Life: Death - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "Life: Death


Mereka menangis, menjerit pilu berkata henti. Seolah tetusuk belati panas dalam dada, membakar jantung yang tengah berdetak. Mematikan setiap rasa, menggantinya dengan rasa sakit tak berujung. Tak berujung? Sakit itu memiliki ujung, tetapi sesaknya masih bisa dirasa. Kapan pun, luka yang telah sembuh itu bisa terbuka kembali; luka kehilangan seorang terkasih.


Kematian.


Sebuah kata yang datar bila terucap, sebuah kata yang hitam bila dibayangkan. Namun, apa jadinya bila kau mengalami kematian itu sendiri?


Apa yang akan kaulihat?


Apakah rasanya sakit?


Suara tangis dan jeritan terdengar sampai ke langit, menusuk gendang telinganya yang gaib. Dia tak bisa berekspresi, tetapi ia bisa berempati. Rasa sakit yang disalurkan oleh gelombang telinga para manusia itu. Baginya, ini adalah pekerjaan yang absolut. Takdir pada tangannya ialah hal pasti yang telah diberikan Tuhan kepada para manusia; Sang Kematian itu sendiri.


Jubah hitam menutupi sekujur tubuh yang hanya terdiri dari tulang belulang itu kini menatap dunia dengan rongga matanya yang kosong, bisa dirasakannya aura kematian menyeruak dari berbagai tempat.


Setiap hari, selama berabad-abad, pada pembuatan alam semesta, kematian hadir. Ah, tidak. Lebih tepatnya, ketika Adam dan Hawa diturunkan dari Surga menuju bumi, Sang Kematian lahir. Tuhan berkata bahwa makhluk bernama manusia tak lagi abadi, maka tugasnya untuk mengembalikan jiwa mereka di tangan Sang Agung yang Mahakuasa.


Dia lahir hanya untuk mencabut jiwa; mendengar tangisan serta jeritan memekik adalah sesuatu yang biasa baginya. Karena dia sendiri adalah makhluk abadi, setidaknya sampai hari akhir datang. Apakah berat? Tidak. Dia hanya sesekali tak tega.

Dengarkanlah, ini kisah tentang hidup dan mati.


*** 


Tawa memenuhi ruangan itu. Banyak anak-anak menyampaikan candaan mereka, tergelak ketika salah satu selesai bercerita. Beberapa di antara mereka bermain di halaman, seperempatnya lagi ada di perpustakaan. Panti asuhan; rumah bagi mereka yang tak memiliki atap. Rumah bagi mereka yang ingin mencari keluarga baru, memulai semua fondasi dari awal. Sebuah tempat yang dibangun bagi para anak malang.


Mereka semua dekat, bagai pisang yang tumbuh bersama. Apalagi, penjaga panti merupakan orang-orang yang baik. Lagi, mereka adalah wanita. Bukankah itu membuat para anak memiliki sosok seorang ibu yang tidak mereka punya?

Jika dilihat dari daratan; jika dilihat dari bumi; jika dilihat dari sudut pandang manusia; mereka hanyalah anak-anak calon penerus generasi yang nantinya harus menjaga bumi. Namun, baginya, mereka adalah makhluk-makhluk indah yang setiap embusan napasnya melantunkan melodi cantik. 


Kebahagiaan sementara yang tak dijanjikan oleh Tuhan; sebuah fatamorgana akan euforia yang diberikan untuk menguji keimanan para manusia. Fase di mana mereka diizinkan untuk bertemu, mengikat sebuah hubungan, berpisah, kemudian kembali mencari jalan yang diinginkan; sesuatu yang berujung, tetapi tak dapat dipastikan berada di mana ujungnya.


Baginya, manusia dan makhluk hidup lain yang ada di alam semesta adalah suatu keindahan tak tertandingi. Melihat mereka bergerak lincah dan menjalani skenario yang telah disiapkan Tuhan adalah sesuatu yang paling memukau. Tak pernah selama ia hadir, pernah merasa bahwa kehidupan merupakan sesuatu yang membosankan.


