Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

PERJUANGAN IBU- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "10 September 2002


 

PERJUANGAN IBU


-Sad Story-


“ Hai, balik lagi ke cerita Vanyaa. Hari ini Vanyaa punya cerita baru yang judulnya ‘Perjuangan Ibu’, di mana judul itu sendiri dipilih oleh Naila Syakira. Sebelumnya saya selaku penulis tidak bisa membuat kalian termotivasi oleh cerita saya. Akan tetapi, saya mohon hargailah saya yang sudah memikirkan alur dan menulis cerita ini. Dan maaf apabila ada kesalahan yang membuat kalian para pembaca sakit hati. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Baiklah, saksikanlah….   Kisah hari ini ‘Perjuangan Ibu’, Selamat membaca…”


Pemain : 

1. Maria Dealova, sebagai peran utama yaitu menjadi seorang ibu tunggal yang merawat 2 anaknya.

2. Fiona Dealova, sebagai kakak dari kedua anak maria.

3. Arya Dealova, sebagai adik dari viona.

4. Aldi Adinata, sebagai peran tambahan yaitu teman kerja dari maria.

5. Gatina Levvania, sebagai sahabat sekaligus pendukung Maria.


“ Hai semua. Ah maaf. Perkenalkan namaku Maria Dealova. Aku adalah seorang ibu tunggal. Aku ditinggal oleh suamiku karena miskin. Aku merawat 2 orang anak, mereka lah alasanku hidup. Aku sudah lama bekerja di suatu perkantoran kecil yang dimana gajinya sudah lebih dari cukup untuk hidup kami. 

Baiklah, mari langsung saja simak kisahku.” 


Vanya Xaveira Victorya mempersembahkan :






“ PERJUANGAN IBU ”


-12 tahun yang lalu-


- : Awas ! Lepaskan aku, dasar wanita murahan. Jika aku tahu harta itu bukan untukmu, seharusnya aku tak perlu menikahimu ! 

Maria : Mas ! Bagaimana dengan anak kita ? Mereka masih kecil mas.

- : Anak kita ? Urus saja sendiri anakmu, dasar miskin. 

Maria : Mas ! Tidak jangan tinggalkan aku mas. Mas ! 


Fiona : /mengepel. ( Apa yang harus ku masak hari ini ? )

Arya : /ke dapur, mengambil roti, makan. Kak ! Apa masakanmu hari ini ? 

Fiona : /meletakkan pel. Entahlah. Aku juga sedang memikirkannya.

Arya :Aku akan membantumu memasak Kak… Bagaimana jika sambal balado pakai terong dan tempe

Fiona : Wah, itu masakan kesukaan ibu bukan ? Baiklah ayo …

Arya : Aku ke kebun untuk memanen terong, kau mulai saja tanpaku…

Fiona : Baiklah…


“ Hai, aku Fiona. Aku adalah saudari kembar Arya. Kami hanya berbeda beberapa menit. Aku adalah satu-satunya putri dari ibuku. Jadi sebagai seorang wanita, aku mengerjakan semua tugas rumah beserta memasak. Namun jika ibu tidak ke kantor, maka ia tak akan mengizinkanku membersihkan rumah dan memasak. Ia pasti berkata… 

“ Ini semua adalah tugas ibu, tugas kalian adalah belajar ”.

Dia selalu mengatakan itu dan memasang wajah seolah-olah ia bahagia dan tak lelah. Kami tahu di balik senyum ibu, ibu sangatlah kelelahan. Ia bekerja dari pagi sampai petang tanpa istirahat. Kemudian ia memasak untuk kami. Ibu adalah wanita yang tangguh dan lembut. Kami sangat bahagia karena mempunyai ibu seperti nya… ”


Arya : Aku pulang.

Fiona : Bergegaslah Arya,  ibu akan pulang sebentar lagi.

Aria : Baiklah baiklah.


“ Hai aku Arya. Aku adalah saudara kembar Fiona. Aku adalah adiknya. Aku adalah satu-satunya putra dari ibuku. Aku biasa bercocok tanam. Agar sayuran atau apapun tak kekurangan. Aku sangat tahu lelahnya ibu kami, dari awal kami kecil sampai sekarang. Ia selalu sabar atas tingkah laku kami. Ia juga tak sering memarahi kami, namun ia hanya menasehati. Kini kami sudah mulai beranjak SMA. Kami harus belajar giat agar ibu bangga. Ibu yang selalu tersenyum, aku berharap senyum itu selalu ada di wajah cantiknya ..” 


Fiona : /meletakkan makanan, menyusun piring.

Arya : /mencuci piring atau wajan yang kotor

Fiona : Nah, selesai. 15:45. Ibu akan tiba 15 menit lagi. Arya, kau perlu bantuan ? 

Arya : Tidak, aku bisa melakukannya sendiri. Lagian sudah hampir beres kok ..

Fiona : Baiklah, setelah itu bersihkan dirimu ..

Arya : Yaa ! ( dasar kakak cerewet .. )


Aku dan Arya sangat mengingat 5 tahun penderitaan Ibu. Dahulu Setelah ayah meninggalkan ibu, ibu selalu menangis di pojokan kamar seraya berkata “Apa yang akan terjadi padaku ? pada anak anak..” Ia selalu menangis di malam hari. Namun ketika pagi ia tersenyum, seolah-olah tak ada yang terjadi.. Dahulu ia sering membuat kerupuk, lalu menjualnya di kota. Ia pergi dari pagi dan pulang petang atau terkadang malam. Betapa letihnya ia.. namun ia selalu berkata “ jika ada kalian, ibu tak akan pernah berhenti tersenyum” Kasih sayang dan cinta ibu, tak akan pernah tergantikan. Cinta yang seluas samudra selalu menyelimuti hidup kami dengan hangat.. 

Hingga suatu ketika.. 


Arya : /belajar di ruang tamu. Kak. Apa masih lama ? Kenapa ibu telat sekali..

Fiona : Entahlah, tapi ini sudah lewat 17:00. Apa ibu lembur ?

Arya : Aku akan menutup makanan, agar tak basi. 

Fiona : Baiklah. ( Hmm, tumben ibu tidak memberi kabar. Biasanya jika lembur, ibu pasti akan menelepon rumah. Apa mungkin ibu lupa ? Ah sudahlah ). 


-Beberapa menit kemudian-

Arya : /ketukan pintu. Nah, akhirnya.. 

Fiona : Arya, tunggu.. ( biasa ibu akan mengatakan, “ tok tok, ibu pulang- ” Mengapa tidak ada suara ibu ? ) 

- : hmm hmm mmm.

