UNIVERSITAS PIONARE- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "UNIVERSITAS PIONARE

Karya : Dela Rahma Dinata


Universitas Pionare merupakan salah satu universitas khusus bidang medis yang terkenal dengan kejeniusan mahasiswa-mahasiswinya. Dengan berbagai prestasi yang diraih, universitas ini dapat dikategorikan universitas terbaik dan terfavorit di Indonesia. Selain itu, universitas ini juga menonjol karena dikelola langsung oleh Mentri Kesehatan. Namun siapa sangka dibalik semua poin plus itu terdapat banyak rahasia yang terkubur dalam-dalam dari dunia luar.

Objek penelitian jantung buatan manusia adalah salah satu rahasia besar yang disembunyikan oleh universitas ini. Para petinggi, dokter bahkan professor banyak yang ikut adil dalam penelitian tersebut. Arendra Gautama, seorang remaja objek percobaan penelitian pertama universitas ini. Ia merupakan anak dari seorang professor yang mengajar di Universitas Pionare. 

Menjadi objek penelitiaan sejak lahir, remaja 18 tahun yang kerap dipanggil Ren itu membuatnya terisolasi dari kehidupan luar. Dunianya cukup berporos pada ruangan 7x7 m yang kini sedang ia tempati. Sekolah? Teman? Keluarga? Ren tidak mempunyai semua itu hanya seorang ibulah yang selama ini menemaninya. Tetapi semuanya mendadak berubah setelah Ren mendapatkan sebuah insiden mengejutkan yang menghampiri kehidupanya.

“Ren.” Panggilan ini mampu mengalihkan atensi pemilik nama dari duduk termenungnya. Ia menoleh untuk melihat wanita yang memanggilnya itu. Tatapannya semakin datar saat matanya menangkap siulet dibalik tubuh wanita berjas putih yang kini tepat berdiri dihadapannya. “Waktunya sarapan.” Ucap wanita itu sembari menyodorkan tangannya yang berisi butiran obat berwarna-warni.

Dia ibunya, Prof. Cut Handayani atau sering dipanggil Mama Ani oleh Ren. Dibelakangnya diikuti 5 suster dan 3 dokter yang setiap hari rutin mengontrol keadaan tubuhnya. Setelah melihat Ren meminum semua obat yang diberikan oleh Prof. Ani, mereka mulai mendekati Ren dengan berbagai alat medis. 

Saat jarum suntik dengan bebas tertancap didada kirinya berkali-kali Ren mengernyit menahan sakit. Diliriknya dada bekas suntikan tadi yang kini merubah warna menjadi biru. Ia sedikit tidak mengerti dengan apa yang ditanam oleh mereka di dalam tubuhnya. Apakah semacam cip? Karena setiap Ren selesai meminum pil-pil tadi dan disuntik berkali-kali warna cip merah di bagian dada kirinya berubah menjadi warna biru. 

Dirinya selesai diperiksa sekitar 2 jam oleh para suster dan dokter tadi. Kini tinggal Ren dan ibunya yang saling menatap dalam diam. Merasa kikuk diperhatikan ibunya Ren mengalihkan pandangannya ke samping. Dapat ia lihat ruangan khusus berkaca transparan yang digunakan untuk memantaunya selama ini dipenuhi oleh suster dan dokter.

“Ren-” empunya menoleh. “-kamu baik-baik sajakan?” Pertanyaan itu selalu ditanyakan oleh ibu Ren setelah ia diperiksa. Ren kembali menatapnya dan mengangguk diikuti senyum tipis di bibirnya. Hening pun kembali menyelimuti mereka.

“Ma, Ren boleh tanya nggak?” dengan ragu Ren menatap ibunya yang kini mengangguk santai. Tangannya meyurai rambut hitam lebat milik Ren. “Ayah Ren dimana Ma?” usapan ibunya mendadak berhenti mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulutnya.

