-laki sedang tertidur meringkuk diatas kasurnya. Ana pun menghampiri kasur tersebut dan duduk dipinggiran ranjangnya.


“Abang, bangun yuk? Hari ini kuliah ‘kan?” tanya Ana sembari mengusap rambut Rangga.


Yang dibangunkan menggeliat pelan lalu membuka matanya perlahan, “Morning, Bunda. Hari ini kuliahnya jam 10, Bun.” Ucap Rangga dengan suara khas bangun tidurnya.


“Yaudah kalau gitu. Abang mandi gih, terus sarapan ya. Bunda udah siapin nasi goreng. Bunda mau bangunin si kakak dulu ya.” Ana menyempatkan mengecup lembut kepala anak sulungnya dan beranjak keluar menuju kamar anak keduanya.


Kamar anak keduanya ini terletak di lantai atas rumahnya. Memang hanya kamar dirinya dan Rangga saja yang ada di lantai bawah, sedangkan ketiga anaknya yang lain ada di lantai atas.

Ana pun sampai pada pintu kamar berwarna putih yang mempunyai ukiran bertuliskan `wilayah kekuasaan Jevano Prameswara.`


Saat memasuki kamar, harum citrus dan mint langsung menusuk ke indra penciuman Ana dan dia melihat buntalan besar yang tertutupi selimut tebal.


“Kakak, bangun yuk. Hari ini kakak ada kelas online ‘kan?” Ana mengusap pelan buntalan tersebut sambil tersenyum.


Ana mengerutkan keningnya saat tidak mendapat respon apa-apa dari jevano, padahal anaknya yang satu ini mudah sekali terusik akan hal-hal kecil yang mengganggu tidrunya.

Di saat dia ingin menarik turun selimut itu, si anak kedua tiba-tiba memunculkan wajahnya sambil tersenyum memperlihatkan eye smile-nya.


“Jeva udah bangun dari tadi, bunda. Jeva nungguin bunda masuk kamar jeva, tapi bundanya lama.” ujar Jeva seraya mengerucutkan bibirnya.


Sontak saja Ana tertawa mendengar ocehan Jevano. Anak keduanya ini, badannya saja yang kekar tapi jika sudah bersama dirinya dia akan kembali menjadi Jevano kecil yang manja.

“Maaf ya sayang. Tadi bunda bikinin sarapan dulu terus bangunin abang kamu, takutnya dia telat masuk kuliah. Yaudah yuk, bangun yuk ganteng. Mandi dulu abis itu turun ya. Bunda tungguin dibawah.”


“Okii dokii bunda!” Jevano beranjak dari ranjangnya dan melaksanakan perintah bundanya.

Ana pun turun kebawah dan melihat meja makan yang sudah diisi oleh ketiga anaknya. Harandika yang asik makan dengan lahap. Rangga yang sudah mandi terlihat sedang sarapan sembari memandang ponselnya. Dan Narandra yang sibuk menyisihkan daun bawang dari piringnya. Nana memang susah sekali jika disuruh makan sayur.


“Adek, sayurnya dimakan atuh nak. Jangan disisihin begitu.” Ucap Ana lembut seraya duduk disamping Nana.


“Nana gasuka buna, rasanya aneh kayak muka a’ Dika.”


Rangga tertawa terbahak mendengar celetukan adik bungsunya. Sedangkan Dika melebarkan matanya tidak terima karena perkataan Narandra. Nana hanya memeletkan lidahnya tak peduli dan lanjut menghabiskan nasi gorengnya. 


“Bun, aa’ jadi terluka karena perkataan Narandra bun. Ucapannya bagaikan belati yang menusuk jantung menembus jiwa dan raga aa’ bun.” Ujar Dika penuh drama sembari memegang dramanya mendramatisir.


Rangga yang melihat kelakuan adik ketiganya itu dengan sigap melemparnya dengan sehelai tisu yang sudah digulung-gulung ke wajah Dika.


“Halah! Sinetron banget lu. Jangan kebanyakan nonton ftv deh, Dik. Yang ada lu ntar malah bikin bunda jadi tambah pusing liat kelakuan lu.” Ucap Rangga.


“Hemeh! Iri bilang bos, ea.” Balas Dika


Ana hanya tertawa melihat interaksi anak-anaknya di pagi ini. Seandainya ayah Ames masih hidup, mungkin isi rumah ini akan lebih heboh mengingat ayah Ames adalah seorang pengguyon walaupun dia adalah seorang Letjen TNI AU.


“Eyyo! Congratulations morning wahai penduduk rumah prameswara!”


Itu suara jevano yang berhasil menyadarkan Ana dari lamunannya.


“Kak Jeva ini berisik deh, ini bukan dipasar.” –Nana


“Yeuuu, kamu mah.” Jevano menyempatkan diri mengusak rambut adik bungsunya sebelum memulai sarapannya.


Tak lama setelah itu, terdengar ketukan dari pitu utama.


“Sebentar ya, bunda cek dulu siapa yang datang.”


Ana pun beranjak dari duduknya untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Ibu kandungnya yang datang. Segera saja Ana menyalami tangan Ibundanya dan membawanya masuk kedalam rumah. 


“Kamu sehat nak? Gimana keadaan kamu akhir-akhir ini?’ tanya ibunya.


Ana mengerutkan keningnya samar mendengar perkataan ibunya, meskipun begitu dia tetap menjawab pertanyaan ibunya, “Ana baik, bu. Anak-anak juga baik. Tuh mereka lagi sarapan bareng di meja makan. Ibu mau ikut sarapan bareng ga? Yuk.”


Disaat Ana ingin membawa ibunya untuk bergabung ke meja makan, ibunya menahan tangan Ana sekaligus memberhentikan langkahnya.


Ana memandang heran wajah ibunya yang berubah pias dan seperti menahan tangis. Tangan Ana pun digenggam lembut oleh ibunya. Dan saat mendengar perkataan ibunya, dunia Ana seakan runtuh dalam hitungan detik.


Dengan cepat dia berlari dan ke meja makan dan tidak menemukan siapapun. Dirinya seperti diingatkan kembali jika ke empat jagoannya sudah tidak ada sejak 4 tahun lalu. Dan semua yang dia lihat, rasakan, dan lakukan hari ini hanyalah halusinasinya. Tidak ada Rangga dengan ponselnya. Tidak ada Jevano dengan eye smile nya. Tidak ada Harandika yang yang mengusili adiknya. Dan tidak ada Narandra yang sibuk memilah daun bawang pada piringnya. Bahkan nasi goreng yang dia buat tadi pagi tidak ada diatas meja makan. Disana hanya ada kekosongan. Ana pun hanya bisa jatuh terduduk dan menangis meraung mengingat kembali bahwa orang-orang yang dicintainya sudah pergi meninggalkan dirinya disini, sendirian. 


“Ana, kalau kamu lupa mereka udah meninggal 4 tahun lalu. Tepat dihari yang sama Manggala Lakhsan Prameswara, ayah mereka dikuburkan. Mereka semua meninggal akibat kecelakaan menuju pemakaman karena tabrakan, nak.”


"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.