Fiona : ( Ibu ?, tidak kami harus cerdik tak boleh panik ) Arya,  kemarilah…

Arya : Ibu diculik…

Fiona : Aku tahu. Sekarang kumpulkan berkas serta barang penting. Kita harus menyembunyikannya. Waktu kita 8 menit… di mulai.

- : Apa-apaan ini, kau pasti salah alamat ! 

Maria : /menggeleng. ( Astaga, siapapun tolong aku. Anak-anak. Maafkan ibu )

/Suara gedoran pintu.

Fiona : /Berbisik. Di sana. Letakkan di sana… Baiklah, baiklah. Oke, kau siap Arya ? 

Arya : Ya, buka pintunya !

Fiona : Aku harap ini berhasil. /Buka pintu.

- : Nah. /Lampu mati. Huh ? Apa-apaan ini ? Maria ! Maria ! Huh,  biarkan saja. Yang penting rumahnya sudah ada di tanganku. 

Arya : /menarik ibu perlahan. Ibu ? Ibu baik-baik saja…

Maria : Arya ? arya maafkan ibu nak… D- dimana Fiona ?

Arya : Dia disini …

Fiona : Iya ? Ibu memanggilku. 


-Maria Flashback.-

“Iya ? Kau memanggilku putri manisku ?” 

Maria : Ah…   /memeluk mereka, menangis. Jangan, jangan tinggalkan ibu lagi. Ibu, ibu sudah lelah ! Jangan tinggalkan ibu.


Arya. “ Kenapa ? Kenapa ibu memperlihatkan wajah lelahnya ? Mengapa ? Mengapa rasanya sangat sakit melihat ibu menangis ? Aku… aku dan Fiona tak akan pernah meninggalkan ibu. Berhentilah menangis, bu. Arya tak kuat. Arya tak kuat melihat ibu menangis. Hentikan ibu. Arya tidak akan pernah menambah beban ibu. Maafkan Arya ibu, maaf.""


Fiona. “ Apa ? Apa yang ibu tangisi ? Bukankah kita sudah sepakat untuk menjalani hidup selamanya ? Apa yang ibu tangisi lagi bu… Kami sangat mencintai Ibu. Tolong, tetaplah tersenyum. Aku tak kuat melihat ibu berlinang air mata… ”


Arya : /menghapus air mata ibu 

Fiona : /memegang tangan ibu yang semakin lama semakin dingin.

Maria : /jatuh pingsan.

Fiona & Arya : Ibu !! ibu, ibu !! ibu bangun bu... Ibuu !!!


Dokter : Ibu kalian mengidap kanker otak stadium awal, masih ada kesempatan 65% jika operasi. Namun biayanya-...

Arya : Lakukan ! Lakukan apapun yang membuat ibu kami sembuh ! Lakukan semaksimal mungkin tolong. Tolong selamatkan ibuku dokter, kumohon. K-kami, kami hanya mempunyai dia. Tolong selamatkan ibu kami…

Dokter : Baiklah, baiklah. Silahkan tunggu di sini, kami akan membawa ibumu ke ruang operasi.

Fiona : /terjatuh. Arya.. Apa yang akan terjadi ? 

Arya : Memegang pundak Fiona. Fio. Ibu pasti akan selamat. Pasti ! Bukankah dia sudah berjanji akan selamanya bersama kita ? Dia tidak akan melanggarnya.

Fiona : /menggenggam tangan Arya. Ya, ia pasti selamat pasti.

Ardi : Huh. Bagaimana ?Apa ibu kalian baik-baik saja…

Gatina : Hah. Anak-anak ! -Memeluk-.

Fiona & Arya : …

Gatina : ( Mereka pasti terkejut. Huh, jangan pergi Maria )

Fiona : Tan-..Tante Tina.

Gatina : Iya ? Apa yang ingin kau katakan Fio ? 

Fiona : B- Biayanya.. Biaya operasi.

Ardi : Aku yang akan membayarnya. Kalian tenang saja…



Ibu. Sembilan bulan kau mengandung.

14 tahun merawat kami sendirian, memberikan semua cinta dan kasih sayangnya pada kami. Bekerja dari pagi hingga petang, tetap tersenyum meskipun letih. Namun hari ini… ia menunjukkan lelahnya, linangan air matanya, semua yang tak pernah kami lihat sebelumnya. Ibu tampak kan hari ini… hatiku Hancur saat melihat ibu yang seperti ini. Apakah itu semua lelahnya ia? Apakah itu semua kesakitannya? Mengapa, Mengapa ibu selalu menyembunyikannya? Apakah ibu akan selamat 65%... Itu bahkan tak mencapai nilai KKM sekolah… 

“Ibu, Ibu sudah berjanji padaku dan Arya. Bahwa Ibu tak akan meninggalkan kami.” Ibu pasti selamat ! pasti. 


/masih menunggu. 5 jam berlalu... Ting. Lampu kamar operasi yang hijau, Dokter keluar dari kamar operasi. Terlihat dari wajahnya kelelahan. Kemudian ia berkata, “maaf”. Arya dan fiona berlari ke dalam ruang operasi, melihat Ibunya yang sudah hampir tak selamat. Sang Ibu berkata dengan nafas yang terbata-bata, “Fiona, Arya. Terima kasih. Jagalah diri kalian. Ibu pamit yah…” Menghembuskan nafas terakhirnya. Ibu. Ibu. Ia sudah tiada. Ia sudah tak bersama kita lagi. Ia sudah pergi. Ia sudah pergi untuk selamanya. Tiba-tiba Fiona berkata. “Terima kasih atas segalanya bu, kami pasti akan menjaga diri. Ibu juga, Ibu juga jangan lupakan kami, meski sudah di sana.. Tidurlah Ibu. Lelah dan letih mu sudah terbayar. Terima kasih.. Terima kasih ibu”.


Mereka tersenyum, namun pipinya sudah dibasahi oleh air mata. Linangan air mata yang tak kunjung berhenti, mereka melihat ibunya yang sudah dibalut oleh kain putih. Kemudian Arya berkata.. 

“Kami akan selalu bersama, Ibu terima kasih telah menjadi Ibu terbaik. Senyum dan semangat mu akan selalu kami kenang.”

Keduanya berkata seolah-olah sudah dewasa, padahal mereka baru menginjak bangku SMA.


Remember !!!

