Kau ataupun Aku, Kita adalah Teman - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Kau ataupun Aku, Kita adalah Teman


Zend selalu memperhatikan dari jauh ketika dia berjalan di koridor sekolah, ketika istirahat, pulang sekolah atau saat dia berangkat sekolah.

Dia selalu melihat seseorang yang tampak menonjol di antara kerumunan yang tampaknya berusaha menyatu dengan latar belakang. Zend hapal  setiap kali dia menoleh padanya dan mendapati orang tersebut selalu mengenakan hoodie putih dan earphone hitam yang menempel di telinganya.

Orang tersebut tampak selalu sendirian kemana pun dia pergi. Selalu memasang ekspresi datar tanpa ada emosi di sana setiap kali dia melangkah.

Mungkin, Zend berpikir orang tersebut sama dengan dirinya yang selalu menyendiri dan sulit bersosialisasi. Tidak tertarik berbaur atau mendekat pada keramaian dan bersembunyi di perpustakaan pada waktu istirahat atau jam pelajaran yang kosong.

Sama seperti sekarang, dia sedang menghabiskan waktu istirahat dengan memilih keperpustakaan, menghabiskan waktu untuk memilah-milih buku yang menarik perhatiannya. Tepat saat dia ingin menjangkau sebuah buku dongeng yang sudah menarik minatnya, dia mendapati pemuda lain yang akhir-akhir itu entah takdir atau kebetulan yang selalu berpapasan dengannya.

Zend, dengan segala kejujuran hati yang di miliki juga sadar bahwa dia kesepian. Dia menghabiskan banyak waktu hanya untuk dirinya sendiri. Dia tidak pandai bergaul, selalu sendirian dan itu membuatnya di jauhi orang-orang. Tetapi kali ini ada sesuatu di dalam dadanya bergetar, seolah berteriak memintanya saatnya untuk memiliki seorang teman. Berhenti berkubung sendirian dan terus berputar dalam kesendirian. Berhenti berilusi dan mulai bersosialisasi.

Sayangnya dia sudah terlalu terlambat ketika memikirkan apa yang harus dia katakan saat melihat orang familiar tersebut sudah menjauh dengan membawa buku yang sebelumnya menjadi incaran Zend.

Pemuda itu terbengong, menatap punggung pemuda lain yang menjauh dan perlahan di telan oleh susunan buku yang tersusun rapi di antara rak-rak buku.

'Mungkin aku akan memiliki kesempatan lain', pikir Zend segera mengambil beberapa buku novel dan mulai mencari tempat duduk yang nyaman untuk menghabiskan waktunya.

Zend membaca dengan fokus, mengamati setiap paragraf yang tersusun rapi di buku yang dia baca. Mulai berfantasi di setiap adengan yang dia baca. Bahkan membaca benar-benar menyenangkan dari apapun yang dia sukai.

Halaman selanjutnya di balik, sayangnya itu membuatnya kecewa saat bel berbunyi nyaring bahkan dari dalam perpustakaan. Kini saatnya masuk ke kelas, kembali belajar seperti setiap pelajar lakukan.

Zend mengumpulkan buku-buku yang sudah dia baca, mengembalikannya pada rak buku dan mengambil salah satu buku novel yang belum dia baca untuk di pinjam dan di bawa pulang. Saat sampai di rumah nanti dia bisa membaca sepuasnya tanpa harus khawatir di kejar waktu.

Selesai di perpustakaan, Zend mulai melangkahkan kakinya menuju ruang kelas. Dia melangkah hati-hati di antara kerumunan murid yang berdesak-desakkan ingin menuju kelas masing-masing seperti ikan dalam air yang terkurung dalam jaring.

Zend hampir menyesali keputusannya yang terlalu cepat untuk keluar perputakaan sehingga membuatnya terjebak di antara desak-desakan. Saat dia masih fokus pada pikirannya sendiri tanpa sengaja dia menyenggol pundak seseorang dan itu membuat buku yang dia pegang terjatuh.

""Ah, maafkan aku!"", ucap Zend segera mengambil bukunya secara terburu-buru.

