Wanita Paruh Baya

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "Wanita Paruh Baya 

(teruntuk yang kusebut ibu)


Hening bahasa paling kekal dari rindu.

Jika hening itu dirimu.

Biarkan aku menjadi hening, yang siap kekal menanti rindu.

Sebelum pamit tanpa pulang, aku ingat persis petuahnya saat kami mengaduk sajak di dekat perapian sembari api menyapu bersih kayu dan menjadikannya abu. “Nak, tak lama umurmu makin uzur dan kamu akan jauh dari ibu dan bapa. Ingat petuah ibu dekat perapian ini. Jikalau kamu jauh dari ibu dan bapa, pergilah! melangkahlah dan jangan lupa ibu selalu menantimu di perapian ini” kata ibuku sembari mendorong kayu api ke tungku. “menantimu di perapian ini?” kata-kata ini selalu terngiang dan membuatku rindu rumah. Rindu untuk pulang ke rumah. Rumah yang penuh sejuta kenangan dan cinta bersama ibu dan ayah. kuingat seperti kata-kata kitab suci yang aku kutip sebelum beranjak dari rumahku, “ cinta akan rumahMu menghanguskan daku” cinta ibu dan rumah mengusik dan membakar jiwaku yang terlelap dan jauh dari kehangatannya. Rumah tempat nostalgia di mana ibu yang setiap pagi  menanak nasi dan aromanya mengintai setia pojokan rumah menyajikan makanan lezat dan membangunkan aku. Rindu akan ibu adalah rindu tanpa syarat, tanpa jeda, tanpa batas. 

* * * *

Tepat tiga kali ayam berkokok, pagi itu hari Minggu dimana hari masih gelap dan langit seakan kalut. Sunyi dan sepi mencekam, menyelimuti pojok-pojok kamar sebuah rumah di pinggiran jalan. Rumah yang hanya didiami tujuh kepala. Pagi itu, sangat sibuk dengan mengurusi seorang wanita paruh baya yang setengah sadar antara dirinya masih ada di dunia atau sekedar menengok pintu kematian. Wanita paruh baya itu mengerang kesakitan disela-sela keenam orang menyibukan diri mempersiapkan segala keperluan untuk beranjak dari tempat tidur ke dalam ruangan mobil kijang milik mereka. Ketika dirinya hendak dibopong kerabat dalam rumah, dengan nada sedikit memelas, ia mengungkapkan beberapa kata seadanya, “aku tidak mau dihantar ke Rumah Sakit”. Sesudahnya, ia mulai diam dan tak sepatah katapun keluar dari mulutnya lagi. Aku terperangah mendengar keluh itu. Sembari menatap, tiba-tiba air mataku tak menahan beban. Ia merembes membasahi pipi mungilku yang belum seberapa mengerti arti dari jatuhnya air mata itu. Mengalir dan tanpa suara, mukaku sudah dibanjiri air mataku sendiri. Aku menangis menatap ketidaksanggupan sakit  yang dideritanya. Hening. Diam. Bisu. Sudah lama wanita paruh baya itu  mengidap penyakit asma. Sudah sekian banyak dokter dan obat yang ia konsumsi, supaya dapat memulihkan sakitnya tapi naïf hasil yang diterima. Tak satupun dari mereka  yang cocok dan mampu menyembuhkannya. Malahan semakin hari semakin menjadi-jadi sakit yang dideritanya.

Kira-kira jarum jam berdetak menunjuk tepat di angka lima pagi, mobil kijang berwarna biru keluar  dari garasi rumah itu. Dengan perasaan kalut dan sedih hati, penghuni dalam mobil saling tatap menatap. Merapal doa berharap wanita paruh baya itu baik-baik saja. “Tuhan, sedini ini aku menggangguMu, aku tahu hari ini hariMu Tuhan (hari sabat yang selalu dinantikan). Hari paling bahagia bagi mereka yang rehat dari kesibukkan pekerjaan, sekolah dan lain-lain. Tapi hari ini Tuhan, aku berbeda dari mereka, aku sibuk mencari dan menggangguMu, sekedar bercanda ria denganMu mohon pertolongan untuk dia agar lekas sembuh. Terlalu lama ia kekal dengan penyakitnya. Biarkan dia kembali tersenyum, dan buat aku dan lainnya merasakan senyum itu kembali dari pada raut wajah kesakitan dan memelas yang kami dapat”, rapalku ketika menyaksikan kepergian mobil yang semakin menjauh dari pandanganku. Seperti doa ibu, namanya selalu kusebut. Berulang-ulang. Sampai-sampai aku lelap di kursi depan televisi sembari air mata kesedihan masih menggenang. Lima jam telah berlalu, mataku menatap jam dinding di pojok beranda rumah, sesekali mengangkat telepon barangkali ada panggilan maupun notifikasi pesan masuk. Namun kesia-siaan yang kudapati. 

Lonceng gereja bergema riuh memenuhi seluruh kampung. Doa Angelus sudah mulai dengan bunyi toa yang memekikan suara. Aku ikut merapalnya dengan hati yang begitu kalut. Doa belum usai, handphoneku berdering, aku lewatkan saja dulu bunyi handphoneku. Kuselesaikan dulu doa yang belum usai ini,, tukasku. Doa berujung dengan kata amin. Handphoneku sekali lagi berdering dengan kerasnya. Dengan tangkas kuangkat telepon. “Nong, segera berkemas! Cepat cari ojek dan langsung ke Rumah Sakit, kami sekeluarga menunggumu.” Suara dari seberang seperti memaksaku untuk lebih cepat dan bergegas.