Jangan pernah menganggap sepele pekerjaan Ibumu, ia lelah. Namun ia tak menunjukkannya. Ingatlah! bagi kalian yang masih memiliki Ibu, jangan sia-siakan. Jangan berbuat dusta akannya, karena kalian tak akan tahu. Betapa perih dan sakitnya dia ketika kalian membentaknya... Betapa sakit hatinya ketika kalian mengatakan “aku malu punya seorang ibu sepertimu!”. Betapa kecewanya ia ketika kalian menghina masakan yang telah ia buat dengan sepenuh hati. Hargailah, hargailah dan sayangilah Ibumu jika masih ada. Karena kita tak akan tahu kapan kita akan meninggalkan dunia yang fana ini. 


Sekian kisah hari ini, maaf apabila ada kesalahan kata. Maaf juga apabila alur cerita yang tak sesuai.. 

Sekian dari saya Vanya. Terima kasih.. -Penulis-

"


Terlalu Bawa Perasaan- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 Terlalu Bawa Perasaan

Oleh Arlison Sembiring


          Sabtu malam aku berniat untuk beribadah di Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dan tak ada niat untuk berbadah di GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat) khusus kali itu. Kebetulan Daslim gereja disitu juga (Sekarang Daslim harus kupanggil dengan sebutan Abang). Kata beliau kali ini mengunakan bahasa indonesia dalam sistem tata ibadahnya. Karena ibadah di HKBP selang seling bahasanya, misalnya minggu ini memakai bahasa Batak Toba, maka minggu depannya menggunakan bahasa Indonesia. Aku putuskan untuk ibadah masuk jam sepuluh Karena ada kegiatan lari pagi dahulu di Gor Hj Agus Salim Padang.

          Menjelang aku pergi dari indekos ku, ada saja hambatan yang aku harus hadapi yang membuatku tidak sabaran dan sempat mengurungkan niatku untuk ibadah minggu ini. Yang chat aku dari pagi tidak dibalas Daslim lah, padahal aku butuh sekali informasi waktu masuk ibadah dan alamat gereja itu dimana, supaya aku dapat memperkirakan jam berapa aku harus pergi dan bersiap siap. Yang  pulsa internetku habis lah pagi itu, hal itu membuatku bingung harus apa. Yang Mama aku telfonin tidak ada sinyal, pulsa tak bisa ditransfer pula. 

          Waktu  sudah jam sembilan lewat dan aku bergegas untuk mandi memakai Rok kesana karena aku tak tau aturan apa yang ada di HKBP (baru pertama kali ibadah disana sendiri). Setelah aku siap, aku langsung ke warung terdekat untuk beli pulsa agar bisa menghubungi Daslim. Karena alamat dan jam masuk ibadah masih belum kudapatkan. Setelah pulsa kubeli, aku bayar pulsa tadi, ternyata tidak ada kembalian dari uang yang aku sodorkan pada pemilik warung. Ibu pemilik warung memintaku menunggu sembari ia menukarkan pecahan tersebut, padahal sudah hampir jam setegah sepuluh.

          Aku tak tahu apa yang terjadi dengan ponselku setelah aku mengisi pulsa itu, tiba tiba aplikasi ojek online aku malah hilang. Geram rasanya. Aku berbisik dalam hati “Oh Tuhan,, mengapa pergi ke Gereja pertama kali disini terasa kayak diuji sekali niatku ??”. terpaksa aku harus mengunduh dahulu aplikasi nya. Yang membuatu tambah kesal ialah lama pegunduhan aplikasi, aku harus mengosongkan memori internal pula supaya aplikasinya muat di ponselku. Aku hapus aplikasi belajar. Puji Tuhan setelah itu Daslim langsung memberi alamat gerejanya dan memintaku untuk segera datang karena ibadah baru dimulai. Aku panik tidak tau harus gimana. Tak tau harus tetap gereja atau ibadah daring saja karena sudah terlanjur terlambat.  Dihatiku aku bertekad “Ah, mungkin Tuhan mengujiku dengan cara ini, Aku harus tetap gereja biar Tuhan  melihat kesungguhan hatiku”. 

          Setelah itu, aku lihat ada mobil yang menghampiriku. Pengemudi bertanya padaku “ke HKBP dek?”. Hah? Hatiku sungguh heran kenapa beliau tau. Reflek aku melihat layar ponselku dan kubuka aplikasi ojek online. Ternyata, yang kupesan kendaraan Mobil, bukan sepeda motor. Tentu perjalanan tambah lama dibanding dengan sepeda motor, ditambah lagi aku hanya sendiri dan terasa boros ongkos. Jujur, aku mendongkol pagi itu. Aku segera  naik mobil itu dan mengambil posisi dibelakang supir. Pak supir malah mengira aku ini seorang polwan karena rambutku dan postur badanku yang meyakinkan dan aku memastikan bahwa tujuanku memang benar benar ke Gereja supaya aku tidak salah alamat karena kecerobohanku.  

          Dimobil, aku berharap nantinya digereja bisa duduk disamping Daslim. Aku anak asing disana, aku pastinya canggung. Harapanku bila duduk dengannya, aku merasa lebih percaya diri. Lalu, Daslim bilang dari chat “ jam setengah sepuluh harus udah sampe”. Spontan aku langsung menghela nafas panjang panjang agar aku tetap tenang. Mau bagaimanapn aku tetap terlambat karena informasi yang lambat kudapatkan dan aku juga tidak mengabarinnya dari malam minggu itu. Aku juga mengakui bahwa ini ialah kesalahanku. 

Pak supir aku suruh cepat - cepat, ku minta untuk ngebut. Padahal aku tau sendiri kalau kota Padang juga ramai pada minggu pagi. Di gerbang gereja segera kubayar ongkos dengan uang pas sehingga tak lama lama lagi aku menunggu kembalian uangnya. Aku sampai di Gereja ketika Pengakuan Iman Rasuli. Menyadari hal itu, mataku dengan cepat melirik dimana Daslim berada. Tapi tak kutemukan dia. Akhirnya aku segera mencari dimana saja bangku kosong. Aku merasa bersalah pada Tuhan. Aku kira, aku tak bisa mendengar Khotbah Minggu karena sudah masuk ke Pengakuan Iman Rasuli. Ehh,, Puji Tuhan ternyata belum. Syukurlahhhh. Karena  baru pertama kali dan masih canggung, aku ikuti saja alur ibadahnya. Orang berdiri, aku berdiri. Orang lipat tangan berdoa, aku juga melakukan hal demikian.