Baginya; Sang Kehidupan itu sendiri.

Ia sudah ada sebelum kematian ada, menciptakan makhluk hidup dengan tangan-tangannya yang gemulai. Menyaksikan terbentuknya mereka dengan mata kepala sendiri; menyaksikan mereka bergerak dan menyadari bahwa mereka adalah suatu entitas di alam semesta. Tugasnya hanya untuk memperbanyak hamba Tuhan, melihat apakah mereka akan bertahan di bumi dan bertakwa, atau akan menyimpang kemudian menyerah begitu saja.


Jawaban yang menarik, karena Kehidupan menyaksikan sendiri. Bahwa manusia itu berbeda-beda. Bahwa setiap hewan itu berbeda-beda. Bahwa tumbuhan itu berbeda-beda. Bagaimana mungkin dia bisa melahirkan berjuta spesies makhluk hidup hanya dengan sapuan tangan selama berabad-abad lamanya? Ia bahkan tak meminta apa pun ketika membuat mereka.


Mahakarya, Kehidupan menyebutnya demikian. Tawa mereka adalah kebahagiaannya, menenangkan hati yang tersembunyi di balik dagingnya.

Ia duduk di samping Kematian—lebih tepatnya, kursi duduk—tetapi Sang Kematian sendiri tak pernah datang. Sudah berabad-abad lamanya, ia tak pernah melihat Kematian sejak Adam dan Hawa diturunkan ke bumi. Kehidupan selalu kembali, dengan sebuah tudung transparan berwarna biru, kulit hijau yang pucat, serta sekujur tubuhnya yang memancarkan sinar. 


Dia lahir hanya untuk menciptakan ekosistem.


Dengarkanlah, ini kisah tentang mati dan hidup.


***


“Kamu datang,” ucap Kehidupan. “Kamu benar-benar datang. Wahai Kematian, tahukah kau seberapa senangnya aku sekarang?”


Kematian, di balik jubah hitam kelamnya, hanya terdiam tak berkutik. Suara Kehidupan yang indah pun tak bisa meluluhkam hatinya dari dinding tebal yang terpasang dalam hati Kematian.

“Aku sangat ingin memiliki teman bicara. Sayangnya, metika kuajak para malaikat, mereka malah memperlakukanku seperti seorang putri di bumi!”


Kematian, hanya tetdiam menatap bumi di bawah sana. Aura-aura mati telah menyeruak, setiap harinya di banyak belahan negara, kematian manusia dan/atau makhluk hidup itu selalu ada. 

Ia melihat Kehidupan, begitu riang dengan senyuman santainya yang tipis. “Begitu …, ya?”


Kehidupan mengangguk. “Hei, Kematian. Maukah kamu menemaniku?”


“Mau apa?”


“Mengunjungi mahakaryaku!""


Dua kata itu membuat Kematian tertegun. Ia menoleh, rasa segannya terganti oleh perasaan terkejut. Baru saja Kehidupan mengajaknya untuk pergi ke bumi; dunia di mana para manusia berada. Mereka belum pernah melakukan itu dan Kehidupan terlihat sangat serius. Manik hijau emerald yang berbinar itu seolah menusuk rongga mata kosong milik Kematian.


Sayang, Kematian tak dapat menolah Kehidupan.


Dengan begitu, berangkatlah mereka ke bumi bagian terpencil; sebuah hutan di pulau yang kecil, dengam berbagai tumbuhan dan hewan di sana. Kehidupan dan Kematian dikelilingi oleh sumber alam yang indah. Terkesimalah mereka, tak berhenti tersenyum menatap mahakarya milik Kehidupan, terinstruksi oleh Tuhan.

Mereka berjalan. 


Tanah yang tadinya gersang kemudian ditumbuhi bunga-bunya dan rumput yang terlibar cantik ketika Kehidupan lewat. Namun, saat Kematian muncul, bunga-bunga dan rumput yang tumbuh akhirnya layu juga.


