https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html
Untuk melihat data peserta silakan kunjungi website www.net24jam.com
Selamat Menikmati puisi di bawah ini:
Andai.
Waktu berhenti.
Ruang hilang arti.
Lalu dunia mulai mati.
Akan kah kita berakhir? Kurasa tidak. Jiwa kita terbang kesuatu tempat dan hidup dilain dimensi. Hanya raga kita tinggal dibumi meninggalkan segala repetisi. Tidak ada lagi instastory, seblak mu itu hilang dan pergi, magister hanya kata dilaminating yang jadi prasasti.
Ada pikiran lain yang mengusik pikiranku. Apakah kesadaran, pikiran dan segala emosi ditinggal pergi? Atau jiwa kita hidup disurga seperti orang mati, tanpa rasa, tanpa pikiran dan tanpa imajinasi? Aku tidak tahu. Tuhan memang misteri dari segala misteri.
Namun, jika boleh berandai dalam asumsi, Tuhan dengan magis dan segala ketidakterbatasan nya mampu menciptakan surga dari setiap ruang imaji yang diciptakan setiap makhluk-Nya. Termasuk kamu dan aku.
Ayo, masuk lebih dalam ketulisan ini.
Bayangkan imaji yang kamu dambakan, yang orang-orang dambakan adalah representasi dari surga kita kelak. Jika Tuhan masih membolehkan demokrasi, aku ingin berunding dulu dengan mu. Menciptakan bentuk dan rupa dari surga kita. Namun, hasil dari perundingan itu tidaklah penting. Anggap saja, kematian ku dan kamu berbeda waktu nya, dan perjalanan dari alam kubur kesurga teramat lama kan ? Kita satu agama, agama kita mengajarkan itu.
Lalu, jika Tuhan membolehkam emosi, kau pikir seberapa luas kerinduan ku nanti? Dan perundingan itu tidak lebih dari diskusi biasa kita dibumi. Yang biasa nya kita bayangkan Tuhan mendengarkan diskusi kita. Tapi, dihari nanti diskusi kita, Tuhan melihat langsung caraku melepaskan kerinduan.
Sudah kubilangkan? Perundingan yang kita rundingkan hari itu bukan untuk merundingkan bentuk dan rupa surga ku kelak. Apapun hasil nya, imajinasiku adalah kamu dan surgaku adalah kamu
Edelweiss
Memperhatikan mu adalah tentang lini masa. Seberapa sering kamu merasa diperhatikan? Kau tidak perlu menjawab. Sifat alamiah perempuan dan manusia adalah insecure. Jadi tidak heran jika terkadang kamu tidak merasa diperhatikan, mungkin pikiran mu sedang kalut. Ambil seblak mu, atau pun anime favorit mu, atau kitab suci mu.
Kamu, yang duduk dibawah cakrawala. Desahan angin siang ini membawa tangis mu ketelingaku. Sepertinya, pipi mu itu terlalu gersang sampai-sampai mata mu itu basah tiada henti. Atau memang, aku yang membuat nya gersang? Maaf, ya. Bersanding dengan mu adalah tentang berbagi luka juga.
Tapi, mau percaya atau tidak, memperhatikan mu di lini masa bak edelweiss yang mengakar di atas ketinggian 2000 mdpl.
Maaf kalau kamu tidak tahu edelweiss. Mari kuperjelas dulu. Ada suatu kepercayaan dari para pendaki, tertanam bunga abadi didaerah tinggi. Entah, bagaimana cara nya, kami meyakini edelweiss itu abadi. Dan kurasa, edelweiss adalah kata metaforik paling cocok untuk menjelaskan seberapa lama nya aku memperhatikan mu.
Lembayung
Gravitasi mu terlalu kuat. Entah apapun hal yang kulihat belakangan ini, menarik ku pada poros dengan senja magis ditangan nya. Kendati ditengah malam, pikiran ini begitu sejuk dan merdu menyadari bahwa bersanding dalam ketidakterbatasan ini bersama mu. Alih-alih terlelap dalam hangat nya episode yang tak sengaja terputar malam ini, justru malah bermetamorfosis menjadi bait demi bait, lagi.