           Kala persembahan pertama, aku fokus saja ke depan mimbar dan tak melirik sana lirik sini. Lanjut ke persembahan kedua kalinya, TAPP!!!, Sekejab aku melihat Daslim. Ternyata dia memakai baju Siswa Seba  yang dilampisi jaket hitamnya. Huuuuhhhh, sontak aku  ambil ponselku dan ingin memvidiokannya. Namun, nanti aku takut terkesan alay dan akhirnya tak jadi aku dokumentasikan.  Mataku tak lepas dari dia menjelang dia duduk dibangkunya dan dia tak ada menoleh sana menoleh sini, pandangannya lurus saja sehingga aku merasa ini moment dramatis. Mataku berkaca – kaca, membendung air mata. Ada rasa bangga, takjub dan haru juga melihatnya maju kedepan dengan seragam Seba itu. Secara visual, ia secara tidak langsung memberiku motivasi biar sama kayak dia dan memakai baju kebanggaan itu sama sama. Aku ingin sekali mengejarnya dan untungnya aku masih sadar disituasi begini harus pandai bersikap. Aku menyadari jantungku berdegub kencang dan tetap menahan ekspresi wajah cemburuku. 

          Terkenang olehku masa masa  Tes Rekrutmen Proaktif Bintara Polri pertamaku dulu. Pada tahap  wawancara Mental Kepribadianlah yang paling berkesan bagiku tentang Daslim, kami duduk dilantai berdiskusi tentang materi yang ditanyakan dengan posisi duduk bersila di depan pintu ruangan wawancara. Hanya Daslim yang berani nanya kepadaku apa saja yang ditanyakan pewawancara padaku karena aku telah selesai diwawancara. Sebenarnya banyak kisah yang terkenang bersamanya kala ibadah itu.  Bila aku lulus Pantukhir akhir, kami akan seangkatan dan sama sama memakai baju Siswa Seba itu. Namun, yaa belum takdir Tuhan dan aku sadar kekuranganku dahulu dimana. 

           Semenjak persembahan kedua, aku sama sekali tidak fokus ibadah. Otak dan hatiku cemburu pada Abang yang semarga denganku sendiri. Aku juga bereuforia agar bisa seperti Daslim nantinya dan sedang kuperjuangkan untuk memakai baju Seba itu juga.  Lalu ibadah selesai dan aku berdoa sebentar. Yang bikin aku mau nangis itu ialah sikap cuek dan dinginnya ketika diluar gereja. Aku sudah memanggilnya dari belakang untuk mau bilang terimakasih. Tapi dia bersikap seakan akan tak mau diganggu dan  seolah olah sibuk sekali sehingga tak menghiraukanku. Apakah mungkin ia melupakan aku?, Apakah dia tidak mau bertemu denganku?. 

           Jujur, gundah gulana rasanya, semua rasa bercampur disana. Disitu hatiku juga ter iba, aku tak bisa foto dengannya. Dia buru – buru dan dia bilang dia mau pulang deluan dan langsung mengajak Pak Tua (Bapaknya) untuk segera beranjak dari situ. Ya udah... yang penting lengan baju Seba sebelah kirinya telah kupegang. Hihihi. Ia dibonceng pak tua dan meninggalkanku sendiri di teras gereja tanpa menitipkan setitik senyum perpisahan.  Dalam hati aku berharap “Semoga nular, semoga aku Lulus Terpilih pada kesempatan tes kali ini,  kami bisa seprofesi nantinya dan dia bisa jadi abang andalanku nantinya, abang terbaik dan menjadi pemacu semangat karirku nantinya”. Aku agak takut sih kalau dia nganggap aku sok kenal sok dekat dengannya. Tapi aku tak bohong, hanya dia temanku disana kala itu. Hanya dia yang bisa kuharapkan untuk memberi beberapa informasi kala itu. Miris bukan?  Harus berhadapan dengannya yang dingin sementara aku terlalu mendekat padanya. 

           Aku pulang ke indekosku dengan kendaraan roda dua. Diperjalanan dengan ojek online, aku tak ada bicara sepatah katapun. Kebetulan bapak ojeknya juga diam dan tak mengajakku berbicara, mungkin karena beliau melihatku dari kaca spion bahwa dari wajahku tergambar suasana hatiku sedang kacau. Beberapa meter beranjak dari gereja, aku menangis deras tanpa besuara. Pipiku dihujani oleh air mata yang tak terbendung lagi. Tak dapat lagi kutahan hingga masker medis biru aku basah dibuatnya. Masker itu bisa diperas. Pak ojeknya memilih jalan ke Tepi Pantai Purus Padang (rute terjauh ke indekosku) yang membuatku bisa lebih puas lagi menangis sambil pipiku dicium sepoinya angin.  Sepertinya pak ojek itu diarahkan Tuhan untuk  memilih jalan tepi pantai agar suara tangisku tak terdengar karena teredam oleh berisiknya ombak pantai. Ditambah lagi dengan suasana alan lumayan sepi kaena penerapan PPKM saat pandemi Covid 19 ini. Aku tak tahu jaket kuning pak ojek itu basah atau tidak karena tangisanku, yang jelas ketika aku bayar ongkos, aku hanya menunduk tak berani mendongakkan wajahku yang sembab dan mataku juga memerah. 

          Aku langsung lari membuka pintu, lalu aku bantingkan badanku ke kasur, dan aku menangis sejadi jadinya sampai tertidur. Aku lemas dan yang terbayang hanya sikap Daslim, Baju Seba itu, perjuangan beberapa kali tes abdi negara tapi belum rejeki Pantukhir Akhir melulu, perjuangan ke gereja minggu pertama ke HKBP dan orang tuaku dikampung yang mempercayakan aku tes abdi negara sekali lagi. Sorenya aku terbangun dan aku masih merasa patah asa. Aku makan ayam kecap yang udah hampir berjamur, karena aku belum berani keluar indekos untuk beli makanan karena mataku masih merah. 

          Kuaktifkan data selulerku dan melihat aplikasi WhatsApp, aku kembali menangis lagi ketika melihat  menu chat aku sama Daslim. Sampai magrib  aku masih terisak-isak dan untungnya kakak seindekos tiada yang mendegar isak ku. Karena aku menangis diam diam dan berteriak tanpa bersuara.  Terbayangkan??.  Aku tak tahu harus bagaimana memotivasi diriku kembali, badan aku belum bisa kurus-kurus, fisik belum kuat, otak belum sepenuhnya di asah, mau cepat-cepat pula lolos. Orang sedang bercucuran keringat latihan, aku malah bercucuran air mata disini. 

          Aku berusaha bangkit dan mewujudkan angan aku agar bisa seperti Daslim. Aku ga bisa hanya menangis saja, tapi juga harus bangkit dari rasa yang mematahkan ini. Mungkin aku yang terlalu ambil hati karena sikapnya padaku tak seperti yang kuharapkan. Ternyata benar,, yang membuat sakit hati itu ialah ekspektasiku sendiri. Aku yang terlalu menganggap semua orang didunia ini bisa dijadikan panutan. Ternyata tidak. Bila dia pergi dan mungkin tak kembali baik lagi, aku yang hancur dan tak karuan begini menyikapi harapan sendiri. 