Orang yang di menjadi korban hanya mengangguk pelan dan dia juga mengambil bukunya yang terjatuh karena Zend tadi.

Zend mengernyit saat menatap orang tersebut. Orang yang selalu menarik perhatiannya dan selalu mengenakan hoodie putih itu.

""Maaf, tampaknya buku kita tertukar"", ucap orang tersebut saat dia menatap buku di tangannya sesaat setelah mengambilnya dan menyodorkannya pada Zend.

Zend menatap buku yang dia pegang sebelum akhirnya tertawa canggung. ""Maaf, aku tadi terlalu terburu-buru"", balas Zend sambil menyerahkan buku orang tersebut.

Mereka bertukar buku dalam waktu singkat dan orang itu segera meninggalkan Zend dengan cepat setelah bergumam terima kasih yang keluar dari mulutnya.

Zend merasakan kekecewaan saat hanya mampu mengatakan beberapa patah kata sebagai tanggapan, tidak memiliki kesempatan untuk berbicara lebih. Dia menjadi benci situasinya, membencinya ketika sadar dia terlalu tidak pandai dalam bersosialisasi. Padahal, kalau di pikir-pikir saat dia sadar sudah kelas 11 SMA, artinya dia sudah mulai memasuki masa kedewasaan. Harusnya memiliki kepercayaan diri dan mulai belajar untuk bisa segala hal. Tapi, Zend tidak bisa melakukannya. Dia tidak yakin apakah karena dia malu atau tidak tertarik.

Dia kembali melangkahkan kakinya menuju kelas, melewati koridor yang sudah mulai mereda dari desak-desakan.

Pelajaran di kelas selesai dan entah sejak kapan, tak terasa kini waktunya pulang sekolah. Siswa-siswi lain mulai membersihkan alat tulis mereka, menyimpannya pada tas masing-masing. Setelah guru mengucapkan beberapa hal sebagai penutup, beliau keluar dan di susul para murid lainnya dengan segala tawa dan kerusuhan samar. Mereka pulang bersama-sama, menyisakan Zend yang membersihkan alat tulisnya lebih terlambat dari yang lain. Buku tulisnya di masukkan yang terakhir dan segera Zend menarik resleting tas hingga tertutup sempurna.

Pemuda itu menarik pelan tasnya, memasangnya di punggung lalu berjalan pulang melewati panjangnya koridor sekolah.

Seperti biasanya, Zend selalu menjadi yang terakhir keluar dari kelas hingga bahkan mungkin keluar dari area sekolah. Saat dia berjalan di koridor, sudah tak ada siapapun lagi di sana.

Tetapi, Zend tidak melupakan fakta tentang ada seorang lagi yang mungkin sama dengannya. Satu tahun terakhir dari jauh dia selalu melihat pemuda lainnya dengan hoodie putih familiar melangkah dengan santai sendirian. Untuk suatu waktu Zend melihat pemuda itu sambil membaca buku atau menikmati musik melalui eartphonenya.

Orang yang memiliki masalah dalam bersosialisi seperti Zend sering mengabaikan hal itu, walau hatinya meronta ingin menemui pemuda tersebut dan berkenalan. Dia ingin berteman, tetapi ada dorongan aneh yang kadang membuatnya sulit untuk melakukannya. Dia tidak memiliki kepercayaan diri.

Zend merenung, menatap punggung itu yang perlahan semakin menjauh di depannya. Mungkin dia tak akan pernah memiliki teman jika terus seperti ini. Tak akan ada kemajuan jika dia terus berdiam diri. Tak akan ada yang dia dapat jika dia terus menghindar. Kesempatan yang dia miliki tidak banyak dan tidak selalu beruntung.

Zend menjadi bimbang. Dia bosan selalu sendirian dan tidak memiliki teman. Dia tidak tidak memiliki teman untuk mendiskusikan pelajaran yang biasanya tidak dia mengerti. Melihat seseorang berinteraksi membuatnya iri. 

Seseorang selalu memiliki kepercayaan diri, selalu optimis dan bersemangat. Zend juga ingin seperti itu setidaknya untuk berbicara pada seseorang.

