Kamuflase Lara Bersadur Asmara - Kumpulan Puisi

 








Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu puisi dari peserta Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Net 24 Jam. Puisi ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Lembayung". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html


Untuk melihat data peserta silakan kunjungi website www.net24jam.com

Selamat Menikmati puisi di bawah ini:


Kamuflase Lara Bersadur Asmara


Kata ini aku tulis; bukan semata karena aku merindukanmu, bukan juga karena aku masih menyukaimu, karena itu... hanya akan semakin memperpanjang kamuflase menyakitkan yang aku rasakan

Kata ini aku tulis... semata-mata karena aku 'ingin'; mengingatmu di sela malam yang terkadang terasa membeku, yang desau halusnya terasa menggerogoti diafragmaku, berangsur namun betul-betul menghasilkan pilu


Kita dulu sebenarnya apa, ya? 

Terkadang aku merasa... aku benar-benar sudah menemukan 'pintu' yang mana sekian lama kukelana tak jua ketemu

Beberapa masa.. aku begitu merasa bahagia; mengenalmu, melihatmu dengan begitu dekat, bertukar ejekan yang terasa menyebalkan, dulu—namun sekarang hanya bisa kurindu


Beberapa waktu... aku mulai memahami, bahwa... yang kau perlakukan sedemikian manisnya... bukan hanya aku, dan itu semakin merajam hatiku ketika mata kita tak sengaja beradu pada kesempitan menjemu


Betapa merah hatiku karena amarah dan api cemburu

Namun sayangnya.. kamu pun tak tahu, lantas bagaimana aku bisa menanyakan, ""Pedulikah kamu akan semua itu?""

Bagaimana? 


Kenanga kita sebenarnya hanya secerat, tapi bagiku itu sangat membekas, lekat dan selalu saja membuatku teringat


Kapan lagi kita bertemu?

Bisakah kita bertemu?


Aku mendabamu, pada terang rembulan yang semakin menyedihkan

Aku mengharapmu, dengan semilir kelam yang semakin mematikan


Kamu di mana?

Bisakah kita bersama untuk sedikit masa? Barangkali saja? 


Ternyata... semua kata ini terlalu panjang, teramat menuntut, tampak memusingkan bagimu yang tidak selalu suka dengan ribut

Maafku yang masih sering melamunkan

Apa-apa yang sudah harusnya aku relakan


Mantik Teruna Terasak Era


Peradaban masa kini

Bhama insani kian tidak manusiawi

Sesepuh rimpuh makin tak dihargai 

Gramaku berkecai cak muda-mudi


Peradaban masa kini

Tata krama seakan mati

Moral tabiat seolah relikui

Pekik putus asa cak konsumsi para pribumi


Adorasi pitarah terlupakan

Amaran perwira dijadikan bulan-bulanan


Negeriku sayang

Negeriku malang


Budayamu seolah sirna

Cita citramu melebur, hilang tanpa sisa, terpaksa


Peradaban masa kini

Negara kembali terjajah

Manusia serakah menjarah kisah


Bagaimana kita menjadi Indonesia?

Jika ego dan kuasa mengakar kuat dalam daksa


Bagaimana kita menjadi Indonesia?

Pabila ramah tamah dan toleransi kini tak ada lagi

Lenyap, tergusur, juga tereliminasi


Bagaimana cara kita menjadi Indonesia?

Pabila teruna kian terasak era, mantik idealisme kian tak bersisa


Pengharapan Kama Sepanjang Purnama


Bersamamu... mari kita jarah sekelumit jalan yang dibanjiri embun

Menapak jengkalnya tanpa ragu akan duri yang mungkin saja tersampir menemani

Memaku siang maupun malam yang eloknya tak bisa sedikitpun menghadirkan suaka

Menjegat segala frasa yang sudah basah direput anak sungai air mata


Dalam perjalanan panjang itu

Ingin sekali aku memasak kedua belah yad kita dalam tautan terekat—kau tahu, itu sungguh nikmat?

Mendamba sekali aku menatap likat netra milikmu, betapa aku hanyut dan hancur-lebur dalam analitisnya

Menggila sekali lautan afeksiku diriuh-redam ombak kefluktuatifanmu, sampai pada segelintir kunang-kunang kau berkelok, pergi jauh meninggalkanku

Ratusan purnama, aku terpekur—tergagu ditikam bisa—bersamamu luluh-lantak hidupku binasa"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.