Ketidaksiapsediaan membuatku bingung apa yang telah terjadi di sana. Apakah wanita paruh baya itu baik-baik saja? Ataukah? Ataukah? Ahhhkkkk,,,,,teriakku sebentar dengan napas dan pikiran yang tidak menentu. Semoga saja. Kata-kata pembangkit motivasi dan kekuatan untuk dapat berdiri dan berlari dengan cepat ke Rumah sakit. 

Sepuluh menit berlalu begitu saja di atas kendaraan roda dua. Dengan kecepatan maksimal sampai juga aku di depan gerbang Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten setempat. Mataku terbelalak saat menyaksikan riuh gaduhnya orang-orang melintasi bangunan putih bertuliskan Rumah Sakit dengan beragam rupa yang memelas kesakitan, maupun wajah yag kebingungan dari para penjaga. Inikah bangunan yang menjadi ketakutan bagi wanita paruh baya itu? Ahhhhh,,,, sudahlah. Semoga, dia baik-baik saja, tungkasku lagi.

Aku mulai memasuki wilayah rumah Sakit. Menjajaki setiap lorong dengan hati begitu kalut sembari merapal doa. Hilir mudik orang-orang, tapi tak satupun bersuara keras. Semuanya seperti mengenang kesendirian. Tak lama berselang, kudapati ruang tempat wanita paruh baya itu di istirahatkan. Dilihatnya, Wanita paruh baya itu terbaring lemas di atas ranjang yang berukuran tak seberapa itu. Dengan berselimutkan kain bergaris hitam putih khas rumah sakit, membuatnya semakin menggiggil dan sangat tak betah berlama-lama berbaring di atas ranjang. Ingin sekali ia bangun dan berlari jauh dari tempat itu, tetapi tenaganya tak lagi sanggup. Ia betul-betul rapuh. Wanita paruh baya, mengernyitkan dahi dan denga kata yang terputus-putus, ia memanggilku utuk mendakitanya. Sedikit rasa canggung dan juga diliputi rasa sedih yang menggunung, kudekatkan tubuh dan kepalaku di atas ranjang bersamanya. Ia mengusap kepalaku sembari menitihkan air mata, ia berkata; “Nong, hidupmu masih panjang bukan? Rajin-rajinlah kau belajar, dan jangan lupa buatlah orang sekelilingmu bahagia dengan caramu. Anggaplah mereka itu, aku yang selalu ada tanpa jeda”. Kata-katanya begitu halus dan menyayat urat nadi. Kata-kata ini yang membangkit gelora jiwa dan komitmen, bahwa mereka adalah wanita paruh baya yang kusebut ibu. 

Selepas pembicaraan singkat dan penuh memoar. Perlahan dalam hening, belum sempat juga aku menjawabnya, matanya perlahan-lahan mengatup. Air matanya tak lagi membanjiri pipinya. Bibirnya pun perlahan memunculkan sneyum paling manis yang tak lagi kunikmati di hari-hari hidupku selanjutnya. Ahhhhh,,,, selesailah sudah. Tangisku pecah. Suasana ruangan yang sebelumnya sunyi mencekik kini berhamburan suara tangisan dari setiap orang berada dalam ruangan itu. Aku tak percaya bahwa kata-kata itu adalah kata-kata terakhir yang akan disampaikannya kepadaku. Belum sepenuhnya aku siap. Siap meninggalkan dia. Siap hidup tanpanya dengan segala macam cinta yang tak berkesudahan yang pastinya tak akan aku miliki lagi semasa hidupku.  Teriakku semakin menjadi-jadi. Aku mulai menggugat Tuhan. “Tuhan, pagi-pagi sebelum ayam berkokok kali ke tiga dan lonceng gereja hari sabat belum terdegar sama sekali, aku sudah menggangguMu dengan Doa yang paling tulus. Masih kurangkah tangan dan lututkuku bercerita di kapela setiap hariinya bahwa aku sangat mencintaiMu? Inikah balsan yang kuterima? Ahhhh,,,Tuhan. kenapa mesti dia orang yang aku sayang. Belum cukup waktuku membahagikan dia. Berilah kesempatan padaku. Cukup sekali sja Tuhan”. tuhan memang tidak kompromi. keputusanNya mutlak.

Hari sabat, hari Tuhan yang diperoleh dengan sukacita. Tapi tidak bagiku. Dukacitaku penuh. Dia yang kusebut ibu, telah dahulu beranjak dari dunia ini. Menanggalkan sejuta kenangan. Beribu kasih. Ibu selesai sudahkah ceritamu?



Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu yang pernah terjadi dan pernah kualami sejak aku di jadikan dan di bentuk dalam Rahim ibu. Dalam kehangatan Rahim ibu, Engkau sudah mengenal aku hingga detik ini, dengan nafas yang masih kuhirup penuh seluruh. Dalam tingkap sunyiMu yang senyap, aku mengenalMu masih dengan pikiran polos nan lugu. Indah rasanya mengenalmu di kala itu. Sempat aku ragu antara memilih mengikutimu ataukah lain dari yang sekarang yang sudah ku genggam namun belum erat. Ahhhhh,,,,Tuhan. Sudah kucukupkan dulu. Aku haya rindu peluk ibuku, tak banyak, cukup sekali biar rindukku tak menggunung dan air mataku tak lagi beranak.  


Oleh:

Falentinus Wasa (Fand Wasa)

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

Berdomisili di Unit St. Agustinus 



"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.