Asa - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Asa


 "Teriknya panas sang mentari membuat sebagian manusia melenguh penuh maki. Sedikit kebohongan terucap ketika salah seorang mengatakan jika lebih baik panas dari pada hujan. Nyatanya semua hanya omong kosong belaka. Ketika panas matahari menyongsong permukaan bumi, manusia berlogika tinggi itu mengatakan jika lebih baik hujan saja. Dasar serakah. Gadis berseragam sekolah menengah atas itu kini tengah melangkahkan kakinya ringan. Melewati trotoar bersama para pejalan kaki yang hilir mudik. Tak peduli panas menyengat kulit, sang gadis terus melangkah lurus. 


Tatapannya menelusuri sekitaran. Jalanan di samping kanan diisi para pengendara, baik mobil ataupun sepeda motor ada. Bahkan, tidak sedikit tukang becak memarkir di bagian barat Taman Kota. Tempat berkumpulnya keluarga, teman, ataupun pacar untuk merileksasikan diri dari sibuknya dunia pekerjaan. Dijadikan tempat untuk kencan buta ala anak remaja pada umumnya pun Taman Kota ini sangat cocok dikunjungi. Langkah kaki berbalut sepatu converse hitam itu mulai memasuki kawasan Taman. Rambut lurus halusnya beterbangan tertiup angin. Menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga, sang gadis melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.


Senyum semanis gulali pun tak lekas pudar dari bibir merah ranumnya, selaras dengan wajah cantiknya. Menawan untuk dipandang, dan tentu tak akan bosan 'tuk menatapnya. Lentera, gadis berambut hitam lurus kini duduk di sebuah kursi kayu yang nyaman. Berjalan dari sekolah sampai ke Taman Kota memang terbilang tidak terlalu jauh. Namun, tetap saja yang namanya jalan kaki akan terasa melelahkan. Ditambah cuaca terik menjadi penyebab kelelahan Lentera sedikit bertambah. Dia merogoh saku, mengeluarkan satu kain putih polos dengan ukiran nama Lentera di bagian bawah kain. Lentera mengusap pelan peluh yang meluruh di dahi dan leher putihnya. Terasa lengket saat keringat sekecil biji jagung mengenai helaian rambutnya. Membuat kusam.


Tanpa sengaja sudut matanya menangkap objek yang membuat hati tenang. Di sisi sebelah kanan, melewati dua kursi kosong di sebelahnya, Lentera menangkap sebuah keluarga yang duduk sambil bersenda gurau. Raut bahagia terpancar dari tawa yang menguar tanpa malu. Lekat memandang, Lentera tersenyum tipis menyaksikannya. Sederhana namun penuh makna. Terurai indah tanpa kepalsuan. Keluarga lengkap, tak ada pengkhianatan atas sikap penuh kasih yang ditunjukkan sang lelaki pada wanitanya. Tulus tanpa dalih. Lentera menginginkannya. Sebuah keluarga yang utuh. Sudah cukup menyaksikan pertunjukkan-keluarga bahagia, Lentera beranjak berdiri. Merapihkan seragamnya yang sedikit kusut, lantas segera melangkah. 

Langit mulai berubah warna menjadi sedikit oranye. Lentera mempercepat langkah demi langkah hingga sampailah dia pada sebuah rumah modern dengan dua lantai. Membuka pagar, halaman luas dengan ditanami rerumputan hijau tersuguh sejauh mata menelisik. 


Mobil hitam terparkir apik di depan rumah. Mobil ayahnya. Sudah tepat, jika ayah sudah pulang dari dinasnya seminggu yang lalu. Lentera berlari kecil tak sabar berjumpa. Gagang pintu kecoklatan Lentera putar hingga menimbulkan bunyi, lantas Lentera kembali berjalan ringan setelah pintu terbuka sempurna. Tak lupa pula, dia kembali menutup pintu. Ruangan yang dipijaki Lentera sunyi. Seperti biasa, meskipun memiliki penghuni, rumah megah ini memang terasa seperti tak berpenghuni. 