“Ayahmu sudah tenang di surga Ren, sekarang cukup ibu saja yang bersamamu.” Ibunya membalas sambil tersenyum getir. Bukan Ren jika langsung percaya dengan kata-kata itu. Mulutnya kembali bertanya, “Surga di mana Ma? Ren pengen kaya mereka-” tunjuknya pada layar monitor yang kini menampilkan gambar sebuah keluarga yang sedang berbincang hangat sambil meminum secangkir kopi di sebuah café, “-hidup normal selayaknya manusia Ma. Ren pengan makan makanan kaya mereka. Pengen makan bareng sama Mama sama Ayah. Ren capek hidup disini. Setiap hari makan obat, tubuh Ren di suntik-suntik, darah Ren selalu diambil dan tiap kali jantung Ren sakit Ma.” Kata-kata yang selama ini Ren pendam akhirnya membuncah. Air matanya menetes semakin deras saat melihat ibunya juga ikut menangis.

Ibu Ren memeluknya hangat sambil mencoba menghentikan air matanya. “Mama minta maaf Ren-”

Prag

Suara pecahan kaca mampu melepaskan pelukan dua sejoli itu. Mata Ren menatap ruang yang tadi berisi dokter dan suster perlahan-lahan mulai ramai disertai jeritan ketakutan. Segerombol orang asing berbaju hitam lengkap memakai topeng kembali memecahkan kaca pembatas ruangan. Mereka mulai mendekati tempat Ren dan ibunya berada.

Panik dan bingung. Itulah yang dirasakan oleh ibu Ren. Walaupun sudah menduga ini akan terjadi namun ia tak pernah berfikir ini adalah saatnya. Sungguh penelitian ini sangat membahayakan keselamatan nyawa anaknya.

Ren masih tenang dalam duduknya. Matanya terus menatap orang asing itu dengan tajam. Sampai suara ibunya mengintrupsi penglihatannya. “Ren dengar apa yang mama katakan. Keluar dari sini menggunakan lif itu-” Ibunya menunjukan sebuah lif di ujung kiri ruangan dan memberikan kartu tanda pengenalnya. “-dan jangan pernah kembali sampai mama menghubungimu.” Katanya sambil memberikan ponsel miliknya. “Cepat Ren lari!”

Suara bentakan ibunya mampu membuat Ren bangkit duduknya. Dilihatnya ibunya dengan tatapan khawatir, namun ibunya mengangguk menyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja. Dengan segukan ibu Ren memakaikan jas putihnya pada Ren dan mendorong anaknya keluar dari ruangan ini. Sebelum benar-benar berlari Ren melihat ibunya yang mencoba menghalangi segerombolan orang asing itu. Ren kembali meneteskan air matanya dan mulai melangkah menjauh. 

Dengan tergesa Ren berhasil mencapai pintu lif, ia melihat kearah depan terdapat dua orang asing yang mengikutinya. Segera saja ia menekan tombol lif sembarangan dengan menggunakan kartu pengenal ibunya. Pintu tertutup, Ren bernapas lega. Namun itu tak berlangsung lama setelah lif terbuka ia berlari kesetanan untuk menghindari dua orang yang masih setia mengejarnya.

Banyak orang-orang berlalu lalang yang memperhatikan gerak gerik Ren, tetapi ia tak peduli yang hanya ia butuhkan saat ini adalah sebuah pintu keluar dari gedung besar yang sedang ia pijaki saat ini. Ren melirik kebelakang saat salah satu orang itu hampir berhasil memegang pundaknya. Jujur saat ini, Ren luar biasa panik ditambah dada kirinya mulai berdenyut menyakitkan.

Pintu keluar gedung pun sudah nampak didepan sana. Ren mempercepat larinya. Diluar gedung Ren dapat membaca banner besar bertuliskan Selamat datang di  Universitas Pionare. Apakah ini nama tempat yang selama ini ia singgahi? Pikirnya sambil terus berlari.