           Malamnya senyumku datang dari Alfi yang membuatku ambisi ke IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Alfi tanpa langsung mengatakan “semua ada masanya, ayolah sini”. Dia menyuruh aku tetap semangat dan harus bisa karena aku sedang persiapan Tes Bintara PTU dan sedang mempersiapkan diri juga untuk tes SPCP (Seleksi Penerimaan Calon Praja). Puji Tuhan suasana hatiku membaik dan aku mulai untuk membahas bahas soal akademik dan psikologi lagi. Aku takut lagi untuk gagal pada tes ke empat ini. Beberapa menit setelah bahas soal, aku mandi dan tertidur lagi karena mataku cukup berat dan aku capek menangis. Lalu aku berdoa pada Sang Pemilik Takdir,  Terimakasih hari ini engkau menghadirkan Daslim untuk memacu semangatku agar bisa sepertinya dan Terimakasih Engkau telah menjadikan Alfi membanngkitkanku dari kepedihan kali ini. 

          Sebenarnya aku cemburu padanya. Tapi bukan rejeki aku ya sebenarnya untuk apa aku tangisi dia?. Aku selalu mengharapkan Mujizat Tuhan nyata bagiku dan disertai dalam setiap perjuangan tes, restu keluarga, dipermudah, Doa dan Usaha yang lebih. 

Semangat yang sedang berjuang sendiri!


MAAF AYAH UNTUK IBU- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "MAAF AYAH UNTUK IBU

Oleh : Hesty Zebriyani


“Jika suatu saat nanti kamu bertemu ibu, sampaikan maaf dari Ayah.” Bagas tak begitu menghiraukan kata-kata ayahnya yang sedang dalam sakaratul maut. Bagas memandangi wajah tua yang terpasang alat semacam selang di hidung. Bunyi-bunyi berisik alat deteksi kesehatan menjadi latar kesedihan anak yang tak rela melepas kepergian ayahnya.


“Ayah sudah bersalah.” Terbata-bata dia mengurai satu demi satu kata-kata. Nafasnya tersengal dan lebih berat dari sebelumnya.


“Apa maksud Ayah? Dia yang sudah pergi. Biarkan saja dia.” Wajah Bagas berubah merah. Ia marah. Ia tak sadar suaranya kini menggema di ruang berpendingin udara.


“Ibumu tidak bersalah. Sama sekali tidak bersalah.”


“Bagas, temuilah Ibumu, Nak.” 


Tak mau berdebat lebih lama, Bagas hanya menangis. Disembunyikannya amarah yang tadi sudah terlanjur tumpah. Anak laki-laki gagah dengan bahu yang lebar itu membelai rambut putih ayah yang basah akibat keringat.


“Ayah, bertahanlah.” Saat Bagas mengatakan kata-kata itu dengan tangisan, ayahnya hanya menatap lirih pada wajah anak satu-satunya. Sesaat setelah dia menghembuskan helaan nafas panjang dan berat, dia pun berkata, ”Ayah, pergi!”


“Ayah… Bangun, Yah. Bangun!!!” teriak Bagas meraung-raung. Suaranya yang menggelegar tak mengganggu dokter dan perawat. Mereka tak beranjak sedikitpun. Sedari tadi, Bagas tak menghiraukan mereka. Dia kelewat fokus dan lekat pada ayahnya.


Selain alasan kepergian ibu, ayah dan segala teka-tekinya adalah salah satu misteri dalam hidup Bagas. Dan permohonan terakhir Ayah membuat Bagas diam sepanjang jenazah digotong dengan tangan-tangan kekar itu. Doa-doa sepanjang jalan tak sanggup meredam suara-suara berisik dalam kepalanya.


Tenaganya ikut terkuras saat mengangkat jenazah ayah ke liang lahat. Tatapannya tetap kosong kecuali saat satu dua ibu-ibu bergunjing persis di samping nisan bertuliskan nama ayah.


“Lihat, kasihan Pak Johan. Mati tanpa ditemani istri.”


“Iya, dua puluh tahun yang lalu dia pergi gitu aja, tanpa bilang apapun.”


“Istri tak tahu diri. Sudah dibawa dari kampung, eh malah pergi gitu aja.”


Tatapan Bagas lekat-lekat menatap sekelompok ibu-ibu yang terbilang berani. Ocehan mereka terhenti saat seorang ibu tua memperingati mereka. Wajah-wajah yang mulai keriput itu memerah saat dihardik cukup keras.


Adegan itu tak disadari orang-orang akibat riuh rendah doa-doa yang dikumandangkan di sekitar pusara ayah. Bau bunga-bunga menyeruak terbawa angin sore, memberi ketenangan barang sebentar saja. Dan satu persatu orang-orang itu meninggalkan Bagas dalam kesendirian termasuk rekan-rekan kerjanya.


Air matanya kering. Tak ada tangis yang keluar sejak ayah dibungkus dengan kain kafan. Oleh karena itulah, kepala Bagas tak bisa diajak kompromi. Perasaan yang tertahan menimbulkan sesak. Belum lagi telinganya tidak sanggup menanggung gunjingan tetangga bahkan saudaranya sendiri.


Dan dimulailah hari-hari penuh kesengsaraan. Malam itu dibumbui gerimis yang tak sedikitpun berkurang sejak sore. Segala perasaan, kenangan, bahkan luka dari ibu dibawa Bagas ke dalam mimpi. Berawal dari cerita-cerita bahagia hingga akhirnya gelap. Bagas ketakutan setengah mati. Dia terbangun dari mimpi. Butir-butir keringat menempel pada dahinya. Menyisakan pola tak beraturan pada bantal.


Tubuh tegap itu beranjak dari tempat tidur. Matanya segar kembali. Hujan gerimis sudah tak lagi ramai bersuara di atas genteng. Hanya setitik dua titik air yang jatuh akibat menumpuk di ujung talang.


Bagas kembali hanyut dalam kesedihan. Dia kemudian masuk ke kamar ayah. Dipandanginya satu persatu foto berpigura di dinding. Senyum khas ayah lengkap dengan kumis tebal. Oh, rindunya Bagas. Tubuhnya mendadak lemah dan ambruk di samping kasur yang masih rapi.


“Ayah, kenapa ayah pergi? Bagas sendiri.” Laki-laki dewasa bisa saja lemah di hadapan kesunyian. Lebih jujur menghadapi hidup yang amat sengsara ini. Tak luput pula Bagas seperti itu. 