Ah, mereka mati. Hanya dengan keberadaanku saja, mereka mati.

Kematian dan Kehidupan berhenti di tengah-tengah padang rumput kecil, burung-burumg berbulu biru menghampiri Kehidupan, bertengger pada jemarinya yang kecil.


Ia menoleh, tersenyum lebar pada Kematian. “Kematian, burung itu lucu, ya?”

Tak digubris, tetapi Kehidupan sesungguhnya tidak terlalu peduli. Dia lebih fokus dengan makhluk hidup yang ada di sana, sampai Kematian berpikir bahwa Kehidupan tak menyadari kalau semua makhluk hidup di belakang mereka telah mati seiring Kematian lewat.


Kehidupan menggenggam tangan Kematian, mereka berdua berlari, sampai di sebuah sungai dengan berbagai bunga tumbuh di sisinya. “Sumber air!” seru Kehidupan. 


Kenapa?


“Kematian, airnya basah! Tidak menempel, mereka semua jatuh. Ini mahakarya Tuhan, ya? Aku tidak pernah—wah! Ada ikan, Kematian!”


Kenapa kamu sangat senang? Kau sedang berjalan dengan Sang Kematian; bentuk kesengsaraan paling abadi di alam semesta.


“Kehidupan …?” Sang Kematian akhirnya memberanikan diri untuk angkat bicara. Ia mencari sosok Kehidupan, yang kemudian ditemukannya di depan semak.


Cepat sekali pindahnya.


“Pasti berat, ya?” tanya Kematian.


Kehidupan kembali bertanya, “Apa?”


“Tugasmu. Kau menciptakan makhluk hidup dengan usapan tangan, kemudian Tuhan memberikan jiwa pada mereka. Namun, aku harus mengembalikan jiwa-jiwa itu kepada Tuhan dan membiarkan kreasimu rusak.


“Apakah kamu tidak merasa kesal terhadapku, wahai Kehidupan? Aku harus mencabut semua keindahan; semua esensi yang dimiliki kreasimu. Apakah kamu tidak berpikir itu tak adil? Kau pasti … lelah.”


Diam yang dilakukan Kehidupan malah membuat atmosfer semakin buruk bagi Kematian. Dia tahu, Kehidupan pasti merasa kesal. Apalagi, mereka telah mengeksplor satu tempat penuh dengan kreasi miliknya.


Kreasi hidup yang bernapas, syahdu bagai senandung duyung.


Sang Kehidupan berdiri, kemudian berbalik dan menampakkan sebuah mahkota bunga yang dibuatnya beberapa saat yang lalu. Senyuman tipis itu tak pernah luntur dari wajahnya; tipis, tetapi terpancar sinarnya. Semakin dekatlah dia dengan Kematian, kedua tangannya terulur dengan mahkota bunga yang tergenggam. Mahkota bunga itu kemudian layu seiring dekat dengan Kematian, berubah kelabu ketika menyentuh kepala Sang Hitam.


“Aku tidak merasa keberatan sama sekali, Kematian,” sangkal Kehidupan. “Kupikir, malah kamu yang memiliki pekerjaan paling berat. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaanmu setelah mengembalikan jiwa-jiwa itu kepada Tuhan yang memilikinya. Apakah rasanya menyakitkan?


“Haha! Lagipula, Kematian, kamu hadir untuk suatu tujuan yang dimiliki Tuhan; jika menurutnya kreasiku sudah pantas untuk kembali tinggal di sisi-Nya, maka di situlah kamu bekerja. Di balik rasa sakitmu dalam menahan semua empati untuk tangisan pilu para makhluk hidup, ada sebuah pekerjaan mulia yang kaugenggam.


“Kematian, kita adalah dua entitas yang diyakini keberadaannya oleh setiap makhluk hidup. Aku tidak akan pernah memiliki dendam terhadapmu.”


Karena, Kematian, kaulah teman abadiku.


Dengarkanlah, ini kisah Kematian yang bertemu dengan Kehidupan.

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.