'Apakah aku bisa?'

Tangannya terkepal kuat dalam tekad. Hari ini dia bertekad untuk mengubah dirinya, mungkin dari sesuatu yang kecil.

Kakinya dengan cepat mengejar pemuda berhoodie putih itu seraya berteriak, ""Hei, tunggu kau yang berhoodie putih!""

Sebelum memanggil lagi, pemuda berhoodie itu sudah berhenti sambil menoleh kebelakang. Buku yang sempat tertukar dengan Zend saat tak sengaja bersenggolan di koridor, terlihat di tangannya.

Pemuda itu terlihat menggumamkan sesuatu yang samar, lalu dia bertanya, ""Ada apa?""

Zend hampir gugup dan itu membuatnya sedikit tegang. ""Maaf, kau orang yang tadi tak sengaja aku senggol, bukan? Pundakmu saat itu""

""Aku rasa benar"", jawab pemuda lain sambil mengernyit sedikit.

""Tadi aku tidak sengaja membaca judul buku yang kau baca saat buku kita tertukar. Itu, bukankah novel dengan genre fantasy. Kau suka membaca novel?""

Pemuda itu mengangguk. Matanya sesaat beralih pada buku yang tadi dia membaca, lalu menutupnya dengan pelan. ""Aku benar-benar suka membaca novel karena aku tidak memiliki teman di kelas. Apa kau juga suka membaca novel. Aku sering melihatmu di perpustakaan""

Zend mengangguk. Ada perasaan hangat ketika dia berbicara. Mungkin ini pertama kalinya setelah sekian lama dia bisa berbicara dengan bebas seperti sekarang.

""Ya. Selain novel aku juga suka membaca buku lainnya seperti ensiklopedia tentang alam semesta"", balas Zend.

Ada binar samar dari mata orang tersebut yang tampaknya tertarik dengan apa yang Zend katakan. Dan itu pertama kali bagi Zend melihat pemuda itu terlihat senang.

""Tampaknya kau orang yang senang membaca. Bagaimana jika besok atau seterusnya kita pergi ke perpustakaan bersama?"", tanya pemuda itu terdengar bersemangat. ""Ngomong-ngomong siapa namamu dan kelas berapa? Kita bisa saling menjemput jika ada kesempatan""

""Aku Zend, kelas 11 IPA 2""

Segera Zend menyodorkan tangannya bersemangat.

Pemuda itu tersenyum tipis, membalas dengan menyalami Zend. ""Dan aku, namaku Diez. Aku kelas 11 IPS 1. Salam kenal, Zend""

""Pulang bersama?"", tawar Zend saat mereka melepaskan salaman mereka. ""Di mana rumahmu. Mungkin aku atau kau bisa mampir di rumah kau atau aku""

Diez menjawab dengan santai, membawa mereka berdua mulai pada topik lainnya. Keduanya tampak mulai akrab walau baru bertemu.

Zend mulai menyadari sikap pesimis yang dulu dia bawa betapa dia begitu rugi, membiarkannya menjadi anti-sosial dan selalu sendirian. Andai dia tahu sejak awal bahwa kepercayaan diri membuatnya memiliki teman dan betapa menyenangkannya berbagi pengalaman atau apa yang di sukai pada seorang teman, harusnya dia selalu optimis setiap saat. 

Apa yang Zend alamai hari itu membuatnya sadar bahwa dia harus menjadi pribadi yang lebih bagus. Segala sesuatu juga akan mudah jika tidak terlalu di pusingkan atau terlalu di pikirkan. Dan yang paling utama adalah kepercayaan diri. 

Zend akan berusaha memulai segalanya dengan kepercayaan diri. Mungkin besok juga ada perubahan jika dia mulai mau berinteraksi dengan teman-teman di kelasnya.

'Aku harus mencobanya', batin Zend bersemangat. 

Dia menatap Diez di sampingnya yang juga seperti dirinya. Dia juga akan mengajak Diez agar bisa bergaul dengan yang lainnya. Mereka pasti bisa dan tidak seperti sekarang lagi."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.