Jam 13:13 - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 Jam 13:13

Nama: Lutfia Ramadhanti


Bau ikan pindang pun sudah semerbak. Hewan berbulu oranye itu bersahutan meong meong dengan kerasnya. “Iya, iya kebagian kok” ucap perempuan berambut panjang. Perempuan itu menaruh ikan pindang di hadapan para kucing. Kucing yang comel tersebut menjilat habis ikan pindang hingga hamya tinggal tulang belulang. Ku lihat senyumnya merekah bak mentari. Perkenalkan salah satu karakter utama dalam cerpen ini, Jelita. Dia teman sekelasku 11 MIPA 4. Dia bukan ketua OSIS atau ketua organisasi apapun. Dia bukan pula tipe gadis cantik yang 

diperebutkan semua lelaki. Bukan pula tipe gadis yang menyabet olimpiade sains atau yang kesayangan guru. Sederhananya, dia adalah perempuan tomboy. Tak seperti kebanyakan gadis pada umumnya yang suka bergosip tentang sang pujaan hati atau selebriti korea seperti BTS atau Blackpink, dia jarang sekali terlihat bersama dengan teman sekelas lainya. Dia suka sendirian atau bersama kucing lebih  tepatnya. Aku dan teman sekelas ku jarang ada yang ingin berinteraksi dengan Jelita dengan alasan “sungkan”. Bagaimana hati tidak sungkan, Jelita orang yang terkenal pendiam. 2 tahun sudah aku satu kelas denganya namun suaranya hanya terdengar saat ditanya guru. Perempuan itu juga tak pernah terlihat dekat dengan lelaki  manapun sehingga tak sedikit yang berpendapat Jelita itu “aneh”.


Suatu hari, kakak dari OSIS memberikan seminar tentang pemilihan ketua  OSIS yang baru. Sudah menjadi tradisi bahwa kebanyakan siswa yang

mencalonkan menjadi ketua OSIS menyampaikan orasi di setiap kelas. Suasana  kelas begitu lengang karena kami menyimak dengan seksama orasi calon ketua  OSIS. Keheningan itu pecah dengan gerombolan lelaki berteriak dengan 3 kata yang sudah lazim “Jelita, I LOVE YOU” dengan diiringi tawaan. Ku lihat siapa dalang di balik peristiwa ini. Celaka, celaka, celaka dalam hatiku. Dia adalah Ray, 

anak 11 MIPA 1 yang sudah menjadi incaranku selama ini. Wajahnya mungkin tak setampan Leonardo Dicaprio muda namun aku memilih dia. Ray selalu bersama dengan 2 sahabatnya yaitu, Janaka dan Bimo. Orang yang aku dambakan selama 

ini ternyata hanyalah lelaki idiot. 


Jelita hanya menundukkan kepala. Anya sang ketua kelas memberanikan diri untuk menguatkan Jelita. “Lit, sabar ya”, ucapnya lirih. Jelita hanya mengangguk dengan muka masam. Kepalaku sudah bak teko mendidih. Rasa cintaku pada Ray hilang sudah ditelan bumi. Tak terasa orasi calon ketua OSIS sudah berakhir. Seketika tangisan Jelita pun pecah mengisi ruangan. Anya tak bisa menahan diri untuk memeluk Jelita. Aku mengambil nafas dalam-dalam, sudah ku putuskan untuk menasehati Ray. “Ray, kamu gak bisa bilang gitu ke Jelita” ucapku tegas. “Jelita itu aneh banget tau udah tomboy mainya sama kucing melulu” jawab Ray. “Justru dia berhati mulia dong bisa ngasih makan kucing” selorohku. “Vanessa, intinya aku cuma bercanda. Iya kan?” kata Ray sambil menepuk bahu Janaka dan Bimo. Janaka dan Bimo membenarkan pernyataan Ray. “Kok bisa cuma bercanda sih? Jelita nangis tau” ucapku ke Ray. “Iya iya, aku minta maaf” kata Ray. “Minta maaf jangan sama aku tapi sama Jelita” ucapku. ""Iya aku minta maaf ke Jelita” kata Ray. Syukurlah ternyata Ray masih ada niat baik.