Di tengah-tengah kegalauan hatinya, Bagas membuka satu persatu laci meja kerja. Didapatinya sebuah kartu pos yang terselip dalam buku catatan milik ayah. Warna kuning dan oranye mencolok memantik rasa penasaran.


“Ibu?” Berulang kali Bagas membolak-balik kartu pos itu.Diamatinya tulisan tangan ibu yang halus dan rapi.


Hanya ada beberapa kalimat tertulis jelas. Mas, apa kabar? Kabar Bagas? Mas, Aku rindu anak lanangku. Tolong kirimkan fotonya. Hanya itu saja. Awalnya Bagas ingin mencari alasan kepergian ibu. Tapi hanya beberapa kalimat itu yang jelas tertulis selain alamat lengkap di Klaten.


Berhari-hari ditelan kebimbangan membuat Bagas tak berniat pergi ke alamat ibu. Ia hanya tenggelam dalam kesibukan. Salah satu cara agar tak larut dalam kesedihan. Tapi, apa daya Bagas hanya manusia rapuh yang bisanya mengolah kegelisahan menjelang tidur.

Hingga akhirnya bayang-bayang wajah Ayah membuatnya bersikeras pergi. Semua demi pesan terakhir ayah. Ucapnya tegas dalam hati. Sama sekali Bagas tak merasa rindu dan ingin menjemput ibu. Berpikir pun tidak.


Jakarta menuju Klaten, delapan jam perjalanan Bagas menaiki kereta api. Desing suaranya, pemandangan hijau serta aroma menggelitik nasi goreng yang dibelinya di stasiun membuat Bagas sejenak lupa akan amarah. Seolah ia menganggap ini adalah liburan singkat.


Segera setelah tiba di Stasiun Klaten, Bagas mulai mencari tahu alamat itu sambil menggendong tas ransel berisi pakaian seadanya. Suasana yang sangat jauh berbeda ketimbang Jakarta, kota hiruk pikuk. Tak jarang dijumpainya beberapa ibu dengan pakaian kebaya kurung merangkul bakul berisi jamu.


“Jamu, jamu… Jamu, Mas?” teriak ibu yang lumayan tua saat Bagas berpapasan dengannya. Laki-laki itu hanya menggeleng lalu menunduk dalam.


Bagas malah balik bertanya kepadanya, “Ibu, permisi. Ibu tahu alamat ini?” Wajah laki-laki bermata sipit itu berbinar. Dia berharap ada petunjuk.


“Oh, kalau ini, si mas tinggal naik angkot kuning, bilang ke depan Kantor Camat Ceper. Nanti naik becak ke komplek pesantren.”


“Makasih ya, Bu.”


“Nggeh, Mas.”


Petunjuk ibu penjual jamu itu tak susah untuk diingat. Dia persis mengikuti arahannya. Bagas kemudian memperbaiki letak ranselnya agar lebih nyaman digendong, memudahkannya untuk bergerak cepat.


Bagas hanya diam dan pasrah akan kemana supir angkot membawanya. Dia hanya menyampaikan pesan sesuai dengan kata-kata ibu penjual jamu. Untung saja, bapak supir angkot berkalung handuk putih itu menurunkannya tepat di depan Kantor Camat Ceper.

Tanpa perdebatan harga, Bagas menaiki salah satu becak. Saat itu kantor camat sedang ramai-ramainya. Bapak penarik becak memang sudah tua, tak disangka kekuatannya malah seperti anak muda.


“Mau kemana, Mas?” tanya si bapak tua dengan suara yang agak berat. Bagas langsung menyodorkan kartu pos yang agak lusuh.


“Oh, itu rumah Pak Kyai.” Tiba-tiba saja kayuhan becak lebih cepat. Bapak dengan kulit hitam legam itu sungguh senang. Dari ceritanya, dia sangat menghormati sosok Pak Kyiai. Sudah berapa kali hidupnya terselamatkan berkat bantuannya.


Cerita-cerita itu ibarat dongeng pengantar menuju tempat ibu. Akan tetapi, Bagas tak begitu menghiraukan ocehan bapak penarik becak. Ada perasaan aneh ketika dalam perjalanan. Pikiran-pikiran berkecamuk. 


Apa yang akan kusampaikan pada Ibu? Ibu sekarang seperti apa, ya? Apakah ibu baik-baik saja? Jangan-jangan wanita itu menikah lagi. Semua kalimat-kalimat itu berdesakan dalam kepala. 


“Nah, kita sudah sampai.” Kayuhan becak berhenti pada sebuah gerbang besar berpigura. Tertulis jelas nama pesantren lengkap dengan alamat. 


Saat turun dan memberikan uang selembar berwarna biru, si bapak penarik becak malah menunjuk ke arah seberang. “Itu dia rumahnya, Mas.” Bagas lama mengamati sebuah rumah joglo yang lumayan bagus. 


Bagas diam. Hanya senyum yang bisa dia balas berikan karena kebaikan bapak penarik becak. Selangkah, dua langkah. Sangat hati-hati. Jantungnya berdegup lebih kencang. Meski sudah sore, angin sejuk bertiup kencang. Dari arah dalam, seorang bapak tua dengan jenggot putih dan panjang keluar.


“Cari siapa, Nak?” Dipandanginya Bagas dengan tatapan heran. Belum pernah ada pemuda gagah dengan setelan kota datang ke tempat agamis seperti ini.


“A, aanu, Pak. Sa-saya cari seseorang di sini.” Bagas terbata-bata. Takut dan malu. Itulah yang dirasakannya saat ini. Bagas tak lupa menyerahkan selembar kartu pos yang dikirim ibu kepada ayahnya.


Bapak tua itu ternyata kyai yang diceritakan. Beberapa santri yang lewat memanggilnya demikian. Pandangan matanya menyapu dari ujung kaki ke ujung kepala. Bagas agak risih dibuatnya. 


“Apa nama orang yang ada di situ masih tinggal di sini, Pak?”


Tak ada jawaban dari bibirnya yang mulai keriput. Jenggotnya masih saja dielus-elus. Dia menarik nafas panjang sembari memperbaiki letak sarung coklat tua nan lusuh. Dia mengajak Bagas untuk duduk di atas kursi kayu yang dingin.


“Kamu mirip sekali dengan ibumu.”


“Ba-bagaimana bapak bisa tahu?”


“Mata sipit dan tanda lahir di tangan kananmu.” Pak Kyai itu menunjuk ke lengan kanan Bagas.