Ren menyernyit bingung dengan keadaan disekitarnya, sungguh ini baru pertama kali bertemu dengan dunia luar. Biasanya ia hanya bisa melihat ini melalui monitor yang di pandu oleh suster di ruangan serba putih itu. Sibuk memperhatikan sekitarnya Ren tidak menyadari dua orang asing yang mengejarnya kini sudah menyekal tangannya. Ren berontak ingin melepaskan diri saat ia juga melihat jarum suntik yang diarahkan ke lengannya. Ren menendang tulang kering salah seorang dari mereka, lalu kembali berlari.

Dada kirinya semakin sakit saat ia paksakan berlari. Ren memutuskan untuk memasuki sebuah gedung perbelanjaan. Kakinya melangkah semakin kedalam untuk mencari tempat persembunyian. Ia memutuskan untuk masuk kedalam ruang ganti. 

Ren menatap kaca yang memantulkan rupanya saat ini. Ia meringis melihat betapa pucat wajahnya sekarang. Tangannya menyibak atasan baju pasien yang ia kenakan saat ini. Cip berwarna biru yang tepat berada di dada kirinya kini mulai meredup. Terkejut.  Itu yang Ren rasakan, ia belum pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Mengapa semua ini terjadi? Siapa mereka? Mengapa terus mengejarku?

Nafas Ren semakin melemah dan dadanya kirinya semakin terasa sakit. Matanya perlahan-lahan mulai tertutup. Samar-samar ia mendengar pintu ruang ganti yang ia tempati terbuka. Ren akhirnya meneteskan air mata pasrah.

1 Bulan Kemudian

Bau obat-obatan mulai menyusup ke indra penciuman Ren diikuti kelopak matanya yang perlahan mulai terbuka. Dihadapannya terdapat seorang wanita yang kini sibuk memainkan ponselnya. Nampaknya ia belum menyadari pasien yang selama ini ia tunggu sudah membuka mata. 

“Shh.” Ren meringis kesakitan saat mencoba duduk dari tidurnya. Ia memegangi dada kirinya yang dibalut dengan kain kasa. Ringisan itu mampu mengalihkan atensi wanita itu dari bermain ponsel. Matanya berbinar-binar saat mendekati Ren yang nampak bingung diperhatikan.

“Saya panggilkan dokter dulu ya.” Katanya lalu melangkah pergi. Tak lama kemudian muncullah 2 orang dokter dan sekitar 4 suster yang memeriksanya. Kejadian ini mengingatkan tentangnya dulu- eh dimana ibu?

Wanita itu kembali mendekati Ren saat para dokter dan suster mulai menjauh. Ia seakan mengerti apa yang kini sedang dipikirkan Ren. “Hai Ren, apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya ramah. Ren tidak membalas ia hanya menatapnya datar. Otaknya kini sedang bertanya-tanya dimana ibunya berada.

Merasa diabaikan wanita itu justru semakin semangat untuk berbicara dengan remaja dihadapannya itu. “Saya Mareta Ailinia, kamu bisa memanggil saya Kak Alin. Saya hanya beda 5 tahun kok sama umur kamu. Hehehe-” Wanita yang bisa dipanggil dengan sebutan Alin itu tertawa garing saat melirik ekspresi Ren yang sama sekali belum berubah. “-Saya tau kamu bingung Ren mengapa saya kenal kamu dan mengapa kamu disini.” Ucapan ini mampu membuat Ren melirik Alin.