Dengan alasan ingin berjumpa dengan sang ayah, Lentera melewati lorong yang menghubungkan dia dengan ruang kerja sang ayah. Seperti biasa pula, sehabis bekerja tidak ada kata istirahat bila waktu belum berganti malam, ayah Lentera tak kenal waktu dalam bekerja. 


""Ayah, ini Tera."" Mengetuk pelan permukaan pintu, Lentera lekas masuk saat suara sang ayah terdengar dari dalam. Kaki jenjangnya melangkah, membuka pintu lantas mendekati meja sang ayah yang masih berkutat pada berkas-berkas tanpa peduli kehadiran sang anak. Kacamata persegi tak lepas dari mata yang sedikit terdapat kerutan kecil di sudutnya. 


""Ayah, lihat Lentera. Tadi Lentera habis mendatangi Taman Kota yang dulu sering kita kunjungi bersama."" Tak ada respon positif dari sang ayah. Dia tetap sibuk dengan pekerjaan.


""Tera melihat ada banyak keluarga yang berkumpul di sana, Yah."" Masih mempertahankan senyuman, Lentera tak jua menyerah. Bibirnya perlahan melengkung ke bawah, tak mendapat respon apapun membuat Lentera merasa terabaikan. Meskipun sudah biasa, Lentera tetap tak bisa menerima dengan lapang dada. 


Sang ayah mendongak, menatap lurus netra Lentera. Meski tahu terdapat kesedihan dalam raut wajahnya, ayah tetap tak merasa berempati. Membuka kacamata perlahan, ayah mengendurkan dasi yang terasa melilit membuatnya tak nyaman. Sedang Lentera masih menunggu dalam keheningan. Rok abu-abunya dia genggam erat-erat. Berharap rasa takut yang tiba-tiba melanda hilang dalam sekejap. 


""Jangan ganggu, Ayah. Sana urus dirimu sendiri. Kamu bisa mencari kesibukan lain, bukan. Selain mengganggu, Ayah."" Menusuk hingga menyapa luka yang belum kering dalam hati, Lentera semakin merasa terabaikan. Ucapan dan perilaku ayahnya selalu saja menimbulkan luka tak kasat mata. Belum cukup dengan tamparan minggu lalu, kini Lentera kembali dihadapkan oleh keadaan yang tak mau berpihak padanya. Lentera pikir, ayahnya akan berubah pikiran dan menyambutnya dengan hangat, dengan pelukan yang selama ini tak Lentera dapatkan. Pelukan terhangat yang selalu Lentera impikan dalam tidur nyenyaknya. Ah, bukan. Tidur Lentera tak pernah nyenyak, bayang-bayang yang terasa abu-abu selalu saja menghantui, melalang buana dalam pikiran Lentera.


Lentera ingin beranjak, namun pergerakannya terhenti saat pintu kembali terbuka. Menampilkan wanita yang tidak lagi muda. Namun, terlihat masih cantik dan begitu anggun. Dia bunda Lentera. Wanita yang telah menjadi manusia perantara Tuhan 'tuk menitipkan Lentera pada dunia ini. Ketukan sepatu berkaki tinggi memasuki pendengaran. 


""Oh, Lentera. Kamu sudah pulang rupanya."" Bunda melewati begitu saja Lentera. Tak ada suara lembut mendayu khas keibuan yang menyapa, hanya suara sedatar tembok yang memasuki gendang telinga Lentera. Hanya sekadar berbalik, Lentera mulai menyaksikan ayah dan bundanya mengobrol riang, lalu berlanjut, hingga ke tahap permasalahan datang. Ayah dan bunda kembali bertengkar. Selalu, dan akan tetap seperti itu. Tak ada perubahan, karena sedari kecil sudah biasa Lentera menyaksikan keributan yang terjadi di depan mata, tanpa peduli akan kehadiran anaknya mereka tetap berbicara dalam nada meninggi. 