Ekspektasi ku pecah ketika gerombolan idiot itu tertawa. Ternyata permintaan maaf mereka tidak datang dari hati yang paling dalam. Aku hentakkan meja kayu di depanku dengan tangan mungilku. “Pergi! Pergi! Kalian pergi dari kelas ini  sekarang juga! Pergi!” marahku. Semua mata tertuju padaku. Teman 11 MIPA 4 semua terdiam tak bisa mengucapkan sepatah kata apapun kecuali Anya. “Ray,  mending kamu keluar aja deh. Kamu bisa habis sama Vanessa” ucap Anya memperingatkan Ray. Kemudian, Ray dkk. beranjak pergi dari kelas 11 MIPA 4.  Jelita dengan mata yang sayu menghampiriku “Vanessa, makasih. Kamu mau 

nggak jadi sahabatku?” ucapnya. “Iya mau kok” jawabku. Semenjak itu Jelita menjadi sahabatku. 


Hari-hariku kini bersama Jelita dan kucing kucingnya. Aku sengaja  membawa bekal ikan pindang agar bisa ku berikan pada hewan berbulu ini. Teman sekelas pun terkadang ikut-ikutan memberikan ikan pindang kepada Jelita. Suatu 

hari, Ray datang ke kelas 12 MIPA 4. “Mau apa kesini? Mau gangguin Jelita lagi?” tanyaku sinis. “Nggak. Makasih udah marahin aku. Tanpa kamu, aku gak nyadar  kalo aku salah.” ucap Ray. “Ya makasih. Yang penting jangan diulangin lagi” jawabku dengan mengancam. “Janji kok gak diulangi” kata Ray dengan simbol V. “Lit, maaf ya udah ngelakuin hal yang gak pantes” kata Ray. “Aku udah maafin kok” jawab Jelita. Ray menggaruk nggaruk kepalanya. “Oh  ya, ini ikan pindang buat kucing” ucap Ray sambil menyodorkan ikan pindang. 

 “Makasih” ucap Jelita. 


Kemudian kami memberikan ikan pindang ke kucing. “Sekarang aku gak perlu khawatir lagi tentang siapa yang memberi makan hewan  lucu ini” ucap Jelita sambil mengibas rambutnya. “Tenang kok ada kami disini, iya kan Ray?” kataku. “Iya, ada Vanessa yang cantik dan Ray yang ganteng disini” kata  Ray sedikit menggombal. ”Terima kasih teman-teman, sekarang aku sudah bisa pulang ke rumah” ucap Jelita. “Rumah?” tanya Ray. “Rumah aku di akhirat” ucap 

Jelita. Kemudian tubuh Jelita perlahan-lahan menjadi transparan hingga kami tak bisa melihat Jelita. “Mungkin suatu hari kucing kucing ini akan membantu kalian saat kalian kesusahan” ucap Jelita dengan suaranya yang patah-patah. “Selamat 

tinggal” ucap Jelita untuk yang terakhir kalinya. “Jelita!!!” pekik aku dan Ray bersamaan. Aku dan Ray mampir ke setiap kelas 11 untuk bertanya “Apakah kalian kenal Jelita?”. Tak seorang pun tahu siapa itu Jelita. Jadi selama ini kami berbicara dengan seseorang yang sudah tidak ada di dunia ini.


Tak terasa setahun sudah berlalu. Aku dan Ray berada di kelas yang sama yaitu 12 MIPA 1. Sedangkan Anya, Janaka dan Bimo di kelas 12 MIPA 2. Kami tetap melanjutkan perjuangan Jelita yaitu memberikan makan ikan pindang ke kucing. Terkadang Anya, Janaka dan Bimo tak mau kalah untuk memberikan ikan pindang. Tidak ada hal yang menarik dengan sekolah apalagi bagi siswa kelas 12.

Tanpa ekstrakurikuker, seminar pengenalan perguruan tinggi atau les tambahan agar bisa mengerjakan soal UN berbasis komputer dengan maksimal. Satu-satunya hal yang mungkin sedikit menarik adalah jam pelajaran matematika. Bu Ajeng 