“Saya tak akan lupa saat-saat menggendongmu persis waktu kamu lahir dulu, Bagas.”


“Retno itu adik sepupu jauh saya.” Si bapak tua mencoba mengurai satu demi satu kebingungan. Bagas menganga lebar.


“Saat rumah tangganya bermasalah, dia tak kembali ke kampung. Tak mau membuat eyangmu malu, ya dia akhirnya tinggal di sini.” Satu kalimat itu cukup menjelaskan kepergian ibu. 


“Kalau boleh tahu, masalah apa, Pak?”


Bapak tua dengan logat jawa yang kental masuk ke dalam rumah. Bagas tak habis pikir kenapa pertanyaan itu belum juga dijawab. Tak lama kemudian, dia kembali dengan sebuah surat yang amplopnya masih rapi.


“Ibu kamu menitipkan ini kalau-kalau kamu datang.”

Bagas meraih surat. Dibukanya perlahan amplop putih yang pinggirnya sudah menguning. Dalam pikirannya saat ini, Bagas didera dengan banyak tanda tanya. Ada rasa lega yang mungkin akan diraihnya.


Satu persatu kalimat itu dibaca pelan-pelan dalam hati. Entah kemana emosi yang dulu meledak-ledak saat mengingat ibu. Ayahnya memang tak pernah menjelek-jelekkan ibu. Tapi mengingat kepergian Ibu yang mendadak, kebencian itu kerap tumbuh setiap hari dalam hatinya.


Bagas meneteskan air mata. Kini pipinya basah dan lembab. Sementara itu, Pak Kyai membiarkan keponakannya larut dalam kesedihan. Rasa-rasanya pembebasan emosi penting bagi Bagas.


“Ibu…” Bagas hanya sesenggukan. Dia menggenggam erat dua lembar surat itu. Agak kusut di ujungnya.


“Retno itu wanita yang sangat mementingkan kepentingan keluarga. Dia sangat menjaga kehormatan suami dan anaknya.”


“Bagas… Ayahmu tak pernah mau jujur tentang istri keduanya. Padahal saat itu, ibumu sudah tahu. Dia hanya tak mau membuka aib itu.”


Anakku, maafkan Ibu telah meninggalkanmu. Biarlah Ibu yang menanggung beban ini. Penggalan kalimat ini membuat Bagas terdiam.


Bagas duduk sambil tertunduk dalam. Tangisnya semakin pecah titik Bagas tak menghiraukan lagi orang santri yang menatapnya aneh.


""Lalu, di mana Ibu sekarang?""


Pak Kyai mengantarkan Bagas ke belakang pesantren. Di sana terbentang satu persatu pusara-pusara putih dengan tatanan rumput teki yang indah. “Beliau sudah lama meninggal. Saat kesini dia sudah sakit-sakitan.”


Bagas lamat-lamat terduduk di samping makam ibunya. Belum pernah sekalipun dia bertemu sejak dua puluh tahun lalu. Dan yang dirasakannya kini luar biasa hebat. Tangis penuh pilu dan luka mendalam.


“Ibu…!” Bagas setengah berteriak. Sementara Pak Kyai dengan sabar mendampingi, mengelus-elus punggungnya yang lebar.


Sungguh malang nasib Bagas. Ayah dan Ibu kini telah tiada. Kepergian keduanya membuat kenangan pahit sepanjang masa."


Rencana Tuhan- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 Rencana Tuhan

By Niken Ayu Maharani



Fabian Utara Verdianto. Cowok tampan yang memiliki dua nama panggilan, yaitu Bian dan Utara. Keluarga memanggil dirinya dengan Bian. Sedangkan, sahabat dan orang disekitarnya memanggil dirinya dengan Utara.


Utara cowok tampan. Namun, berwajah dingin. Utara memiliki sifat yang sangat nakal di antara ketiga temannya. Utara suka berkelahi, ia tidak akan berkelahi jika mereka tidak mengusiknya. 


Cowok tampan bernama Utara yang dijuluki sebagai 'Kutub Iblis' di sekolahnya. Ketika emosi Utara sedang memuncak, maka dia akan ngamuk seperti iblis. Dia akan menghajar orang itu tanpa ampun.


Dari ketiga temannya yang bisa sabar menghadapi Utara hanya Awan. Baskara dan Langit, mereka sudah angkat tangan kalau Utara sudah ngamuk. Mereka tidak ingin menjadi samsak mautnya. Mengerikan.


Baskara yang biasa disebut dengan Abas atau Bas memiliki sifat yang jahil plus playboy. Langit pun sama dengan sifat yang dimiliki oleh Baskara.


Flashback On


""Bas, lo udah ada mangsa belum?"" tanya Langit yang berada di warung dekat SMA Bumantara—sekolah mereka.


""Belum. Nggak ada yang menarik."" Baskara menjawab dengan entengnya.


Sekolah sudah masuk 30 menit yang lalu. Namun, mereka enggan untuk masuk sekolah. Biasanya mereka akan masuk ketika bel istirahat ingin berbunyi.


""Bro, mau gue cariin cewek, nggak?"" tanya Baskara kepada Utara. Pertanyaan Baskara mengundang mata elang Utara menusuk.


Baskara yang melihat itu nyalinya berubah menjadi ciut. ""Canda, Man. Mata lo kalemin dikit dong. Creepy, anjir.""


""Makanya jangan mancing-mancing Utara,"" sahut Awan sembari menyeruput kopinya.


""Cabut!"" 


Satu kata yang keluar dari mulut Utara berhasil semuanya terkejut. Jarang sekali Utara meminta singgah sekarang. Mereka bertiga langsung bangkit dan menyusuli Utara.


""Bro, kita ke sekolah?"" tanya Langit yang masih bingung.


""Iya. Langit yang playboy-nya tingkat akut,"" sahut Baskara sembari memakai helm fullface-nya.


""Buset. Sebelum ngacain orang, lo sendiri udah ngaca belum?"" sindir Langit.


""Gue nggak perlu ngaca karena gue udah ganteng. Takutnya nanti malah kacanya yang naksir gue.""


""Gantengan juga, Pak Bos,"" ucap Awan yang dibenarkan oleh Langit.


""Ya, bandinginnya jangan sama Utara, lha. Jelas gue kalah ganteng,"" jelas Baskara dengan kesal.


Utara yang pening melihat perdebatan temannya. Akhirnya, Utara menancap gas menuju gerbang sekolah dan tidak lama ketiga temannya menyusuli.


Ketika mereka sudah berada di depan gerbang. Mereka langsung meng-klakson dengan keras, agar satpam segera membuka gerbangnya. Nampaklah seorang satpam yang menatap mereka sinis.