Ah, sial!
Pikiran dan perasaan ini begitu menginginkan mu, tapi mulut dan jemari kelu dalam berbahasa. Apa aku menepi saja? Kamu begitu jauh.
Dalam keramaian ini, aku tidak menemukan diri sendiri. Tapi, dalam kesendirian malam aku menemukan diriku pada dirimu. Kurasa, argumentasi lawas tentang ""jodoh itu gambaran diri"" adalah valid.
Nutrisi
Pergilah!
Bawa semua yang ada dan yang tak ada bersama mu pergi keangkasa. Gunakan sayap mu itu. Sayap yang teranyam dari karir, pendidikan, pemikiran, perasaan, pengalaman dan segala yang kau punya mau pun yang tidak membawa mu melambung ke langit tak hingga. Menepi diantara rembulan dan bintang, berlabuh pada mentari dan semesta. Bawa semua nya pergi, termasuk tanda tanya mu itu. Tanda tanya yang kau sengaja persembahkan untuk ku yang masih di dasar kehidupan.
""Bagaimana dengan mu? Apa kau baik-baik saja?""
Imbuh jemari mu mengisyaratkan demikian. Atau, setidaknya, itu yang ku artikan. Dengan atau tanpa kebersamaan kita, sayap mu itu tetap mengangkasa juga.
Biarkan aku belajar untuk menderma pada manusia, tetumbuhan berklorofil maupun heterotrof, gunung ataupun dalam nya palung. Kau sering bertanya,
""Bagaimana cara nya bahagia?""
Bahagia itu sesederhana tawa anak-anak, ibu yang kepedasan memakan seblak, bapak yang bermandikan keringat menghidupi mu meskipun harus sampai merangkak-rangkak. Bahagia, sebising jangkrik di labirin hutan, semegah mentari yang merangkak keperaduan, sesederhana aku menemukan mu diantara ketertidakbatasan.
Kamu,
nutrisi pikiran yang menyehatkan asa.
Kalsium penguat tulang kehidupan yang pernah rapuh.
Endorphin paling sederhana untuk pikiran dan rasa.
Oksigen untuk renjana agar kembali sembuh.
Setelah aku tahu cara mengakhiri kerinduan ini, tempatkan aku disayap mu. Dan mari bergabut ria keabadian bersama.
Garam
Dengarkan gemuruh dari pasangan hujan dan mendung, agak terdengar pilu. Atau lihat lah gemulai jingga dan senja, apa masih membuat mu pilu?
Sejenak, mengkhawatirkan keadaan membuatku meromantisasi segala sesuatu. Diantara keputusasaan pandemi, ada bentangan harapan terhampar yang membuatku mengartikan mu. Coba angkat ponsel mu, dan berselancarlah sekali lagi di internet untuk ku. Ajak lah jemari mu merangkai kata di papan pencarian google dan tuliskan ""garam"".
Bagaimana hasil nya? Bacalah dulu untuk membangkitkan kenangan SMA mu. ""Kita"" tersusun atas ""kamu"" dan ""aku"". Layak nya garam yang terususun dari Natrium dan Klorida, semesta mempertemukan kita dengan tujuan yang tidak pernah kita duga ada awal nya. Tujuan sederhana yang kita bisa persembahkan untuk semesta dan seisi nya.
Lihat lah air! Senyawa H2O itu menghidupi kamu, aku dan juga bumi hari ini. Pertemuan antara Hidrogen dan Oksigen yang direncanakan semesta berbuah tujuan yang fantastis, bukan?
Selayak nya air, kita yang dibekali akal dan pikiran berkesempatan menghidupi kehidupan. Mari berkonspirasi, berkolaborasi, berkooperasi atau apapun itu untuk bisa menjadi air. Dan, yang paling penting, jangan mengharapkan surga lalu antipati terhadap neraka, kemudian mari menjadi pelayan semesta dan Tuhan bukan pelayan agama."
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.