Alin tersenyum dan menepuk kepala Ren pelan. “Saya menemukan kamu pingsan didalam ruang ganti di pusat berbelanjaan sekitar 1 bulan yang lalu. Dan saya juga yang membawamu ke rumah sakit ini. Singkat ceritanya, semenjak itu saya mulai mencari informasi tentang kamu. Namun tidak ada satu pun sumber yang memuat informasi pribadimu. Keluarga? Teman? Mereka sama sekali tidak saya temukan-” Alin memberi jeda pada perkataanya. Matanya melirik Ren yang kini juga menatapnya penuh arti. “-sampai saya melihat barang-barangmu diatas nangkas. Satu kartu tanda pengenal, satu ponsel dan sebuah jas putih kedokteran. Dari sini saya mencoba menghubungi orang yang ada dalam kartu pengenal itu. Ternyata beliau adalah Prof. Cut Handayani, seorang professor pengajar di Universitas Pionare. Beliau ibumu bukan?” Tanya Alin yang dijawab oleh anggukan kaku dari Ren.

Alin merasa sudah cukup ia berbincang dengan Ren, ia berniat langsung menunjukan intinya saja. Mengotak-atik ponselnya sebentar lalu disodorkannya kea rah Ren yang kini nampak kebingungan. “Baca Ren.”

Ren mulai menyusuri kata demi kata yang terdapat dalam artikel yang dimuat oleh Alin. Air matanya meluruh saat melihat untaian kata-kata artikel ini. Dibawahnya terdapat banyak artikel bertautan dengan artike yang baru ia baca. 

Mengejutkan, Universitas Pionare ini Menyembunyikan Sebuah Penelitian Berbahaya!

Sadis, Seorang Profesor Rela Menjadikan Anaknya Menjadi Sebuah Objek Peneltian

Hot news, Bagaimana Seorang Mentri Kesehatan Memimpin Sebuah Penelitian Ilegal?

Begini Fakta Mentri Kesehatan Yang Terjerat Kasus Panyalahgunaan Wewenang

Diduga Mentri Kesehatan Merencanakan Pembunuhan Terhadap Keluarga Salah Satu Professor Di Univ. Pionare

Ini Fakta Menarik Seorang Professor Cut Handayani Selama Masa Hidupnya

Ren menangis histeris membaca judul-judul artikel yang sudah dapat ia tebak isinya. Alin memeluk Ren sambil mengusap-usap bahunya lembut. Setelah dirasa Ren cukup tenang, Alin melepaskan pelukannya. “Maaf Ren saya harus mengatakan ini. Prof. Cut Handayani meninggal setelah dirawat sekitar 1 minggu karena tembakan diperutnya. Kemungkinan peluru ini di tembakkan oleh sekumpulan orang yang juga mengejarmu dihari itu.- ” jeda sejenak, wanita berumur 23 tahun itu sedang menyeka air matanya yang tiba-tiba meluruh, “-dalang dari kejadian ini sudah ditangani oleh pihak kepolisian pusat-” 

“Siapa Kak?! Siapa yang tega buat Ren sama Mama jadi seperti ini?!” teriak Ren memotong ucapan Alin. Alin sontak kaget mendengar jeritan Ren, ia kembali memeluk berniat menenangkan. “Mentri Kesehatan, beliau juga merupakan seorang kakek untukmu Ren. Ayahmu adalah anak seorang Mentri Kesehatan yang kecelakaan 18 tahun yang lalu.” Jawabnya lirih, suaranya hampir ditelan oleh isakkan tangis yang kian menderas.


Apakah kau baik-baik saja Ren? Bagaimana dengan dada kirimu, apakah sudah tidak merasakan sakit? Maafkan mamamu yang bodoh ini Ren yang telah merenggut kehidupanmu. Mama berjanji akan menebus dosa-dosa mama kelak bila kita dipertemukan kembali. Berbahagialah dengan detak jantung baru ini yang mampu membawa kesenangan hatimu Ren. Sekarang kamu bisa hidup normal selayaknya orang pada umumnya. Pergilah makan makanan yang enak, setiap minggu kamu bisa pergi ke café untuk menikmati secangkir kopi, carilah teman-teman yang bisa menemanimu Ren. Mama pergi sebentar, jika sudah tiba waktunya apakah Ren bisa memaafkan mama?

15 Oktober 2021 – Mama Ani"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.