""Aduh, Kasep. Sekarang jam berapa? Kalian telat hampir satu jam!""


""Hampir satu jam 'kan, Pak? Berarti sebelum satu jam. Kita boleh masuk, dong,"" sahut Baskara.


""Tolong bukain, Pak,"" pinta Utara dengan ramah. Walaupun Utara memiliki aura yang menyeramkan. Utara masih menghormati yang di atas umurnya.


""Nggak bisa! Nanti kalo saya bukain, saya yang kenal omel sama Pak Dewa,"" jelas pak Mamat—satpam SMA Bumantara.


Pak Dewa adalah guru kesiswaan yang sangat galak. Pak Dewa tidak pernah capek untuk mengurusi mereka dan pak Dewa ketika memberi hukuman tidak bisa dihitung jari, sangat banyak!


""Nggak, Pak. Mumpung Pak Dewa belum jaga di sini. Makanya tolong bukain, please,"" timpal Awan dengan memohon.


""Kata siapa saya nggak ada di sini, hm?"" Itu suara pak Dewa. Ya, pak Dewa berjalan dari arah lapangan menuju gerbang.


""Mampus! Ketauan,"" celetuk Langit yang mulai was-was.


""Jangan kalian pikir saya bakalan capek buat kasih kalian hukuman. Nggak sama sekali!"" tegas pak Dewa sembari berkacak pinggang.



""Saya juga nggak capek untuk ngejalanin hukuman dari Bapak,"" jawab Utara dengan santai.


Jawaban Utara membuat pak Dewa menatap Utara dengan tajam. ""Kamu kapan mau disiplin tentang waktu?""


Utara menjawab dengan mengedikkan bahu. Utara sangat malas jika sudah berhadapan dengan pak Dewa. Utara harus menyiapkan telinganya untuk mendengar ocehan dari guru kesiswaan itu.


Flashback Off


Dua tahun kemudian …


Ya, itulah karakter Utara sebelum dia menemukan sosok gadis yang berhasil mengubah dirinya menjadi lebih baik. Sosok gadis itu bernama Salju Raveena Pradipta. Gadis yang sangat sabar menghadapi sifat Utara yang sangat nakal.


Di mata Utara, Salju adalah gadis bisa menaklukkan hatinya, menerima dia apa adanya, dan berusaha memperbaiki dirinya, agar tidak berlanjut dalam kehidupannya yang suram. Kini, Utara dan Salju sedang mempersiapkan acara pernikahan mereka. Utara sudah matang untuk menikahinya. Ia tidak sabar ingin memiliki Salju seutuhnya. 


Rencana Tuhan mempertemukan Utara dengan Salju adalah rencana paling indah yang Utara rasakan. Ia selalu berdoa, agar rencana kehidupan kedepannya semakin lebih baik lagi. 


— TAMAT —"


Utusan Tuhan- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 Utusan Tuhan

Oleh Majda Qudsiyatul Malikh


Aku tak tahu bagaimana plot twist sang Pencipta mengisahkan tentang hidupku. Mengarungi tirta amarta itu 'tak mudah. Namun, berbekal iman dan taqwa semua itu pasti akan terlewati layaknya air sungai yang menguap dan menjadi gumpalan awan, kemudian turun kembali ke bumi berupa tetesan air hujan. Simpel bukan?


Masih teringat olehku bagaimana atma ini merasakan lelah dan 'tak memiliki semangat untuk menikmati takdir, karena keputusasaan itulah Allah hadir dan memberi petunjuk agar aku kembali bangkit melalui perantara makhluk-Nya.


Siang itu rasanya takdir sedang mengajak becanda ataukah memang mau mengujiku? Entahlah .... Ketika aku dan temanku--Afi ke sebuah cafe ternyata alamatnya salah dan keliru memasuki di cabang yang lain. Lucu bukan?


Akhirnya kuputuskan menelpon seseorang untuk shareloc, dan ternyata jaraknya masih jauh. Oh Tuhan, malang sekali nasibku. Batinku waktu itu. Awalnya kupikir kuat untuk menempuhnya dengan jalan kaki, namun apalah daya diri ini yang bukan seorang atlet ataupun super hero. Nyatanya, tenaga ini 'tak sekuat itu dan berujung memesan grab car lagi.


Kejadian lucu terulang kembali untuk kedua kalinya di kala aku dan Afi menunggu mobil datang di perentalan atau deler mobil. Ada dua orang penjaga datang menghampiri kami dan promosikan dagangannya. ""Mbak, mau beli mobil, ya? Kita ada keluaran terbaru nih? Monggo, bisu dilihat-lihat."" Aku hanya bisa membatin dan menahan tawa. Apa kami terlihat seperti nona kaya? aamiiiin ....Siapa tahu Allah mengijabah doa ini.


Tak lama kemudian, mobil orderan pun datang. Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, sampailah kami di tempat tujuan. Terlihat seseorang yang kami cari melambaikan tangannya, seolah memberi isyarat untuk duduk di sana.

Lama sekali kita mengobrol dan bercerita banyak hal hingga ke topik inti yang memang menjadi tujuan pembahasan. Aku merasa apa yang orang itu katakan adalah sentilan buat kesedihanku, menjadi penyangga harapan yang selama ini kucari, pengokoh tekad untuk melanjutkan petualangan hidup.


Aku sadar, minimnya pengetahuan mengenai bahasa Arab bukan berarti menyusutkan semangat, melainkan menjadi magnet dan tantangan tersendiri untuk menaklukkan, mempelajari dan memahami bahasa unik itu selama mau berusaha dan berdoa.


Benar apa yang dikatakan orang tersebut, kemampuan akan dikalahkan oleh kemauan. Dia juga berkata, ""Majda, ibarat kamu mandi jam 3, apa bukan berarti ana tidak? Hanya saja bedanya  di sini kamu mau, sedang ana tidak. Nah, paham, kan dengan konsep kemauan di sini? Ana akan temenin sampai bisa, bahkan sampai skripsi."" Motivasi dan janjinya kala itu ibarat api yang membakar semangatku dan menjadi tameng ketika putus asa akan merayu jiwaku.


Sungguh, alur ini sangat indah, Tuhan. Aku yakin, suatu saat pahitnya kerja keras saat ini akan berubah menjadi madu yang teramat manis tiada tandingannya. Makhluk utusan--sahabat terbaik adalah bentuk sayang-Mu untuk mengingatkan bukti cinta-Mu. Kopi hitam dan ice matcha menjadi saksi lautan ilmu dan madah kasih persahabatan di antara 3 insan yang berbeda kubu."