adalah tipe guru yang ditakuti kebanyakan siswa karena orangnya suka ceplas ceplos. “Bu Ajeng! Bu Ajeng” teriak Ray. Dalam beberapa menit, semua orang duduk di bangku mereka masing-masing. Bu Ajeng datang dengan sepatu hitam yang mengkilat, rok hitam panjang, baju batik berwarna hijau dan kacamata berwarna coklat. Wajahnya begitu manis tetapi tak pernah gagal membuat semua orang ketakutan. ""Tolong proyektornya” ucap Bu Ajeng. Ray dengan sigap menyalakan proyektor kelas kami. Bu Ajeng memiliki kebiasaan menjepret setiap jawaban ulangan kami lalu ditampilkan proyektor. Semua orang mengetahui siapa yang memiliki nilai terendah dan siapa yang memiliki nilai tertinggi. Miris, aku 

selalu menduduki peringkar terakhir. Aku tak pernah bersahabat dengan pelajaran matematika. Pelajaran kurva grafik f (x) atau trigonometri adalah hal yang 

menyeramkan dalam hidupku.


Laptop Bu Ajeng sudah menyala. “Kita akan membahas hasil ulangan dari siswa yang mendapatkan nilai terendah” ucap Bu Ajeng. Ku lihat siapa pemilik nilai terendah itu. Alamak, namaku tercantum di proyektor tersebut. “Saya gak bisa 

baca tulisan dokter. Rumus sudah betul tapi jawaban asal asalan. Sebenarnya bisa nggak sih lebih niat kalo jawab soal, Vanessa?” tanya Bu Ajeng. “Bisa bu” jawabku. “Nilai kok 50” lanjut Bu Ajeng. “Kenapa saya gak pernah dapat nilai 80 ke atas dari kamu Vanessa. Tolong bodoh jangan dipelihara sendiri” omel Bu Ajeng. Omelan Bu Ajeng sudah semakin panjang dan melebar. Bu Ajeng bercerita tentang

anaknya yang mendapatkan beasiswa luar negeri. “Anak saya yang pertama, Amelia nilainya selalu 90 gak ada yang dapat 50 seperti Vanessa” ucapnya dengan bangga. “Mungkin Vanessa kalo di rumah buku matematikanya bukan buat dibaca tetapi buat bantal” ucap Bu Ajeng sambil tertawa, Komentar pedas ini sudah semakin mengkhawatirkan. Wajahku semakin menekuk, aku malu dan tidak percaya diri. Aku tahu aku tak berbakat dalam matematika, tetapi apakah dengan menghina nilaiku di hadapan teman sekelas akan membuat diriku lebih baik atau 

termotivasi? Bagaimana seorang pahlawan tanpa tanda jasa melontarkan kalimat tersebut dengan mudahnya? Bu Ajeng menghela nafas panjang. “Vanessa, ambil saja ini. Masih bisa buat membungkus kacang rebus” ucap Bu Ajeng sambil 

memberikan nilai ulanganku. “Makasih bu” kataku, “Iya sama-sama” ucapnya ketus. Aku kembali ke bangku. Ku tatap lekat ulangan matematika itu. Hatiku sudah hancur. Ku tahan air mata ini agar tak menetes jatuh. “Vanessa, sabar jangan 

dimasukin ke hati” kata Ray lirih. “Makasih Ray” ucapku dengan sedikit senyuman yang terpaksa. Ray memamerkan simbol oke yang berarti iya. 


Lalu, Bu Ajeng menuliskan pembahasan soal di papan tulis. Jam sudah menujukkan 13:13. Aku 

sudah tak kuasa mendengar ocehan Bu Ajeng tentang nilai ulangan. Tiba-tiba kucing berwarna oranye melenggak lenggok dalam kelas bak supermodel. Aku dan Ray menatap satu sama lain dalam keheranan. Bukankah makhluk berbulu itu yang biasa diberi makan Jelita? Kucing itu melompat ke meja Bu Ajeng yang berisi tumpukan ulangan kami. Di luar dugaan, kucing tersebut mengeluarkan tinja. Meja Bu Ajeng dipenuhi oleh tinja kucing. Bu Ajeng membalikkan badan “Jijik!!! Saya gak suka kucing”. Bu Ajeng pun berlari ketakutan. Suasana kelas yang awalnya runyam menjadi penuh tawa.


Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah:


”Jangan pernah menilai seseorang hanya dari penampilanya namun nilailah seseorang dari kepribadian mereka”


dan


“Perbuatan yang baik akan menghasilkan karma yang baik sedangkan perbuatan yang buruk akan menghasilkan karma yang buruk”


Jember, 24 Oktober 2021"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.