""Kamu yang salah, Mas. Aku, kan sudah bilang akan mengikuti arisan di rumah temanku, dan kamu pun mengiyakan."" Bunda mengelak dari kesalahan, masih tetap menyalahkan ayah. 


""Kamu hanya bilang ingin arisan, ya aku izinkan. Tapi kamu tidak bilang jika akan menghabiskan uang sampai ratusan juta begini!"" Ayah membanting kertas yang bisa dipastikan surat berisi penagihan atas semua barang-barang mahal yang bunda beli tanpa berpikir kegunaannya.


""Hanya segitu kamu sampai marah, Mas. Lalu kenapa kamu tidak marah saat selingkuhanmu menghabiskan lebih banyak uang dari pada aku, hah!"" Bunda balik membentak. Lentera terperanjat. Selingkuhan? Fakta menyakitkan apa ini. 


""Terserah aku. Kamu tidak berhak mengatur kehidupanku, Sarah. Ingat, kita sudah bercerai dari dulu. Masih punya muka kamu minta uang sama aku?"" Ayah mengambil segenggam uang dalam laci, melemparkan tanpa perasaan tepat mengenai wajah bunda. Meski begitu, bunda tak keberatan. Dia lebih memilih mengambil uang dengan kasar. Tanpa peduli harga dirinya dijatuhkan ayah, demi uang bunda rela menukarnya. Rasa sesak kian menghimpit dada. Lentera menggeleng dengan derai air mata yang berjatuhan membasahi pipi mulusnya. Wajahnya kian memucat, pancaran kesedihan diwarnai luka tergambar jelas dalam raut  wajah Lentera. 


""Ayah, Bunda. Tolong katakan jika semua bohong. Jangan takuti aku, Lentera mohon."" Lentera menyatukan telapak tangan. Memohon untuk sang ayah dan bunda agar mengatakan jika semua hanya kebohongan, tak ada yang benar-benar selingkuh, apalagi sampai bercerai.


""Tak ada kebohongan, Lentera. Semua sudah jelas kamu dengar, kan. Tidak perlu Ayah jelaskan lagi. Semua sudah berakhir. Ayah dan Bunda hanya bersandiwara selama ini, dengan tujuan agar kami bisa menguasai seluruh harta yang nenek berikan untukmu. Lihat sekarang, Ayah sudah mempunyai segalanya, Bundamu juga sudah memiliki kekasih di luar sana. Tentu, kita sudah bercerai saat kamu memasuki awal SMA. Bundamu tidak sibuk dengan pekerjaan hingga pulang larut malam, dia hanya bersenang-senang dengan kekasih gelapnya."" Ayah menjelaskan dengan rinci. Tak ada kebohongan, semua nyata. Harapan Lentera untuk mempunyai keluarga utuh sudah hancur. Semua sirna. 


Selama ini, Lentera hidup dalam kebohongan. Keluarga tanpa hadirnya cinta dan kasih sayang menimbulkan kehancuran kian mendalam. Bukan keinginan Lentera untuk hidup, bukan pula keinginan Lentera untuk hadir dalam keluarga penuh sandiwara. Tetapi jika Tuhan sudah menghendaki, Lentera hanya bisa menerima. 


Jika saat ini kehancuran melanda kehidupannya, Lentera akan dengan senang hati memperbaiki. Jika saat ini rumahnya tak berdinding, berdiri tanpa penyangga, sekali rusak tak dapat diperbaiki, Lentera akan membuat rumahnya sendiri, rumah sesungguhnya. Seperti penerang dalam setiap kegelapan, Lentera akan tetap menjadi pelita di dalam keluarganya. Saat ini hingga nanti, Lentera tetap lentera, tak akan berubah."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.